Jakarta, CNBC Indonesia - Publik dan investor saham tentu sangat tak asing dengan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). Banyak yang mengenal saham BBCA sebagai salah satu saham blue chip dan emiten perbankan dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar di Tanah Air.
Namun bank yang didirikan 65 tahun silam ini sempat goyang saat krisis keuangan melanda Asia pada 1998. Sejarah mencatat, tahun tersebut menjadi salah satu tahun paling kelam bagi perekonomian Indonesia sejak merdeka.
Nilai tukar rupiah melemah tajam dari Rp 2.000/US$ menjadi lebih dari Rp 10.000/US$. Output perekonomian domestik terkontraksi sampai 13% dan inflasi melesat tinggi.
Krisis ekonomi pun meluas menjadi gejolak politik dan krisis di dunia perbankan. Banyak bank kolaps karena para nasabahnya berbondong-bondong menarik dananya dari bank (bank rush). BBCA menjadi salah satu emiten perbankan yang terdampak dalam krisis tersebut. Bank rush terjadi di BBCA ketika pendirinya Sudono Salim (Salim Group) diisukan meninggal.
Meski mereda setelah Sudono Salim muncul di hadapan publik, namun aksi tarik dana kembali terjadi ketika kerusuhan Mei 1998 meletus. Bahkan kala itu lebih dari 30% Dana Pihak Ketiga (DPK) BBCA tergerus akibat nasabah yang terus menerus menarik uangnya.
Manajemen BBCA yang kewalahan sampai harus mengambil berbagai tindakan seperti membatasi penarikan dana lewat kasir hanya Rp 5 juta, ATM Silver Rp 500 ribu, dan ATM Gold Rp 1 juta. Namun keringnya likuiditas BBCA menjadikannya salah satu pesakitan dan harus diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
BBCA sampai harus disuntik modal oleh pemerintah dan BPPN menyatakan Grup Salim sebagai pemegang saham pengendali bank saat itu memiliki kewajiban kepada pemerintah senilai Rp 35 triliun. Munculnya kewajiban tersebut membuat saham BBCA berpindah kepemilikan.
Pemerintah akhirnya 'mengempit' lebih dari 90% saham BBCA. Namun peran pemerintah bukan untuk berbisnis apalagi mengelola banyak bank. Sehingga pemerintah memutuskan untuk menjual kepemilikan sahamnya di BBCA.
Dua dekade silam atau tepatnya pada tahun 2000, pemerintah mengumumkan rencana penjualan saham BBCA. Skenario penawaran umum (IPO) pun dijajaki. Namun akibat harga yang ditawarkan dirasa masih terlalu mahal, aksi korpoasi tersebut pun ditunda.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, pada 31 Mei 2000, saham BBCA pun dilepas ke publik dengan harga Rp 1.400/saham. Namun kisah BBCA tak berhenti sampai di situ. Pemerintah yang kala itu memegang 73,3% saham BBCA berencana untuk mendivestasikan 40% kepemilikannya.
Pada 16 Agustus 2001, pemerintah mengubah kebijakannya untuk mengulangi tender divestasi menjadi 30% saham BBCA. Selang tak berapa lama, pemerintah kembali mengubah rencana divestasinya dari 30% menjadi 51%.
Pada 23 Oktober 2001, sebanyak 18 investor strategis yang menyatakan minat pembelian mereka diundang oleh BPPN. Sebulan setelahnya BPPN memilih 9 calon investor strategis tersebut untuk mengikuti uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test).
Selanjutnya pada 28 Januari 2002, hanya empat kandidat investor strategis yang memberikan memberikan penawaran akhir. Mereka adalah konsorsium Bank Mega, konsorsium Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI), konsorsium Standard Chartered dan konsorsium Faralon Capital.
Kemudian, pada 25 Februari 2002, Bank Indonesia (BI) resmi mengumumkan dua calon penawar yang tersisa yakni konsorsiun Standard Chartered dan Faralon Capital. Setelah itu proses berlanjut hingga akhirnya menyisakan seorang pemenang tender yakni konsorsium Faralon Capital dan FarIndo Investment yang berbasis Mauritius yang mengempit 51,15% saham BBCA.
Tepat saat itulah, kepemilikan saham BBCA beralih dari pemerintah ke konsorsium di bawah Bambang dan Robert Hartono penerus Djarum Group. Sementara keluarga Salim masih memiliki 1,76% saham BBCA.
Itulah sejarah bagaimana BBCA dari bank 'pesakitan' milik Salim Group, dikembangkan oleh Mochtar Riady (Lippo Group), dan berakhir di tangan Hartono bersaudara. Seiring dengan berjalannya waktu, kepercayaan publik terhadap BCA pun meningkat dan BBCA menjadi bank yang sehat.
Bahkan menariknya, komposisi DPK BBCA, menjadi yang paling sehat dengan rasio dana murah (CASA) lebih dari 70% yang menjadikan BBCA menjadi salah satu bank paling profitable di Tanah Air. Kinerja keuangan yang solid, konsisten dan terus bertumbuh juga tercermin dari pergerakan harga sahamnya.
Sejak melantai di bursa saham, return saham BBCA mencapai 22.543% jauh melampaui kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang memberikan return 1.458% pada periode yang sama. Angka ini bahkan belum termasuk dengan dividen yang diberikan oleh BBCA tiap tahunya.
Kenaikan harga saham BBCA inilah yang membuat keluarga Hartono menjadi orang paling tajir di Indonesia. Lewat PT Dwimuria Investama Andalan yang mengempit 54,94% saham BBCA, kekayaan Hartono Bersaudara mencapai Rp 536,8 triliun dari kepemilikannya di saham BBCA yang saat ini nilai kapitalisasi pasarnya mencapai hampir Rp 977 triliun.
Selain menjadi perusahaan paling valuable dengan market cap terbesar di bursa domestik, kontribusi saham BBCA terhadap IHSG juga mencapai lebih dari 12%. Selain karena track record kinerja yang mumpuni selama dua dekade terakhir, aksi korporasi yang rajin dilakukan BBCA berupa pemecahan nilai nominal sahamnya (stock split) juga mendorong likuiditas transaksi saham BBCA meningkat diikuti dengan partisipasi investor lokal maupun asing.
Berdasarkan penelusuran CNBC Indonesia sejak debut di pasar modal Tanah Air, BBCA tercatat sudah 4x melakukan stock split. Pertama pada 15 Mei 2001, kedua pada 8 Juni 2004, ketiga pada 28 Januari 2008 dan terakhir tahun lalu tepatnya 15 Oktober 2021.
Bahkan setelah stock split tahun lalu, nilai kapitalisasi pasar BBCA sempat tembus Rp 1.000 triliun dan menjadi perusahaan publik Tanah Air pertama yang sukses mencatatkan rekor tersebut.
Sedikit mengulas kinerja keuangannya di tahun 2021, laba bersih bank milik Group Djarum ini melesat 15,8% year on year (yoy) menjadi Rp 31,4 triliun. Lagi-lagi BBCA menjadi bank dengan laba terbesar mengalahkan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang menorehkan capaian Rp 31,1 triliun di sepanjang 2021.
Kredit konsolidasi BBCA tumbuh 8,2% yoy tahun lalu jauh lebih tinggi dari laju pertumbuhan kredit perbankan nasional yang hanya mencapai 5,2% yoy. Bahkan dengan pertumbuhan kredit yang pesat tersebut, likuiditas BBCA tetap longgar dibuktikan dengan rasio loan to deposit (LDR) yang baru mencapai 62%.
Sebagai bentuk apresiasi atas kinerja yang solid tahun lalu kepada investor, BBCA memutuskan untuk membagikan dividen senilai Rp 14,79 triliun atau setara dengan Rp 120/saham yang akan dibayarkan pada 19 April 2022. Sebagai informasi, BBCA telah membagikan dividen interim pada tahun lalu senilai Rp 3,08 triliun atau setara dengan Rp 25/saham.
Dengan demikian, total dividen untuk tahun buku 2021 mencapai Rp 17,87 triliun atau setara dengan Rp 145/saham (57% dari laba bersih BBCA). Lewat pembagian dividen tersebut pun maka secara total keluarga Hartono mendapatkan total dividen di luar Pajak Penghasilan (PPh) senilai kurang lebih Rp 9,82 triliun.
Bayangkan saja dalam satu tahun penghasilan dari dividen saja mencapai triliunan rupiah, wajar jika Hartono bersaudara dibobatkan sebagai orang paling kaya di Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA