Data Inflasi Bisa Bikin Dolar AS "Kiamat" Bukan Melesat!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 February 2022 14:45
U.S. dollar and Euro banknotes are seen in this picture illustration taken May 3, 2018. REUTERS/Dado Ruvic/Illustration
Foto: REUTERS/Dado Ruvic/Illustration

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) masih belum bertenaga pada perdagangan Kamis (10/2), jelang rilis data inflasi. Rupiah bahkan kini menuju penguatan 3 hari beruntun melawan dolar AS. Pada pukul 14:00 WIB, rupiah berada di Rp 14.345/US$, menguat tipis 0,07% di pasar spot, melansir data Refinitiv. 

Inflasi merupakan salah satu acuan bank sentral AS (The Fed) dalam menentukan kebijakan moneternya. Semakin tinggi inflasi, The Fed kemungkinan akan semakin agresif dalam menaikkan suku bunga. Saat ini inflasi di AS berada di level tertinggi dalam 4 dekade terakhir, yang membuat The Fed akan agresif dalam menaikkan suku bunga.

Seperti diketahui, bank sentral paling powerful di dunia ini akan menaikkan suku bunga di bulan Maret, dan kemungkinan akan 4 kali melakukan di tahun ini.

Hasil survei Reuters menunjukkan inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan Januari yang akan dirilis Kamis nanti akan kembali naik menjadi 7,3% year-on-year (yoy) dari bulan sebelumnya 7%, tetapi tidak menutup kemungkinan realisasinya lebih rendah.

Pasar saat ini dikatakan akan bereaksi lebih besar saat inflasi lebih rendah ketimbang terus meninggi.

"Pasar kemungkinan akan bereaksi lebih besar ketika inflasi secara mengejutkan lebih rendah ketimbang yang terus meninggi" kata Alvise Marino, direktur stratetgi valuta asing di Credit Suisse, sebagaimana diwartakan CNBC International, Rabu (9/2).

"Ekspektasi saat ini adalah inflasi tinggi yang lebih persisten. Sesuatu yang menunjukkan arah sebaliknya akan menghasilkan perubahan besar," tambahnya.

Artinya, jika inflasi dirilis lebih tinggi dari prediksi, maka pasar akan bereaksi yang membuat dolar AS menguat. Tetapi penguatannya tidak akan tajam, sebab inflasi yang tinggi sudah diprediksi dari jauh-jauh hari sebelumnya.

Namun, jika yang terjadi sebaliknya, rilis inflasi justru rendah dari 7%, hal tersebut akan menjadi kejutan besar, dan dolar AS berisiko "kiamat".

Dengan agresivitas The Fed, tidak hanya dalam menaikkan suku bunga tetapi juga akan mengurangi nilai neracanya, dolar AS memang menguat di tahun ini. Tetapi penguatannya masih biasa saja, bahkan malah merosot dalam dua pekan terakhir.

Pada Jumat (28/1) indeks dolar AS sempat menyentuh 97,441, yang merupakan level tertinggi sejak Juli 2020 lalu. Tetapi, dalam dua pekan terakhir indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini justru balik jeblok. Alhasil, sepanjang 2022 hingga sore ini, indeks dolar AS tercatat melemah 0,44% di 95,549.

Pergerakan yang cukup mengejutkan, mengingat The Fed akan sangat agresif menaikkan suku bunga. Jika inflasi ternyata menurun, artinya The Fed kemungkinan tidak akan agresif dalam menaikkan suku bunga, alhasil dolar AS berisiko terpuruk.

Pelaku pasar saat ini sudah price in dengan agresivitas The Fed, bahkan dengan kemungkinan kenaikan suku bunga sebesar 50 basis poin di bulan Maret.

Hal tersebut terlihat dari survei yang dilakukan Reuters pada periode 31 Januari - 2 Februari terhadap mata uang.

Pasca pengumuman kebijakan moneter akhir The Fed Januari lalu, pasar sudah menakar suku bunga akan dinaikkan hingga 125 basis poin di tahun ini. Spekulasi berhembus The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali di tahun ini, 50 basis poin pada bulan Maret, dan tiga kali lagi sisanya masing-masing sebesar 25 basis poin.

Namun, hal tersebut dikatakan belum akan cukup untuk membuat dolar AS menguat tajam.

Dari 24 analis yang memberikan jawaban, median hasilnya sebesar 62,5 basis poin. Artinya total The Fed perlu menaikkan suku bunga sebesar 187,5 basis poin agar dolar AS bisa menguat tajam.

Kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga sebesar itu tentunya sangat kecil, kenaikan 125 basis poin lebih realistis, dan itu sudah di-price in oleh pasar. Tetapi jika kenaikan kurang dari 125 basis poin, tentunya bukan membuat dolar AS menanjak, malah berisiko merosot.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular