Mayday Mayday! Suku Bunga AS Bisa Naik 7 Kali

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 February 2022 11:37
Jerome Powell
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi yang sangat tinggi di Amerika Serikat (AS) membuat peluang suku bunga dinaikkan dengan agresif semakin kuat. Bank sentral AS (The Fed) sebelumnya sudah mengindikasikan bisa menaikkan suku bunga tiga kali di tahun ini.

Tetapi dengan inflasi yang mencapai 7,5% year-on-year (yoy), tertinggi sejak Februari 1982, banyak analis dari bank investasi melihat The Fed akan bertindak lebih agresif, salah satunya dengan menaikkan suku bunga 50 basis poin di bulan Maret.

Citigroup, Deutche Bank, HSBC dan Nomura menjadi beberapa yang memprediksi The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 0,5% hingga 0,75% Maret nanti.

Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar kini melihat probabilitas sebesar 93,8% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin bulan depan. Dan probabilitas kenaikan 25 basis poin hanya 6% saja.

cmeFoto: CME Group

Artinya, pasar melihat The Fed pasti menaikkan suku bunga bulan depan, dan kemungkinan sebesar 50 basis poin menjadi 0,5% - 0,75%.

Sementara itu, ekonom dari Goldman Sachs sejak awal bulan lalu sudah memperingatkan kemungkinan The Fed akan sangat agresif.

"Prediksi dasar kami The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali di bulan Maret, Juni, September dan Desember. Tetapi Kami melihat risiko The Fed ingin menaikkan suku bunga di setiap pertemuan sampai proyeksi inflasi berubah," kata David Mericle, ekonom di Goldman Sachs kepada nasabahnya yang dikutip CNBC International, Minggu (23/1).

Kini dengan inflasi yang melesat lagi ekonom tersebut melihat peluang kenaikan suku bunga hingga 7 kali di tahun ini semakin besar.

Melihat jumlah pertemuan The Fed sebanyak 8 kali di tahun ini, dan seandainya suku bunga mulai dinaikkan bulan Maret, artinya setiap pertemuan The Fed akan menaikkan suku bunga.

Jika setiap kenaikan sebesar 25 basis poin, maka total The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 175 basis poin menjadi 1,75% - 2%.

Dari internal The Fed, James Bullard yang merupakan salah satu anggota voting pengambilan keputusan menyatakan ia ingin melihat suku bunga sudah naik 1% pada 1 Juli. Artinya, Bullard akan memberikan suara untuk kenaikan suku bunga pada Maret, Mei, dan Juni sesuai jadwal pertemuan The Fed.

Agar bisa menjadi 1%, artinya suku bunga kemungkinan akan dinaikkan 50 basis poin sekali, dan dua kali lagi masing-masing 25 basis poin.

Dengan agresivitas yang diinginkan Bullard, tentunya tidak menutup kemungkinan prediksi Goldman Sachs benar, apalagi jika inflasi tidak juga melandai. Maka pasar finansial global yang saat ini bisa dikatakan masih kalem bakal terguncang. Indonesia juga akan terkena dampak buruknya, baik dari pasar sisi pasar finansial maupun sektor riil.

Pasar saat ini sebenarnya sudah menakar kenaikan suku bunga The Fed sebanyak 4 kali.

Hal tersebut terlihat dari survei yang dilakukan Reuters pada periode 31 Januari - 2 Februari terhadap analis mata uang. Bahkan pasar juga sudah menakar kenaikan sebesar 125 basis poin, dengan kemungkinan kenaikan 50 basis poin di bulan Maret dan masing-masing 25 basis poin di tiga kenaikan selanjutnya.

Dengan kenaikan tersebut, dolar AS diprediksi masih akan mendominasi hingga 6 bulan ke depan, tetapi kenaikannya tidak akan jauh dari level saat ini.

Selain itu, median dari 24 analis menunjukkan agar dolar AS menguat tajam perlu ada tambahan kenaikan sebesar 62,5 basis poin.

Artinya total The Fed perlu menaikkan suku bunga sebesar 187,5 basis poin agar dolar AS bisa menguat tajam. Jika The Fed benar menaikkan suku bunga hingga 7 kali dengan total 175 basis poin, tentunya akan mendekati median survei tersebut dan dolar AS pun berisiko mengamuk.

Selain penguatan dolar AS, kenaikan suku bunga yang sangat agresif berisiko memicu capital outflow dari pasar finansial Indonesia, sehingga rupiah akan mendapat tekanan hebat.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Mengingat Kembali Dampak Buruk Normalisasi Kebijakan The Fed Bagi RI

Jebloknya nilai tukar rupiah bisa menjadi awal bagi rentetan risiko besar yang dihadapi Indonesia.

Langkah The Fed kali ini jauh lebih agresif ketimbang normalisasi yang dilakukan pasca krisis finansial global 2008. Pada pertengahan 2013, The Fed mulai mewacanakan normalisasi kebijakan moneter dengan melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE).

Tapering pada akhirnya dimulai awal 2014 dan selesai di bulan Oktober 2014. Setelahnya suku bunga baru dinaikkan pada Desember 2015. Artinya, ada jeda lebih dari satu tahun, begitu juga dengan pengurangan nilai neraca yang mulai dilakukan pada 2018.

Kali ini, The Fed sangat amat lebih agresif, tapering akan selesai pada bulan Maret dan berlanjut dengan kenaikan suku bunga serta pengurangan nilai neraca.

Di tahun 2013, The Fed mengumumkan tapering pada bulan Juni, dan berdampak pada pelemahan rupiah hingga tahun 2015 akibat terjadinya capital outflow dari pasar obligasi yang masif.

idrFoto: Refinitiv
idr

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ kemudian terus melemah hingga mencapai puncaknya pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

Jebloknya kinerja rupiah berdampak besar dan buruk bagi Indonesia. Inflasi menjadi meroket hingga ke atas 8%.

Inflasi yang tinggi pun memakan korban, daya beli masyarakat menurun yang pada akhirnya berdampak pada pelambatan pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, Bank Indonesia juga menaikkan suku bunga guna meredam gejolak rupiah serta capital outflow. Alhasil, ekspansi dunia usaha menjadi tersendat.

Di kuartal II-2014, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 4,94% (yoy). Untuk pertama kalinya sejak kuartal III-2009, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi di bawah 5%. Setelahnya, PDB Indonesia sulit kembali ke atas 5%.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> 'Setan' Resesi Mulai Gentayangan Lagi

The Fed yang akan menaikkan suku bunga dengan agresif bertujuan untuk meredam inflasi. Tetapi jika suku bunga terlalu tinggi maka roda perekonomian bisa melambat, sebab suku bunga kredit akan meningkat, dan ekspansi bisnis perusahaan menjadi terhambat.

Pergerakan yield obligasi AS (Treasury) sudah menunjukkan hal tersebut. Yield Treasury tenor 2 tahun yang sensitif akan kenaikan suku bunga sudah melesat naik. Begitu juga dengan yield Treasury tenor 10 tahun, tetapi kenaikan jauh lebih lambat.

Di akhir tahun 2021, yield Treasury tenor 2 tahun berada di kisaran 0,73%, sementara Kamis lalu berada di kisaran 1,54%, mengalami kenaikan sekitar 81 basis poin, sementara tenor 10 tahun mengalami kenaikan 51 basis poin menjadi 2,01% dari akhir tahun lalu 1,5%.

Artinya, spread yield semakin menyempit, kurva semakin mendatar bahkan kemungkinan terjadi inversi atau yield Treasury tenor 2 tahun lebih tinggi dari tenor 10 tahun.

Reuters melaporkan banyak analis melihat inversi akan terjadi di tahun ini. Analis dari bank Standar Chartered salah satunya, yang melihat inversi akan terjadi di akhir tahun ini.

Inversi yield di Amerika Serikat menjadi pertanda buruk. Sebab, berdasarkan riset dari The Fed San Fransisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).

Inversi yield Treasury terakhir kali terjadi di Amerika Serikat pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Ketika Negara Adidaya mengalami pelambatan ekonomi lagi, bahkan resesi maka dampaknya akan terasa ke berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular