Analisis

Bikin Kaget, Ternyata Ini Akar Masalah Asuransi Unit Link!

Market - Riset, CNBC Indonesia
21 January 2022 12:20
Asuransi Jiwa Foto: Dok Istimewa

Jakarta, CNBC Indonesia - Inovasi dalam hal pengembangan produk asuransi berbasis investasi unit link terus menimbulkan polemik yang tak kunjung surut. Tidak sedikit nasabah yang merasa dirugikan.

Pada 2019, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerima 360 pengaduan terkait unit link. Setahun berikutnya, jumlah aduan melonjak 65% menjadi 593.

Gara-gara polemik itu, ada 2,4 juta nasabah yang harus sampai tutup asuransi. Pada kuartal I-2021, pengaduan soal unit link dari nasabah sudah tercatat mencapai 273 kasus.

Tidak hanya mengadu ke OJK, nasabah yang merasa ditipu juga melaporkan hingga ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Baru menginjak awal 2022, kasus unit link kembali menyeruak.

Pada 17 Januari 2022, sebanyak 16 orang nasabah menggeruduk kantor PT Prudential Life Assurance, PT AIA Financial dan PT Axa Mandiri. Sekelompok orang tersebut merupakan bagian dari kelompok nasabah serta mantan nasabah ketiga perusahaan asuransi tersebut yang merasa dirugikan karena membeli produk asuransi unit link yang ditawarkan.

Melihat kasus yang terus berkembang dan jalan moderasi yang nampaknya selalu berujung pada kebuntuan, sebenarnya di mana letak masalah utama dari kasus dan skandal unit link ini?

Sebelum masuk ke pokok permasalahan, alangkah lebih baik untuk memahami apa itu asuransi dan produk unit link terlebih dahulu.

Seperti yang sudah diketahui bersama, asuransi merupakan salah satu produk jasa keuangan yang menawarkan proteksi terhadap risiko. Dalam konteks ini risiko bisa beragam namun tetap menginduk pada risiko kerugian seperti risiko kematian, risiko cacat, hingga risiko kerusakan aset.

Sedangkan unit link merupakan pengembangan produk asuransi di mana nasabah tidak hanya mendapatkan proteksi tetapi juga investasi.

Secara sederhana, jika pada asuransi tradisional nasabah membayar premi untuk mengalihkan risiko yang mungkin mereka hadapi di masa mendatang kepada pihak asuransi, pada kasus unit link sebagian dari uang yang disetorkan dalam premi akan digunakan untuk kebutuhan investasi nasabah.

Sebenarnya secara konsep tidak ada yang salah. Unit link tetap menjadi salah satu produk inovasi keuangan yang sebenarnya bisa menjadi solusi atas kebutuhan keuangan nasabah.

Namun sayangnya, unit link justru menimbulkan permasalahan yang melibatkan 3 pihak yakni nasabah, agen asuransi, dan perusahaan asuransi.

Skema yang umum dilakukan oleh perusahaan asuransi untuk menjual produknya ke nasabah adalah melalui sistem keagenan yang dibentuk menyerupai model multi-level-marketing (MLM).

Di sini, agen lah yang menjadi pihak untuk menawarkan jasa asuransi kepada nasabah dan sebagai imbalannya para agen mendapatkan komisi atas perekrutan nasabah.

Dalam skema penjualan asuransi, terutama unit link, banyak kasus agen asuransi sebenarnya tidak memahami produk asuransi itu sendiri serta kebutuhan dari nasabah. Pada beberapa kasus agen tidak menjelaskan adanya biaya akuisisi yang berlangsung selama beberapa tahun (biasanya 5 tahun) dan hanya memberikan iming-iming imbal hasil dari investasi yang dikelola oleh pihak asuransi.

Namun konsekuensi dari adanya biaya akuisisi tersebut adalah nasabah tidak bisa serta merta menarik uang investasinya dalam periode tertentu karena hanya akan menimbulkan kerugian. Kok bisa?

Begini modelnya, asumsikan bahwa seorang nasabah menabung premi ke perusahaan asuransi X dengan besaran Rp 1 juta per bulan untuk produk unit link.

Agen biasanya juga melebih-lebihkan bahwa jika memilih produk unit link saham berpotensi dapat menghasilkan return besar per tahun katakan hingga 20% sehingga nasabah mengira cuan 20% tersebut pasti didapat padahal angka ini hanya asumsi sang agen. Agen juga tidak menjelaskan bahwa sebenarnya dibalik pembayaran premi tersebut ada biaya akuisisi untuk pihak asuransi, management fee, hingga komisi agen yang besarannya berbeda-beda selama beberapa tahun.

Biasanya di tahun pertama biaya akuisisi akan cenderung besar, baru turun di tahun kedua hingga kelima dan setelahnya tidak dikenakan biaya akuisisi. Asumsikan dalam kasus ini biaya akuisisi di tahun pertama adalah 50%, tahun kedua 40% kemudian tahun ketiga hingga kelima 15%.

Dengan skema awal premi 1 juta per bulan dan return investasi 20% per tahun, maka seharusnya dalam setahun premi yang dibayarkan nasabah mencapai Rp 12 juta.

Sampai di sini kelihatannya nasabah diuntungkan. Namun ingat, ada biaya akuisisi yang besarnya tadi diasumsikan 50%.

Artinya dari premi Rp 1 juta/bulan tadi yang diputarkan untuk kebutuhan investasi nasabah hanya Rp 500 ribu, sehingga jika nasabah menuntut untuk mencairkan uang investasinya maka yang didapat tentu jauh lebih sedikit dari yang sudah dibayarkan setelah dipotong biaya-biaya yang perlu dibayarkan seperti biaya akuisisi dan biaya pengelolaan investasi dalam bentuk management fee.

Kasus ini banyak terjadi di kalangan nasabah unit link yang merasa dirugikan karena memang masalahnya bisa banyak, mulai dari agen yang tidak menjelaskan skema kerja sama, tidak paham, terlalu menjanjikan imbalan investasi yang sangat besar guna mendapatkan nasabah, hingga nasabah sendiri yang sama sekali tidak paham.

Seringkali pihak agen juga tidak memetakan kebutuhan nasabah dengan baik. Tak jarang nasabah yang ditawarkan produk asuransi unit link juga buta atau awam akan investasi. Agen akan cenderung merekomendasikan investasinya di aset berisiko seperti saham karena berpotensi memberikan return yang tinggi.

Padahal dalam skenario investasi unit link produknya ada beragam mulai dari pasar uang, pendapatan tetap, investasi balanced fund hingga ekuitas. Semua itu didesain untuk memenuhi kebutuhan nasabah berdasarkan profil dan selera risiko masing-masing.

Pihak agen juga seringkali menggiring nasabah untuk mengambil asuransi unit link padahal nasabah tersebut hanya membutuhkan asuransi saja karena komisi yang didapatkan agen dari penjualan unit link lebih besar dari komisi asuransi saja. Cara yang dipakai biasanya sang agen akan mengatakan apabila mengambil asuransi saja sangat disayangkan karena uangnya akan 'hangus', padahal dalam kasus unit link porsi asuransi juga sejatinya akan 'hangus'.

Masalah juga datang dari bagaimana pihak asuransi mengelola dana investasinya.

Dalam beberapa kasus, Manajer Investasi (MI) yang mengelola dana nasabah juga bertindak nakal dengan membeli saham gorengan di harga mahal dari bandar dengan iming-iming mendapatkan cash back. Ini membuat manajemen investasi menjadi tidak pruden dan berbasiskan tata kelola risiko (risk management) yang baik.

Nantinya ketika saham gorengan tersebut tidak di-maintain lagi oleh sang bandar dan longsor parah, tentunya yang menderita kerugian adalah nasabah asuransi tersebut. Inilah yang menyebabkan banyak imbalan Unit Link Saham yang dikelola oleh MI asuransi kinerjanya sangat jelek dan kinerjanya jauh berada di bawah benchmark yakni IHSG.

Bagaimanapun juga asuransi saja sudah termasuk produk keuangan yang cukup advanced. Apalagi untuk masyarakat Indonesia yang literasi keuangannya juga bisa dibilang masih rendah.

Jika mengacu pada kasus unit link setidaknya ada beberapa permasalahan yang memang membuat polemik terus muncul ke permukaan mulai dari agen yang tidak paham dan nakal dalam menawarkan produk, literasi keuangan nasabah yang rendah, hingga MI yang tidak profesional dan 'hengki pengki' dalam mengelola dana nasabah.

TIM RISET CNBC INDONESIA


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Ada Lagi 'Korban Unit Link', Ngaku Rugi Rp 6 M di Prudential


(trp/trp)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading