
Membongkar Unit Link: Bisa 29 Tahun Baru Balik Modal!

Jakarta, CNBC Indonesia - Setiap tahunnya selalu saja ada nasabah asuransi unit link yang merasa tertipu atau dirugikan. Belum lama ini para nasabah asuransi unit link dari tiga perusahaan asuransi besar yakni PT Prudential Life Assurance, PT AIA Financial dan PT AXA-Mandiri Financial bahkan sampai rela menggeruduk ketiga kantor asuransi tempat mereka menyetor premi sekian lama.
Bahkan para korban tersebut sampai rela menginap di depan ketiga kantor asuransi tersebut. Nasabah tetap menuntut ganti rugi 100% atas semua premi yang dibayarkan. Mereka mengklaim menjadi korban miss-selling dari produk asuransi unit link yang ditawarkan.
Seperti yang sudah diketahui, unit link merupakan salah satu produk keuangan yang tidak hanya menawarkan proteksi tetapi juga investasi.
Nantinya nasabah yang setiap bulan menyetorkan premi sebagian dari uangnya akan diputar ke instrumen keuangan yang seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan dan profil risiko nasabah.
Setidaknya ada empat produk unit link yang umum ditawarkan kepada nasabah dari pihak asuransi mulai dari yang berisiko rendah-menengah seperti pasar uang dan pendapatan tetap hingga menengah-tinggi seperti campuran dan saham.
Namun yang perlu diketahui, apabila seseorang membeli asuransi unit link dari agen akan dikenakan biaya yang dikenal sebagai biaya akuisisi.
Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, biaya akuisisi ini umumnya berlangsung 5 tahun yang secara kumulatif biasanya mencapai lebih dari 100% dari premi tahunan yang dibayarkan.
Namun skema dan besarannya sangat beragam tergantung pihak asuransi. Hanya saja yang umum terjadi biaya akuisisi akan lebih besar di tahun-tahun awal dan menyusut jelang tahun kelima.
Sebagai contoh asuransi X menerapkan 150% biaya akuisisi yang dibagi menjadi 5 tahun. Di tahun pertama biaya akuisisi ditetapkan sebesar 75%, kemudian 40% di tahun kedua, lalu 15% di tahun ketiga dan masing-masing 10% untuk tahun keempat dan kelima.
Itu artinya, jika seorang nasabah 'menabung' premi sebesar Rp 1 juta per bulan, maka di tahun pertama hanya Rp 250 ribu saja tiap bulannya yang diputar ke aset-aset keuangan untuk kebutuhan investasi. Sisanya masuk ke pihak asuransi untuk dijadikan komisi agen.
Banyak nasabah yang sampai saat ini belum memahami skema ini. Pada beberapa kasus agen yang nakal juga tidak menjelaskannya dan hanya fokus pada menggaet sebanyak mungkin nasabah untuk mendapatkan komisi besar.
Nasabah yang tidak paham seringkali juga mudah diiming-imingi oleh return investasi yang tinggi dan dipilihkan aset berisiko seperti saham. Mereka yang tidak paham tak jarang lebih memilih untuk mencairkan investasinya dalam waktu kurang dari 5 tahun. Padahal selama lima tahun tersebut jelas investasinya masih merugi karena terkena potongan biaya akuisisi.
Jika kembali dengan asumsi bahwa biaya akuisisi dikenakan selama 5 tahun sebesar 150% dan dipukul rata, artinya biaya potongan premi per tahun yang tak dimasukkan ke investasi mencapai 30%. Artinya dana yang diputar ke investasi tadi hanya 70%.
Dengan skema di atas, jika dalam kurun waktu 5 tahun tersebut nasabah ingin uangnya impas artinya jumlah yang disetor lewat premi dan jumlah nilai uang yang diperoleh dari likuidasi sama, maka return investasi per tahunnya harus mencapai 15%.
Return investasi per tahun sebesar 15% cenderung agresif dan berisiko tinggi karena jika menggunakan suku bunga deposito bank yang sekarang berada di 4-5% per tahun. Untuk yield obligasi pemerintah 10 tahun berada di 6,5%. Sedangkan return indeks saham 10% per tahun.
Namun sayangnya untuk kasus produk unit link di ketiga asuransi yang kini sedang disorot return investasinya di unit link saham dalam 5 tahun terakhir per tahunnya tidak mencapai 15%. Bahkan 10% saja tidak ada. Pada beberapa kasus malah minus.
Khusus untuk asuransi unit link milik Prudential, menurut penulusuran Tim Riset CNBC Indonesia, menjadi salah satu asuransi dengan biaya akuisisi tertinggi yakni mencapai 200% dalam lima tahun.
Pada tahun pertama dan kedua potongan biaya akuisisi mencapai 70% sedangkan di tahun ketiga hingga kelima biaya akuisisinya mencapai 20%.
Jika menggunakan kinerja investasi Prudential dalam lima tahun terakhir dengan rerata 2.86% dari semua produk (pendapatan tetap, pasar uang, campuran, dan saham) sebagai contoh sederhana maka periode impas (BEP) baru 24 tahun. Waktu yang sangat lama!
Namun yang perlu diketahui juga tentunya produk unit link juga biasanya digabung dengan asuransi kesehatan dan jiwa. Selama polis masih berjalan, dan premi dibayarkan secara berkala sesuai kesepakatan awal maka nasabah masih dapat menikmati fasilitas jaminan kesehatan dan jiwa asalkan masih dalam koridor perjanjian.
Berikut tabel kinerja investasi asuransi unit link Prudential, AIA dan AXA Mandiri per 31 Desember 2021:
Jika melihat kinerja unit link ketiga perusahaan asuransi di atas ternyata mayoritas gagal melampaui benchmark, wajar saja jika return yang akan diperoleh nasabah menjadi sangat kecil. Perlu dicatat benchmark merupakan standar kinerja aset investasi, sebagai contoh apabila diinvestasikan di saham benchmark yang dipakai biasanya IHSG. Apabila kinerja investasi di bawah kinerja IHSG maka bisa dikatakan kinerja investasi tersebut buruk atau underperform.
Dapat dilihat dari tabel di atas, hanya produk unit link pasar uang yang rata-rata bisa mengungguli benchmark. Namun seperti yang sudah disebutkan, produk ini memberikan return terendah namun paling aman.
Berdasarkan kalkulasi Tim Riset CNBC Indonesia jika produk unit link yang dipilih adalah jenis saham dan konsisten menghasilkan return 7% per tahun maka payback period alias masa impas antara pembayaran premi dan return investasi baru tercapai setelah nasabah membayar premi selama kurang lebih 8 tahun (dengan asumsi biaya akuisisi 150%).
Bahkan apabila menggunakan asuransi Prudential dan memilih unit link saham, dengan biaya akuisisi 200% dan rata-rata return produk PRUlink saham yang hanya memiliki kinerja 0,51% per tahun maka payback periode bisa mencapai 29 tahun.
Sehingga berkaca dari kasus ini produk unit link harus punya timeframe jangka panjang bukan dalam hitungan tahun belaka. Bahkan buruknya kinerja unit link dalam berberapa kasus tertentu terjadi akibat misinvestasi pihak MI (Manajer Investasi).
Para MI nakal rela membeli saham atau obligasi yang kualitasnya tidak bisa dipertanggungjawabkan seperti saham gorengan maupun obligasi yang tidak layak untuk dipilih karena rating jelek dan risiko gagal bayar tinggi demi cashback.
Inilah gambaran betapa kompleks sebenarnya akar masalah dari mengapa setiap tahun selalu ada nasabah yang merasa dirugikan oleh produk unit link mulai dari literasi keuangan yang rendah, agen yang nakal dan tidak jujur, hingga pihak MI yang doyan 'hengki pengki'.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RCI/RCI)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ada Lagi 'Korban Unit Link', Ngaku Rugi Rp 6 M di Prudential
