IHSG Trengginas! Rupiah Cetak Penguatan 3 Hari Beruntun

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 April 2022 15:29
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah mencatat penguatan 3 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (5/4). Meski sama dengan dua hari sebelumnya, penguatannya tipis saja.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang kembali mencatat rekor tertinggi sepanjang masa plus investor asing yang terus melakukan aksi beli bersih membuat rupiah mampu bertahan dari gempuran dolar AS.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,1% ke Rp 14.335/US$. Tetapi perlahan penguatan tersebut terpangkas hingga akhirnya stagnan. Rupiah kemudian mampu kembali ke zona hijau dan mengakhiri perdagangan di Rp 14.345/US$, menguat 0,06% di pasar spot.

IHSG lagi-lagi mencetak rekor tertinggi sepanjang masa dengan menguat 0,45% ke 71.48,299. Data pasar menunjukkan investor asing melakukan beli bersih lebih dari Rp 800 miliar di pasar reguler, nego dan tunai. Dengan demikian, dalam 2 hari investor asing tercatat net buy lebih dari Rp 1,25 triliun, dan sepanjang tahun ini sebesar Rp 34,7 triliun.

Capital inflow tersebut terjadi saat perang Rusia dengan Ukraina yang biasanya membuat sentimen pelaku pasar memburuk dan menghindari aset-aset berisiko. Tetapi nyatanya saham-saham perusahaan Indonesia masih diburu.

Ekonom Senior Universitas Indonesia, Chatib Basri, melihat perang tidak memberikan dampak sektor keuangan dan moneter sehingga aliran modal masuk ke dalam negeri, dan Indeks harga Saham Gabungan (IHSG) terus menguat.

Pagi ini IHSG langsung menguat dan mencetak rekor tertinggi sepanjang masa di 7.143,542, dengan investor asing melakukan beli bersih sekitar Rp 70 miliar.

"Indonesia dianggap resikonya kecil jadi saya gak surprise kalau ada capital inflows. Ini yang menjelaskan mengapa stock market kita roaring. Doing relatively well," tuturnya.
Adapun di sisi obligasi, dia melihat harga obligasi turun. Namun hal ini dikarenakan adanya kenaikan yield US Treasury. "Tetapi dalam long term kalau harganya sudah sangat menarik orang (investor) akan masuk lagi."

Terkait dengan nilai tukar rupiah, Chatib mengaku tidak khawatir karena share asing di obligasi pemerintah hanya 19% saat ini.

Sementara itu indeks dolar AS sedang kuat-kuatnya, mencatat penguatan 3 hari beruntun di awal pekan kemarin dan menyentuh level 99. Pada hari ini, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini turun 0,9% ke 98,91.

Rilis data inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) dan data tenaga kerja AS, menjadi pemicu kuatnya dolar AS. Kedua data tersebut merupakan acuan The Fed (bank sentral AS) untuk menetapkan kebijakan moneter, saat ini yakni kenaikan suku bunga.

Ekspektasi kenaikan sebesar 50 basis poin di bulan depan menjadi menguat.

Meski demikian, Chatib melihat ada kemungkinan The Fed melakukan revisi rencananya, untuk tidak menaikkan 6-7 kali suku bunga kebijakannya.

"Apakah The Fed akan merevisi rencana kebijakannya? Sejauh ini belum. Tapi, saya menduga kalau situasi global memburuk gak mungkin The Fed akan kalibrasi menaikkan 6-7 kali basis poin atau menaikkan secara gradual, dan dampaknya akan ke inflasi Amerika Serikat," jelas Chatib.

Apalagi, Amerika Serikat kini kembali menghadapi ancaman resesi setelah imbal hasil (yield) obligasi tenor 2 tahun dengan 1o tahun kembali mengalami inversi.

Dalam situasi normal, yield obligasi jangka pendek akan lebih rendah dari jangka panjang. Tetapi jika investor melihat dalam jangka pendek perekonomian akan memburuk bahkan mengalami resesi, maka premi risiko yang diminta akan lebih tinggi.

Hal tersebut membuat yield obligasi jangka pendek menanjak hingga lebih tinggi dari tenor jangka panjang, yang disebut sebagai inversi.

Kabar buruknya, hampir setiap terjadi inversi, maka Amerika Serikat akan mengalami resesi.

Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Ngeri! 3 Hari Melesat 3% ke Level Terkuat 3 Bulan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular