Jakarta, CNBC Indonesia - Saham emiten bank digital milik pengusaha Chairul Tanjung PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) kembali diborong investor hingga mengerek harga dua digit pada lanjutan sesi II Senin (10/1/2022). Kenaikan ini terjadi di tengah proses penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) alias rights issue.
Masuknya investor kakap dalam rights issue tersebut, dengan ekosistemnya yang besar, diprediksi akan membuat pergerakan saham Allo Bank semakin menarik ke depannya.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), harga penutupan saham BBHI melonjak 19,82% ke posisi Rp 6.800/saham, melanjutkan reli kenaikan selama 7 hari beruntun.
Asal tahu saja, mulai perdagangan Senin ini (10/1/2022), BBHI menggunakan harga teoritis Rp 5.675/saham. Harga tersebut dihitung berdasarkan harga penutupan pada Jumat (7/1/) pekan lalu di Rp 10.150/saham.
Adapun perhitungan tersebut berkaitan dengan proses penambahan modal via rights issue Allo Bank yang sedang berlangsung.
Harga teoritis saham sendiri merupakan harga yang diterapkan bursa sebagai pedoman tawar menawar atas saham pada saat dimulainya perdagangan pertama di pasar reguler setelah adanya penerbitan saham baru.
Harga teoritis adalah harga penyesuaian antara harga pasar dan harga tebus rights issue.
Ini adalah mekanisme bursa agar pasca-rights issue agar kapitalisasi pasar emiten tidak melonjak tiba-tiba apalagi ketika rights issue yang dilakukan dalam menerbitkan jumlah saham yang banyak dengan harga penebusan di bawah harga pasar.
Kenaikan saham BBHI sendiri terjadi menjelang tanggal pencatatan (recording date) yang berhak atas HMETD pada Selasa besok (11/1).
Lantas, bagaimana prospek saham Allo Bank ke depan?
Menurut perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia sebelumnya, valuasi Allo Bank berpotensi akan lebih murah pasca-rights issue.
Perhitungannya seperti ini. Apabila selama masa perdagangan semua saham baru berhasil diserap sepenuhnya, maka selanjutnya total saham beredar BBHI juga akan bertambah menjadi 21,74 miliar dengan ekuitas mencapai Rp 6,08 triliun.
Maka, nilai BVPS (book value per share) BBHI akan ikut naik menjadi Rp 280/unit, dari semula Rp 109/unit (ekuitas lama 1,28 T, saham beredar 11,68 M).
Alhasil, price to book value (PBV) BBHI setelah rights issue rampung menggunakan harga teoritis akan menjadi 20,26 kali.
Angka ini masih lebih kecil dari PBV Bank Aladin Syariah (BANK) dan Bank Jago (ARTO) yang pada penutupan perdagangan kemarin, PBV masing-masing berada di angka 27,90 dan 32,58 kali.
Memang, di antara bank digital lainnya-dengan asumsi PBV BBHI pasca-rights issue-Bank Jago menjadi yang paling 'mahal' di antara lainnya.
Namun, di saat yang bersamaan, ekosistem yang ada di balik Bank Jago menjadi salah satu yang tergolong besar di antara emiten bank digital lainnya.
Sebagaimana diketahui, raksasa jasa ride-hailing Tanah Air Gojek sudah sejak akhir 2020 masuk ke Bank Jago. Tepatnya, pada 18 Desember 2020, Gojek menggenggam sebanyak 21% saham perusahaan lewat PT Dompet Karya Anak Bangsa alias GoPay.
Dalam perkembangannya, pada 25 November 2021, Bank Jago mengumumkan kolaborasi integrasi antara perusahaan dan juga Gopay.
Integrasi tersebut membuat pengguna bisa membuka rekening Bank Jago dalam aplikasi Gojek.
Selain itu, fitur pocket (kantong) yang menjadi andalan bank tersebut bisa digunakan sebagai sumber dana saat transaksi di Gojek, mulai dari kendaraan, pengiriman makanan dan barang.
Di luar dari kolaborasi langsung tersebut, Gojek sendiri telah bergabung dengan raksasa e-commerce Tokopedia di bawah Grup GoTo sejak Mei 2021.
Dengan bergabungnya dua raksasa perusahaan teknologi itu, ekosistem keduanya praktis menjadi lebih jumbo.
Tidak hanya di sektor jasa ride hailing, kedua perusahaan tersebut, lewat GoTo, pun pada gilirannya bisa mengintegrasikan lini bisnis lainnya. Untuk menyebut beberapa, bisnis jasa antar makanan, marketplace alias tempat berbelanja online, logistik, pembayaran, investasi, kesehatan (telemedicine), hingga hiburan (streaming online, tiket menonton bioskop).
Tidak ketinggalan, Gojek juga ke emiten pengelola ritel fresh product Hypermart Grup Lippo PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) sejak Mei 2021 dengan menguasai 6% saham perusahaan. Dengan masuknya Gojek ke MPPA, kolaborasi antara keduanya pun terjadi.
Pada Juli tahun lalu, misalnya, MPPA mengumumkan kedua perusahaan memperluas jangkauan operasional ke skala nasional hingga mencapai 76 toko virtual untuk dihadirkan di GoMart, layanan belanja online di aplikasi Gojek.
Kerja sama tersebut juga mencakup ketersediaan layanan GoPay, salah satu dompet elektronik terdepan di Indonesia, untuk memastikan kenyamanan dan keamanan transaksi non-tunai untuk belanja baik secara online maupun offline.
Dengan demikian, kendati hanya Gojek yang secara langsung menjadi investor Bank Jago, ekosistem di balik GoTo menjadi modal berharga bagi Bank Jago untuk meracik strategi bisnis melalui kerja sama ke depannya.
Nah, bagaimana perbandingan ekosistem Allo Bank dibandingkan dengan Bank Jago di atas?
Baca di halaman selanjutnya >>>
Ekosistem Allo Bank sejatinya tidak kurang lengkap dibandingkan dengan Bank Jago di atas.
Terlebih, ada tujuh investor strategis yang secara langsung masuk ke Allo Bank dalam skema rights issue yang secara total bernilai Rp 4,80 triliun.
Ketujuh investor strategis yang dimaksud adalah CT Corp, Grup Salim, Growtheum Capital Partners, PT Bukalapak.com Tbk (BUKA), Grab, Traveloka, dan Carro. Empat nama terakhir adalah pemain besar di sektor teknologi dan ekonomi digital RI.
Apabila dipecah dengan distingsi offline dan online, tujuh investor kakap tersebut memiliki keunggulannya masing-masing di dunia luar jaringan (luring) dan dalam jaringan (daring) alias internet.
Ekosistem Offline
Di sisi offline, aplikasi Allo Bank tentu akan terhubung dengan berbagai layanan di ekosistem CT Corp, mulai dari ritel Transmart, METRO, sektor F&B seperti Wendy's, wahana hiburan Trans Park, Trans Studio, hingga Bank Mega dengan kantor dan jaringan mesin ATM-nya.
Asal tahu saja CT Corp, yang dikendalikan Chairul Tanjung, bergerak di bidang layanan keuangan, media, ritel, hiburan, hingga gaya hidup.
Grup CT Corp mengoperasikan sejumlah stasiun televisi utama Tanah Air, perbankan, perusahaan asuransi, media digital, hotel, taman hiburan, mal, agen travel, sampai bisnis ritel dan fashion.
Menurut data resmi perusahaan, saat ini terdapat lebih dari 14.000 jaringan keuangan milik CT Corp, dengan 60 juta transaksi ritel tahunan, dan 1 juta pengunjung ritel.
Perusahaan yang sudah 37 tahun berkecimpung di dunia bisnis Tanah Air ini saat ini hadir di 56 kota dan 24 provinsi di Indonesia, dengan 2.000 outlet, dan 100.000 karyawan. Selain itu, dalam rilis pers Allo Bank, Chairman CT Corp Chairul Tanjung menyebutkan, captive customer CT Corp diperkirakan mencapai lebih dari 100 juta pengguna (user).
Selain CT Corp, ekosistem offline yang akan menopang Allo Bank dimiliki oleh Grup Salim, salah satu konglomerat terbesar di RI.
Lini bisnis Grup yang saat ini nahkodai Anthoni Salim tersebut merentang dari bisnis ritel, perbankan, otomotif, barang konsumen, perkebunan, sampai infrastruktur digital teknologi yang sedang berkembang dan platform bisnis digital.
Karena itu, tidak menutup kemungkinan pula akan adanya kolaborasi Allo Bank dengan salah satu lini bisnis Grup Salim, misalnya, di otomotif lewat Indomobil atau sektor ritel.
Sebagaimana diketahui, Grup Salim memiliki PT Indoritel Makmur Internasional Tbk (DNET), pemilik gerai Indomaret.
Selain Indomaret, DNET juga menggenggam 35,84% perusahaan pengelola restoran cepat saji KFC PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST).
Belum lagi, Bukalapak, yang sejatinya adalah perusahaan e-commerce, juga mengandalkan sektor offline untuk menopang bisnis perusahaan lewat Mitra Bukalapak. Mitra Bukalapak adalah penjual offline beberapa kategori produk yang ada di Bukalapak.
Bersama Bukalapak, Allo Bank bisa memanfaatkan ekosistem BUKA di pasar UMKM dan pengusaha di daerah pedesaan, misalnya, untuk memperluas akses penyaluran kredit bank.
Ekosistem Online Allo Bank
Sementara, ekosistem online yang ada di belakang Allo Bank juga tidak kalah besar-dengan mengusung superapp (multi layanan dalam satu aplikasi).
Di ekosistem online ini, ada 4 unicorn yang menjadi partner Allo Bank, yakni Bukalapak (lagi), Grab, Traveloka, hingga Carro.
Grab merupakan pesaing utama Gojek selama ini. Ekosistem Grab Indonesia merentang, mulai dari ojek dan taksi online, antar makanan, pembayaran (OVO), sampai layanan kesehatan (telemedicine).
Dengan demikian, masuknya Grab ke Allo Bank memberikan keuntungan tersendiri.
Tidak hanya Bukalapak dan Grab, ekosistem Traveloka juga menarik.
Traveloka, salah satu lifestyle superapp terkemuka di Asia Tenggara, menawarkan sejumlah layanan kepada pengguna, seperti produk perjalanan, hotel, layanan lokal, dan layanan keuangan.
Tidak hanya Bukalapak dan Grab, ekosistem Traveloka juga menarik.
Traveloka, salah satu lifestyle superapp terkemuka di Asia Tenggara, menawarkan sejumlah layanan kepada pengguna, seperti produk perjalanan, hotel, layanan lokal, dan layanan keuangan.
Growtheum didirikan oleh dipimpin oleh Amit Kunal sebagai Managing Partner dan Koon Po sebagai Partner.
Sebelumnya, Amit adalah Managing Director dan Head of Direct Investment Group, Asia Tenggara, di Dana abadi negara atau Sovereign Wealth Fund asal Singapura GIC di mana ia memimpin investasi ekuitas swasta di Asia Tenggara.
Sementara, Koon Po sebelumnya menjabat sebagai Vice President di Direct Investment Group, Asia Tenggara, di GIC.
Selain dua orang 'jebolan' GIC tersebut, Growtheum juga 'dibekingi' Transaction Advisors Panel (TAP) yang beragam, mulai dari CEO Carro, CEO Grup EMTEK, Executive Director Grup Triputra, CEO Grup Masan asal Vietnam.
Nama TAP Growtheum lainnya, seperti CEO Kopi Kenangan, CEO Traveloka, Chairman Ayala Corp (konglomerat raksasa Filipina), Vice Chairwoman Vingroup (konglomerat raksasa Vietnam), hingga Vice President Director perusahaan cat Indonesia PT Avia Avian Tbk (AVIA).
Ekosistem raksasa yang ada di balik Allo Bank di atas nantinya akan menjadi salah satu daya dobrak bagi Allo Bank untuk mencetak pertumbuhan yang positif ke depan.
Tidak menutup kemungkinan pula bahwa hal tersebut akan turut membuat pergerakan saham Allo Bank semakin menarik, seperti, katakanlah, kisah saham ARTO.
Asal tahu saja, saham ARTO telah melambung tinggi (Rp 18.975/unit) dan diikuti dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp 262 triliun saat ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA