Minyak Sawit Bikin Bos Makin Kaya, Mencekik Rakyat Jelata!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
06 April 2022 08:49
Ilustrasi Kelapa Sawit cpo palm oil
Foto: Ilustrasi Kelapa Sawit (REUTERS/Luis Echeverria)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak penyakit akibat virus corona (Covid-19) dinyatakan sebagai pandemi, harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) mengalami kenaikan sangat tajam dan berkali-kali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.

Lonjakan harga CPO tersebut memberikan efek ganda, ada yang sangat diuntungkan ada juga yang dirugikan. Yang paling diuntungkan tentunya perusahaan yang bergerak di bidang kelapa sawit.

Laba yang dicatat mengalami peningkatan yang signifikan, bagi perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), harga sahamnya juga menanjak. Para bos perusahaan CPO dan pemegang sahamnya pun semakin kaya raya.

Tetapi yang dirugikan adalah masyarakat luas. Harga minyak goreng yang berbahan dasar minyak sawit mengalami lonjakan harga gila-gilaan.

Di masa awal pandemi Covid-19, harga CPO memang sempat longsor. Pada Mei 2020 lalu harga CPO di Bursa Derivatif Malaysia untuk kontrak 3 bulan sempat menyentuh harga 1.939 ringgit (MYR) per ton. Tetapi sejak saat itu, harga minyak nabati ini terus menanjak.

Sepanjang 2020, minyak sawit mentah tercatat membukukan penguatan 18%, dan di tahun 2021 melesat lebih dari 30%. Kuartal I-2022 menjadi puncak meroketnya harga, setidaknya untuk saat ini sebab tidak menutup kemungkinan akan melesat lebih tinggi lagi.

Pada 9 Maret lalu, CPO menyentuh harga MYR 7.268/ton yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa, berdasarkan data Refinitiv. Dari posisi akhir 2021 hingga ke rekor tersebut, CPO meroket lebih dari 55%.

Tren kenaikannya terhenti di rekor tersebut, setelahnya terus mengalami penurunan dan menutup bulan Maret di MYR 5.705/ton. Dengan demikian, sepanjang kuartal I-2022, CPO mengalami kenaikan sekitar 21%.

Banyak faktor yang menyebabkan lonjakan harga CPO, tetapi utamanya adalah ketidakseimbangan supply dengan demand. Pada masa awal pandemi, Indonesia dan Malaysia sebagai dua produsen utama CPO menerapkan kebijakan pembatasan sosial yang ketat. Alhasil, tingkat produksi mengalami penurunan.

Namun, demand juga mengalami penurunan, sebab negara konsumen seperti China dan India juga menerapkan lockdown. Seiring berjalannya waktu, China berhasil meredam penyebaran Covid-19, perekonomiannya perlahan mulai berputar kembali dan permintaan CPO meningkat.

Sayangnya peningkatan permintaan tersebut belum bisa diimbangi dengan produksi, sehingga harga CPO terus menanjak. Kondisi tersebut diperparah dengan faktor musiman yang membuat tingkat produksi menurun, kemudian masalah logistik, hingga puncaknya perang Rusia dan Ukraina.

CPO sebagai minyak nabati memiliki beberapa substitusi, seperti minyak bunga matahari dan minyak kedelai.

Saat perang Rusia dan Ukraina terjadi, pasokan minyak bunga matahari menjadi terganggu, sebab kedua negara adalah produsen terbesar.

Mengutip data dari Statista, Ukraina memproduksi 17,5 juta metrik ton biji bunga matahari di musim panen 2021/2022, sementara Rusia sebanyak 15,4 juta metrik ton. Gangguan supply tersebut membuat konsumen beralih ke minyak sawit yang membuat harganya terus melambung di tiga bulan pertama tahun ini.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Indonesia "Kipas-Kipas Duit", Para Bos Makin Kaya

Kenaikan harga CPO memberikan keuntungan yang besar bagi Indonesia, neraca perdagangan Indonesia mampu mencatat surplus hingga 22 bulan beruntun. Sepanjang 2021, nilai ekspor CPO yang termasuk dalam ekspor lemak dan minyak hewan/nabati senilai US$ 32,8 miliar, meroket lebih dari 58% dibandingkan tahun sebelumnya. Ekspor tersebut berkontribusi 14,97% dari total tahun 2021, dan menjadi yang terbesar kedua setelah ekspor bahan bakar mineral.

Pendapatan negara pun mengalami lonjakan signifikan hingga melampaui target akibat kenaikan komoditas, tidak hanya CPO tetapi juga batu bara dan lainnya. Sepanjang 2021 pendapatan negara mencapai Rp 2.003,1 triliun atau 114,9% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 1.743,6 triliun.

Selain negara, perusahaan CPO juga tentunya mendapat keuntungan yang semakin besar. Ini terlihat dari kinerja lima emiten yang telah melaporkan rapor keuangan 2021 yang sukses membukukan kenaikan pendapatan dan laba bersih.

Berikut beberapa emiten yang mengalami lonjakan pendapatan dan laba bersih pada 2021.

Sejalan dengan kenaikan laba bersih tersebut, para bos atau manajemen kunci-direksi dan komisaris-perusahaan tersebut juga menerima berkah dalam bentuk kenaikan gaji dan kompensasi lainnya.

PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), memberikan total kompensasi, berupa imbalan jangka pendek, kepada personil manajemen kunci yang berjumlah 35 orang sebesar Rp 51,23 miliar pada 2021. Angka tersebut naik dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 37,99 miliar

PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) memberikan gaji dan imbalan jangka pendek kepada personil manajemen kunci, yakni direktur dan komisaris, sebesar Rp 53,55 miliar, naik dari tahun 2020 yang sebesar Rp 49,03 miliar.

PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) membayarkan imbalan kerja jangka pendek kepada manajemen kunci (termasuk dewan komisaris dan direksi) Perusahaan dan entitas anaknya sebesar Rp 55,68 miliar pada tahun lalu, naik dari tahun 2020 sebesar Rp 40,53 miliar.

PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), memberikan imbalan kerja jangka pendek kepada manajemen kunci (termasuk dewan komisaris dan direksi) Kelompok Usaha senilai Rp 170,89 miliar pada 2021.Jumlah tersebut meningkat dari total yang dibayarkan pada tahun 2020 sebesar Rp 117,95 miliar.

PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) membayarkan total kompensasi bruto kepada manajemen kunci (termasuk dewan komisaris dan direksi) Grup sebesar Rp 38,65 miliar pada tahun lalu, bertambah dari periode tahun sebelumnya Rp 37,16 miliar.

PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR), memberikan kompensasi kepada dewan komisaris dan direksi perusahaan sebesar Rp 77,13 miliar pada 2021. Sebelumnya, pada 2020, dewan komisaris dan direksi perseroan menerima kompensasi Rp 63,60 miliar.

PT. Triputra Agro Persada Tbk (TPAG), membayarkan imbalan kerja jangka pendek kepada manajemen kunci sebesar Rp 50,41 miliar untuk tahun yang berakhir pada 31 Desember 2021, meningkat dari periode sebelumnya sebesar Rp 44,79 miliar.

Belum lagi jika melihat kinerja saham emiten-emiten tersebut.

Sepanjang kuartal I-2022, AALI paling cuan diantara emiten sawit tersebut dengan kenaikan lebih dari 32%. Sementara SIMP yang paling rendah, tetapi tetap saja kenaikan sahamnya nyaris 10% dalam 3 bulan pertama tahun ini. Hal ini tentunya membuat kekayaan para pemegang sahamnya meningkat signifikan. 

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Harga Minyak Goreng Mencekik Rakyat Jelata

CPO merupakan bahan dasar minyak goreng, kenaikan harganya membuat nilai keekonomian minyak goreng meningkat tajam. Pemerintah sebenarnya sudah berusaha menjaga harga minyak goreng agar tidak meroket dengan menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET). Namun, kebijakan tersebut tidak efektif dan malah memicu kelangkaan minyak goreng.

Akhirnya pemerintah melepas dan membiarkan harga minyak goreng seusai mekanisme pasar. Lonjakan harga pun tak terhindarkan.

Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga minyak goreng kemasan bermerk I dijual dengan harga Rp 25.700/kg pada Jumat (1/4/2022). Dibandingkan tahun lalu, harga tersebut mengalami kenaikan 68%.

Peneliti dari Researcher at Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya menjelaskan perhitungan harga keekonomian minyak goreng. Dia menjelaskan hitungan Neraca Bahan Makanan Kementerian Pertanian menyebutkan konversi input (CPO) ke output untuk minyak goreng sawit sebesar 68,28% sementara konversi satuan dari kilogram ke liter dengan hitungan 1 liter = 0,8 kg. Konversi itu akan dilakukan harga minyak sawit mentah yang berlaku dan dikalikan 100%.

"Ilustrasinya kalau konversi CPO cuma 50%, berarti kita butuh dua unit CPO untuk mendapatkan 1 unit minyak goreng (100/50). Kalau konversi 68,28%, berarti untuk dapat 1 unit minyak goreng butuh 100/68,28 unit CPO = 1,46," jelas Aditya kepada CNBC Indonesia.

Dengan merujuk harga KPB Dumai saat per 31 Maret yang mencapai Rp 15.963 per kg maka hitungannya 100/68,28 x 0,8 x Rp 15.963 atau sekitar Rp 18.702. Namun dari harga tersebut, menurut Aditya, masih bisa lebih tinggi sebab ada tambahan marjin 10%, begitu juga dengan biaya tenaga kerja, operasional dan lainnya.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> CPO Diramal Meroket Lagi, Minyak Goreng Bisa Tembus Rp 32.000/liter?

Analis CPO ternama James Fry, dalam beberapa bulan ke depan harga minyak sawit mentah akan kembali meroket dan mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. Jika itu terjadi, tidak menutup kemungkinan harga minyak goreng akan semakin naik.

Fry menyoroti anjloknya stok minyak nabati secara global, salah satunya akibat perang Rusia dengan Ukraina. "Satu bulan yang lalu, kami memperkirakan ekspor minyak biji bunga matahari dari wilayah Laut Hitam akan meningkat 2 juta ton menjadi 13,5 juta ton pada musim 2021/2022. Sekarang yang menjadi pertanyaan, berapa dari jumlah tersebut yang hilang akibat perang Rusia dengan Ukraina?" kata Fry, sebagaimana dilansir Reuters, Rabu (9/3/2022).

Fry memprediksi sekitar 60% dari ekspor dari Laut Hitam terhambat, hal ini akan memicu permintaan CPO yang merupakan produk substitusinya. Ia memprediksi harga CPO bisa mencapai MYR 8.100/ton atau sekitar US$ 1.938/ton.

Harga CPO juga diperkirakan akan bergerak di kisaran MYR 6.600-8.100/ton hingga bulan Juli nanti, dan menurun menjadi MYR 6.200-7.000/ton pada semester II-2022 akibat tingkat produksi yang mulai meningkat dan permintaan yang melambat.

Jika harga CPO mencapai US$ 1.938/ton, berarti harga per kilogramnya US$ 1,938/kg. Jika dikonversi ke rupiah menjadi sekitar Rp 27.810/kg (kurs Rp 14.350/US$).

Dengan demikian, harga keekonomian minyak goreng hitungannya menjadi 100/68,28 x 0,8 x Rp 27.810 sama dengan Rp 32.538/liter. Itu belum termasuk tambahan margin 10%, begitu juga dengan biaya tenaga kerja, operasional dan lainnya.

Ilustrasi tersebut menggunakan harga CPO acuan di Bursa Derivatif Malaysia, harga di dalam negeri tentunya bisa berbeda. Harga KPB Dumai misalnya, pada 31 Maret Rp 15.963/kg, sementara harga CPO di Bursa Derivatif Malaysia MYR 5.705/ton atau sekitar US$ 1.375/ton dengan harga per kilogramnya US$ 1,375. Jika dirupiahkan menjadi Rp 19.487/kg, ada selisih sekitar Rp 3.500/kg dengan KPB Dumai.

Namun intinya, ketika harga CPO mengalami kenaikan signifikan dalam periode waktu yang cukup lama, maka ada risiko harga minyak goreng akan semakin mencekik.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Selamat ya Bos Sawit, Harga CPO Hari Ini Melesat!

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular