Lagi Lagi Batu Bara Bikin RI Untung Gede, Bisa Sampai Kapan?

Maesaroh, CNBC Indonesia
15 March 2022 17:40
Aktivitas bongkar muat ekspor impor di Pelabuhan New Priok
Foto: Aktivitas bongkar muat ekspor impor di Pelabuhan New Priok, Jakarta Utara, Jumat (25/2/2022). (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Surplus neraca perdagangan pada Februari 2022 melonjak ke US$3,83 miliar. Angka tersebut naik hampir empat kali lipat dibandingkan surplus yang tercatat pada Januari (US$962,6 juta).

Surplus Februari menjadi yang tertinggi sejak Oktober tahun lalu yakni US$ 5,74 miliar. Juga, melebihi konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia.

Sebagai perbandingan, 13 ekonom dalam jajak pendapat Reuters memperkirakan surplus dagang RI mencapai $1,8 miliar pada Februari tahun ini.

Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS) ekspor pada Februari mencapai US$ 20,47 miliar sementara impor ada di kisaran US$16,64 miliar.

Ekspor pada Februari mengembalikan tren ekspor di atas US$ 20 miliar yang sempat terhenti di bulan Januari.

Sementara itu, impor pada Februari adalah yang terendah sejak Oktober 2021 (US$ 16,29 miliar).


Peningkatan surplus tidak lepaskan dari lonjakan harga-harga komoditas pertambangan dan pertanian mulai dari batu bara hingga emas.

Namun, surplus  besar ini kemungkinan tidak berlanjut lama karena impor bisa meningkat tajam ke depan seiring pemulihan ekonomi domestik.

Seperti yang sudah diduga, batu bara menjadi bintang dari peningkatan ekspor Februari. Pada bulan lalu, batu bara yang masuk dalam kelompok bahan bakar mineral menyumbang nilai ekspor sebesar US$ 2,99 miliar. Jumlah tersebut melonjak 141,5% dibandingkan yang tercatat di Januari (US$ 1,24 miliar).

"Negara tujuan ekspor utamanya adalah Tiongkok, India, dan Jepang," tutur Kepala BPS Margo Yuwono.

Secara akumulatif, batu bara menyumbang ekspor sebesar US$4,24 miliar atau 11,23% dari total ekspor non migas Indonesia di Januari-Februari.

Sebagai catatan, pemerintah sempat melarang produsen batu bara untuk mengirim batu bara di Januari demi memenuhi kebutuhan bahan bakar PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Pemerintah membuka kembali keran ekspor batu bara di bulabn Februari bagi perusahaan yang memenuhi syarat, termasuk kewajiban pasar domestik (DMO).

Jika merunut pada data BPS sejak Agustus tahun lalu, ekspor bahan bakar mineral pada Februari tahun ini memang tidak sebesar bulan-bulan pada kuartal III tahun lalu. Namun, angkanya sudah melewati pencapaian pada Agustus 2021 ( US$2,93 miliar).

Ekspor bahan bakar mineral melonjak sejak kuartal III tahun 2021 bahkan menyentuh angka US$ 4,13 miliar di November 2021.
"Surplus didorong oleh kenaikan harga komoditas serta moderatnya permintaan domestik. Kenaikan komoditas non migas akan menguntungkan karena menjadi motor pertumbuhan," tutur ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana, kepada CNBC Indonesia.

Dia menambahkan lonjakan harga komoditas membalikkan proyeksi awal bahwa ekspor akan moderat pada tahun ini.

Besarnya ekspor batu bara juga mendongkrak ekspor sektor pertambangan. Pada Februari, ekspor sektor pertambangan mencapai US$3,6 miliar, naik 65,82% secara bulanan (month to month/mtm) dan melonjak 84,61% secara tahunan (year on year/YoY).

Berbanding terbalik dengan batu bara, ekspor lemak dan minyak hewan/nabati yang didominasi crude palm oil (CPO) turun tipis 1,19% dibandingkan Januari 2022 dan 4,02% dibandingkan Februari 2021.


Pada Februari, ekspo lemak dan minyak hewan/nabati masih menyumbang ekspor sebesar US$ 2,418 miliar sementara di Januari sebesar US$ 2,425 miliar.
Ekspor lemak dan minyak hewan/nabati pada Februari tahun ini adalah yang terendah sejak Juni tahun lalu yang berada di angka US$ 1,89 miliar.

Sebagai catatan, mulai Februari, Kementerian Perdagangan memberlakukan kebijakan domestic price obligation (DPO) dan domestic market obligation (DMO). DMO bahkan dinaikkan menjadi 30% dari rencana semula 20%.

"Apakah turunnya (ekspor CPO) karena dampak DMO dan DPO kita belum tahu. Perlu kajian lebih lanjut," tutur Margo Yuwono.

Nilai impor melambat pada Februari menjadi US$ 16,64 miliar, turun 8,64% (mtm) tetapi masih naik 25,43% (YoY). Penurunan impor pada bulan Februari melanjutkan tren historisnya di mana pada bulan tersebut, hampir selalu lebih rendah dibandingkan bulan Januari. Impor pada Februari adalah yang terendah sejak Oktober 2022 (US$ 16,29 miliar).

Untuk tahun ini, penurunan impor juga disebabkan oleh merebaknya varian Omicron. Seperti diketahui, kasus Covid-19 melonjak di Februari karena varian Omicron hingga kasus Covid-19 menyentuh rekor tertinggi ke level 64.718.

"Penurunan impor karena adanya peningkatan pembatasan aktivitas masyarakat yang berdampak pada melemahnya aktivita ekonomi," tutur Faisal Rachman, ekonom Bank Mandiri.

Bersasarkan catatan Bank Mandiri, ini adalah kali ketiga belas secara beruntun impor mencatatkan pertumbuhan double digit secara tahunan. Namun, pertumbuhan tahunan pada Februari tahun ini adalah yang terendah sejak April 2021 (29,93%)

Kendati secara bulanan menurun, Faisal mengingatkan baik barang mentah ataupun barang modal masih menunjukan pertumbuhan di atas 20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Artinya, sinyal akselerasi pemulihan ekonomi masih berjalan.

"Kita melihat surplus 2022 ini kemungkinan akan turun karena impor naik di bulan-bulan mendatang seiring pemulilhan ekonomi," ujarnya.

Konflik Rusia-Ukraina akan sangat menentukan arah surplus ke depan. Di satu sisi, konflik tersebut akan menjaga harga komoditas tetap tinggi sehingga nilai ekspor tetap besar. Namun di sisi lain, pemulihan ekonomi domestik akan menggerus ekspor sehingga surplus menipis.

Terlebih, pada April sudah ada momen Ramadhan. Momen tersebut diyakini akan mendongrak impor di Maret mengingat produsen akan meningkatkan impor bahan baku ataupun barang demi menaikkan kapasitas pabrik.
 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular