Tenang, Rupiah Masih Bertenaga Lawan Poundsterling Kok...
Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah bergerak beragam di hadapan euro, poundsterling, dan dolar franc swiss hari ini, Senin (14/3/2022). Rupiah melemah terhadap euro dan dolar franc swiss. Namun, rupiah perkasa terhadap poundsterling.
Konflik di Eropa Timur masih menjadi salah satu penggerak sentimen di wilayah Eropa dan Inggris.
Melansir data Refinitiv, pada pukul 11:20 WIB euro terhadap rupiah menguat 0,11% ke Rp 15.617,12/EUR dan dolar franc swiss terhadap rupiah terapresiasi 0,05% ke Rp 15.301,22/CHF. Namun, poundsterling terhadap Mata Uang Tanah Air terkoreksi sebanyak 0,03% ke Rp 18.635,39/GBP.
Sebagai info, poundsterling memang sedang terkoreksi terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sebanyak 0,22% ke 1,3007.
Di wilayah Eropa, Menteri Keuangan Eropa menyarankan kebijakan fiskal yang netral di 2023 dan harus bersiap dengan lebih banyak likuiditas di tengah kisruh di Eropa Timur. Karena konflik tersebut berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi Eropa.
Pekan lalu, bank sentral Eropa (ECB) memprediksikan pertumbuhan ekonomi akan melambat sebanyak 0,5% tahun ini karena konflik yang masih terus berlanjut dan angka inflasi berada di 5,1% tahun ini dan 2,1% tahun 2023.
"Ada alasan untuk optimis terhadap ekonomi Eropa, tapi kita berada di situasi dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi. Kita harus bersiap mengubah asumsi dan menyesuaikan kebijakan kita," tutur pejabat ECB dikutip dari Reuters.
Namun, potensi gangguan pasokan gas alam masih menghantui. Pekan lalu, pada Selasa (8/3), Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak memperingatkan bahwa Moskow dapat menghentikan ekspornya ke Jerman dan seluruh Eropa melalui pipa Nord Stream 1.
Menurut Ketua Goldman Sachs di Eropa Sven Jari Stehn bahwa wilayah Eropa menghasilkan sekitar seperempat energinya dari gas alam, Rusia menyumbang sekitar sepertiga dari impor blok tersebut. Oleh karena itu, gangguan impor gas lebih lanjut dapat berdampak hebat bagi ekonomi dan inflasi zona Eropa.
Tim Goldman Sachs melaporkan penelitian bahwa harga gas alam yang tinggi dapat membebani pertumbuhan PDB Kawasan Eropa sebesar 0,6 persentase poin (pp) dan Inggris sebesar 0,1 pp, jika mengasumsikan tidak ada gangguan pasokan gas lebih lanjut.
Namun, dampak di Jerman lebih besar sebanyak -0,9 pp, karena ketergantungan yang tinggi terhadap gas Rusia.
Sementara itu, skenario jika Rusia menyetop semua ekspor gas ke Eropa, diproyeksikan pertumbuhan PDB turun sebesar 2,2 pp, di Jerman PDB akan turun 3,4 pp dan Italia minus 2,6 pp.
Dari sisi inflasi, skenario di mana aliran gas melalui Ukraina dihentikan akan menambah 0,7 pp pada perkiraan inflasi Kawasan Eropa yang akan berpuncak di Desember 2022. Sedangkan, apabila pasokan gas Rusia diberhentikan akan menambah 1,3 pp ke angka inflasi.
Prospek lonjakan harga energi lebih lanjut telah memicu kecemasan akan "stagflasi", di mana ekonomi global dilanda inflasi yang tinggi di samping pertumbuhan ekonomi yang lambat dan angka pengangguran yang tinggi.
Melansir BP Statistics, pada tahun 2020, Rusia mengekspor sebanyak 167,7 miliar meter kubik setara dengan 37,5% dari total impor gas alam Eropa.
Rusia memiliki 26,2% pangsa ekspor di seluruh dunia dengan jumlah 197,7 miliar meter kubik, jika mengacu kepada data BP Statistical.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/vap)