
Tanda Bahaya! Ada Sinyal Mau Resesi, Indonesia Siaga?

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Imbal hasil (yield) obligasi Amerika Serikat (AS) kembali mengalami inversi, yang biasa dijadikan sinyal akan terjadinya resesi. Inversi terjadi saat yield obligasi (Treasury) tenor pendek lebih tinggi dari tenor jangka panjang.
Dalam situasi normal, yield obligasi jangka pendek akan lebih rendah dari jangka panjang. Tetapi jika investor melihat dalam jangka pendek perekonomian akan memburuk bahkan mengalami resesi, maka premi risiko yang diminta akan lebih tinggi.
Hal tersebut membuat yield obligasi jangka pendek menanjak hingga lebih tinggi dari tenor jangka panjang, yang disebut sebagai inversi.
Kabar buruknya, hampir setiap terjadi inversi, maka Amerika Serikat akan mengalami resesi.
Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).
Inversi yield Treasury tenor 2 tahun dan 10 tahun terakhir kali terjadi di Amerika Serikat pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).
Kini inversi tersebut kembali terjadi, pada Selasa (5/4/2022) pukul 10:57 WIB, yield Treasury tenor 2 tahun berada di level 2,422% lebih tinggi dari tenor 10 tahun di 2,408%, dan sudah terjadi sejak Kamis pekan lalu. Spread antara yield Treasury tenor 10 tahun dengan tenor 2 tahun kini -0,014%.
Menurut MUFG Securities, di tahun 2019 inversi terjadi 163 hari sebelum resesi tahun 2020. Sementara saat Amerika Serikat mengalami resesi antara 2007 -2009 inversi terjadi 571 hari sebelumnya, dan resesi di tahun 2001 inversi terjadi 422 hari sebelumnya.
Kemungkinan kembali terjadinya resesi juga diungkapkan Triliuner Carl Icahn.
"Saya pikir kemungkinan terjadinya resesi sangat besar, bahkan bisa lebih buruk lagi," kata Icahn, dalam acara "Closing Bell Overtime" CNBC International, Selasa (22/3/2022).
Tingginya inflasi di Amerika Serikat, plus bank sentral AS (The Fed) yang akan agresif menaikkan suku bunga di tahun ini menjadi salah satu faktor yang bisa menyebabkan resesi.
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di bulan Februari melesat 7,9% year-on-year (yoy) tertinggi sejak Januari 1982. Sementara yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dilaporkan tumbuh 6,4% (yoy) menjadi yang tertinggi sejak Agutus 1982.
Sementara itu inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang menjadi acuan The Fed tumbuh 6,4% (yoy) di bulan Januari, dan inflasi inti PCE sebesar 5,4% (yoy). Inflasi PCE tersebut menjadi yang tertinggi dalam nyaris 40 tahun terakhir.
Tingginya inflasi membuat The Fed agresif menaikkan suku bunga, di bulan depan bahkan diperkirakan sebesar 50 basis poin menjadi 0,75% - 1%. The Fed juga berencana menaikkan suku bunga 6 kali lagi di tahun ini, setelah menaikkan pertama kali bulan lalu.
Dengan suku bunga yang tinggi, ekspansi dunia usaha tentunya akan melambat, jika inflasi tidak segera menurun maka perekonomian Amerika Serikat berisiko terpukul.
Hal ini yang membuat premi risiko dalam jangka pendek meningkat, yang membuat yield Treasury mengalami inversi.
Peter Schiff, CEO dari Euro Pacific Capital mengatakan ia percaya pasar finansial akan mengalami crash, bahkan bisa lebih parah dari 2008.
Menurut Schiff, kebijakan moneter longgar yang dilakukan bank sentral dunia mampu menyelamatkan perekonomian dari pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), tetapi juga memicu inflasi tinggi secara struktural. Perekonomian saat ini disebut masih belum siap dengan penghentian kebijakan ultra longgar.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Resesi Amerika Serikat Bisa Seret Indonesia
