Harga Minyak, Batu Bara, Emas Berguguran! Ada Apa Ini?

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
15 March 2022 15:18
FILE PHOTO: Oil pours out of a spout from Edwin Drake's original 1859 well that launched the modern petroleum industry at the Drake Well Museum and Park in Titusville, Pennsylvania U.S., October 5, 2017. REUTERS/Brendan McDermid/File Photo
Foto: Ilustrasi: Minyak mengalir keluar dari semburan dari sumur 1859 asli Edwin Drake yang meluncurkan industri perminyakan modern di Museum dan Taman Drake Well di Titusville, Pennsylvania AS, 5 Oktober 2017. REUTERS / Brendan McDermid / File Foto

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga komoditas mulai berjatuhan setelah melambung tinggi karena tersengat isu eskalasi geopolitik antara Rusia dan Ukraina. Apakah penurunan ini hanya aksi profit taking atau memang harga sudah mentok?

Harga minyak dunia anjlok dalam seminggu terakhir. Dua acuan minyak mentah jenis brent dan WTI longsor 20% point-to-point (ptp) dari puncak tertinggi yang dicapai. Harga minyak brent tercatat US$ 102,35/barel. WTI tercatat US$ 98,52/barel.

Batu bara yang sempat perkasa yang mencapai harga tertinggi di US$ 446/ton, jatuh ke US$ 336,15/ton atau 24,6%. Sementara gas di Eropa ambles 48,3% menjadi Euro 215/MWh, dari puncaknya sebesar Euro 111.5/MWh.

Harga Komoditas EnergiSumber: Refinitiv
Harga Komoditas Energi

Turunnya harga komoditas energi utama juga menular ke energi alternatif yaitu minyak kelapa sawit (CPO). Harga CPO yang mengacu pada bursa berjangka Malaysia tercatat MYR 6.155/ton, turun 135 dari harga tertinggi MYR 7.704/ton.

Harga CPOSumber: Refinitiv
Harga CPO

Aset safe haven yang jadi tempat lindung nilai aset investor turut melemah. Emas di pasar spot turun 5,9% dan keluar dari zona US$ 2000/troy ons. Saat ini harga emas dunia tercatat US$ 1.930,51/troy ons. Sementara perak tercatat US$ 24,71/ons, turun 3,7% dari puncaknya.

Harga Aset Safe HavenSumber: Refinitiv
Harga Aset Safe Haven

Akhir-akhir ini harga komoditas sensitif terhadap eskalasi geopolitik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina. Sebab dampaknya bisa mempengaruhi ketersediaan pasokan komoditas dunia.

Serangan Rusia ke Ukraina membuat negara barat geram. Sehingga menjatuhi sanksi dengan 'menendang' Rusia dari sistem keuangan internasional. Hukuman tersebut mengganggu arus dagang dari dan ke Rusia. Terutama untuk komoditas yang jadi andalan ekspor negeri beruang merah tersebut.

Para pelaku pasar cemas karena pasokan komoditas dunia akan terancam makin langka pasokannya di tengah pemulihan produksi.

Rusia adalah salah satu negara pemasok komoditas terbesar di dunia. Menurut BP Statistics Review, Rusia memiliki 26,2% pangsa ekspor di seluruh dunia dengan jumlah 197,7 miliar meter kubik. Eropa pun bergantung dengan 33% produk energi di Eropa diimpor dari Negari Beruang Merah.

Rusia adalah negara nomor empat eksportir terbesar di dunia dengan pangsa pasar 11,4% terhadap total pasokan minyak. Lainnya, Rusia merupakan eksportir batu bara terbesar nomor tiga dunia setelah Indonesia dan Australia. Pada tahun 2019, ekspor Rusia mencapai 217 juta ton. Jumlah produksi emas hitam dari Rusia kini mencapai 400 juta ton per tahun, atau setara 5% produksi batu bara global.

Kemudian ketika isu perang mendingin, kecemasan para pelaku pasar akan berkurang. Maka harga komoditas pun mulai berguguran.

Dialog antara Rusia dan Ukraina mulai mendinginkan tensi kedua negara. Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan ada kemajuan dalam pembicaraan antara Kremlin dan Ukraina.

Di sisi lain, pernyataan bernada positif juga dilontarkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Ia menyebut saat ini Kyiv sudah mencapai titik balik strategis dalam serangan ini.

Di sisi lain, para investor pun mulai ambil untung. Terlebih lagi harga komoditas sepanjang 2022 melonjak. Harga minyak dunia telah naik 62% ptp sejak awal tahun hingga harga tertinggi. Batu bara meroket 181% ptp. Gas Eropa turut melejit hingga 135% ptp. CPO melambung 46%.

Aset safe haven pun ikut laris karena sentimen konflik di Eropa Timur. Harga emas melonjak 14% ptp. Sementara perak naik 15% ptpt.

Belum lagi ledakan kasus Covid-19 di China. Pada Selasa (15/3/2022), China mencatat 5.280 kasus infeksi baru. Ini merupakan rekor tertinggi dalam dua tahun, sebagaimana dimuat Economic Times, mengutip Komisi Kesehatan Nasional (NHC). Kasus didorong menyebarnya varian Omicron dengan 3.000 kasus domestik.

Strategi "nol Covid" yang tak segan me-lockdown wilayah jadi jadi tekanan bagi harga komoditas global. Ini karena China adalah konsumen terbesar komoditas global. Lockdown yang dilakukan akan mengganggu konsumsi dunia.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ras/ras)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Batu Bara, CPO, dan Minyak Ramai-Ramai Cetak Rekor

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular