
Inflasi di Amerika Ngeri, 'Setan' Resesi Gentayangan Lagi!
![[THUMB] Resesi](https://awsimages.detik.net.id/visual/2019/08/15/27dbf9fa-58eb-4577-ba99-c378eacea466_169.jpeg?w=900&q=80)
Jakarta, CNBC Indonesia - Tren kenaikan inflasi di Amerika Serikat (AS) masih belum melambat di awal 2022, alhasil berbagai risiko kini kembali menghantui perekonomian Paman Sam, termasuk resesi. Ketika Negara Adidaya mengalami pelambatan ekonomi lagi, bahkan resesi maka dampaknya akan terasa ke berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia.
Departemen Tenaga Kerja AS kemarin melaporkan inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) tumbuh 7,5% year-on-year (yoy) di bulan Januari, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 7% (yoy) juga ekspektasi Reuters sebesar 7,3% (yoy).
Inflasi tersebut menjadi yang tertinggi sejak Februari 1982, dan kembali menguatkan ekspektasi bank sentral AS (The Fed) akan menaikan suku bunga dengan agresif di tahun ini dan kemungkinan sebesar 50 basis poin di bulan Maret nanti.
Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar kini melihat probabilitas sebesar 88,9% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin bulan depan. Dan probabilitas kenaikan 25 basis poin hanya 11,1% saja.
![]() |
Artinya, pasar melihat The Fed pasti menaikkan suku bunga bulan depan, dan kemungkinan sebesar 50 basis poin menjadi 0,5% - 0,75%.
Kenaikan suku bunga memang bisa meredam inflasi, tetapi jika suku bunga terlalu tinggi maka roda perekonomian bisa melambat, sebab suku bunga kredit akan meningkat, dan ekspansi bisnis perusahaan menjadi terhambat.
Pergerakan yield obligasi AS (Treasury) sudah menunjukkan hal tersebut. Yield Treasury tenor 2 tahun yang sensitif akan kenaikan suku bunga sudah melesat naik. Begitu juga dengan yield Treasury tenor 10 tahun, tetapi kenaikan jauh lebih lambat.
Di akhir tahun 2021, yield Treasury tenor 2 tahun berada di kisaran 0,73%, sementara saat ini berada di kisaran 1,54%, mengalami kenaikan sekitar 81 basis poin, sementara tenor 10 tahun mengalami kenaikan 51 basis poin menjadi 2,01% dari akhir tahun lalu 1,5%.
Artinya, spread yield semakin menyempit, kurva semakin mendatar bahkan kemungkinan terjadi inversi atau yield Treasury tenor 2 tahun lebih tinggi dari tenor 10 tahun.
Reuters melaporkan banyak analis melihat inversi akan terjadi di tahun ini. Analis dari bank Standar Chartered salah satunya, yang melihat inversi akan terjadi di akhir tahun ini.
Inversi yield di Amerika Serikat menjadi pertanda buruk. Sebab, berdasarkan riset dari The Fed San Fransisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).
Inversi yield Treasury terakhir kali terjadi di Amerika Serikat pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi, meski juga dipengaruhi oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Inflasi di Amerika Ngeri, The Fed Terpaksa Kerek Suku Bunga?