Asing Banjiri Bursa Bikin IHSG Ciamik, Waspadai 'Hantu' Ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah 4 kali menembus rekor tertinggi sepanjang masa (all time high/ATH) harian di awal 2022 ini. Seiring dengan ini, dana investor (net buy) asing membanjiri bursa saham Tanah Air sejak awal tahun.
Melesatnya IHSG juga diikuti oleh naiknya indeks unggulan LQ45 dan sejumlah saham-saham berkapitalisasi pasar besar (big cap).
Hari ini, Kamis (10/2/2022), IHSG ditutup melemah 0,16% ke 6.823,642, seiring investor mulai menarik 'cuan'. Namun, kendati IHSG melemah, investor asing masuk Rp 1,56 triliun di pasar reguler.
Sejak awal tahun (ytd), asing sudah masuk dengan catatan beli bersih Rp 15,53 triliun. IHSG sendiri sudah menguat 3,68% secara ytd.
Selama awal 2022 ini, sudah 4 kali IHSG memecahkan rekor ATH, yakni pada 21 Januari (di level 6.726,37), 4 Februari (6.732,39), 7 Februari (6.804,94), dan 9 Februari (6.834,61).
Indeks LQ45 juga sudah naik 3,21% sejak awal tahun ini.
Kenaikan IHSG juga terjadi seiring saham-saham big cap juga banyak diborong asing dan harganya ikut terangkat ke atas. Khususnya, the big four perbankan, yang baru saja melaporkan kinerja keuangan sepanjang 2021 yang mengesankan.
Kinerja emiten bank yang ciamik membuat investor beramai-ramai masuk dengan ekspektasi laba yang tinggi turut membuat porsi dividen yang tinggi juga.
6 Saham Big Cap Penopang IHSG sejak Awal Tahun
Kode Ticker | % Ytd | Net Buy Asing | Market cap |
BBRI | 8.76 | Rp 3.64 T | Rp 677.47 T |
BBCA | 6.16 | Rp 3.04 T | Rp 955.38 T |
TLKM | 10.4 | Rp 2.12 T | Rp 441.82 T |
BBNI | 13.7 | Rp 1.82 T | Rp 143.13 T |
BMRI | 9.96 | Rp 1.14 T | Rp 360.50 T |
TPIA | 47.1 | (Rp 25.91 M)* | Rp 233.04 T |
Sumber: BEI | Per penutupan Kamis (10/2) |TPIA mengalami net sell asing
Menurut data di atas, saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) dan PT Bank Central Asia Tbk (BBRI), misalnya, menjadi yang paling banyak diborong asing secara ytd, masing-masing Rp 3,64 triliun dan Rp 3,04 triliun. Harga sahamnya pun masing-masing melonjak 8,76% dan 6,16% secara ytd, melampaui kinerja IHSG.
Namun, euforia ini tidak boleh membuat kita lupa bahwa ada dua kabar yang tidak mengenakkan yang siap mengganggu, yakni berupa kabar inflasi Amerika Serikat (AS) yang akan dirilis Kamis malam ini dan soal potensi kenaikan suku bunga bank sentral AS the Federal Reserve (The Fed) untuk menjinakkan inflasi yang melambung tinggi.
Menurut jajak pendapat Reuters, indeks harga konsumen AS untuk Januari akan naik menjadi 7,3% secara tahunan (yoy). Angka ini menjadi kenaikan terbesar sejak 1982.
Pada Desember 2021, inflasi tahunan AS menyentuh level 7%.
'Panasnya' inflasi bisa semakin mendorong The Fed untuk semakin bertindak agresif, salah satunya soal kenaikan suku bunga.
Mengutip CME FedWatch, probabilitas Federal Funds Rate naik 25 bps ke 0,25-0,5% dalam rapat Komite Pengambil Keputusan (Federal Open Market Committee/FOMC) The Fed yang dijadwalkan 16 Maret 2022, mencapai 71,2%.
Lingkungan bunga yang tinggi pada gilirannya berpotensi menjadi sentimen negatif bagi pasar saham dan ekonomi secara keseluruhan. Ini karena akan membuat biaya ekspansi korporasi meningkat yang kemudian bisa menekan laba (mungkin, dalam taraf tertentu, dengan pengecualian sektor keuangan/finansial).
Kenaikan suku bunga juga bisa mengurangi present value (PV) alias nilai saat ini dari pendapatan dividen di masa depan yang pada gilirannya juga bisa menekan harga saham.
Bank Indonesia (BI) sendiri, pada Kamis sore ini, mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Februari 2022. Seperti ekspektasi, MH Thamrin tidak mengubah suku bunga acuan.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 9-10 Februari 2022 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, Kamis (10/2/2022).
Dengan demikian, suku bunga acuan telah bertahan di 3,5% sejak Februari 2021 atau genap setahun. Ini adalah suku bunga acuan terendah dalam sejarah Indonesia merdeka.
Keputusan tersebut sesuai dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate tetap bertahan di 3,5%.
Namun, dengan aura kenaikan suku bunga global begitu terasa, BI akan sulit untuk melawan arus.
Ini karena apabila suku bunga acuan Ibu Pertiwi tetap bertahan rendah, maka pertaruhannya adalah nilai tukar rupiah. Investor, terutama asing, tentu melihat perbedaan suku bunga dan imbalan investasi ketika memutuskan untuk masuk ke Indonesia.
Jika suku bunga Indonesia rendah, maka minat untuk masuk akan berkurang. Indonesia harus tetap atraktif agar arus modal tetap mengalir dan menopang stabilitas nilai tukar rupiah. Caranya adalah dengan ikut menaikkan suku bunga acuan.
Hanya saja, pertanyaannya, kapan hal tersebut akan dilakukan?
BI sendiri berjanji tetap mempertahankan suku bunga rendah sampai ada tanda-tanda percepatan laju inflasi domestik. Kemungkinan MH Thamrin baru mengubah posisi (stance) kebijakan pada kuartal III-2022.
(vap)