
Normalisasi Kebijakan The Fed Sesuai "Takaran", RI Aman!

Pasca pengumuman tersebut, yield obligasi AS (Treasury) tenor 10 tahun mengalami kenaikan 0,17 basis poin menjadi 1,4582%. Kenaikan tersebut terbilang biasa saja, tidak ada lonjakan yield Treasury yang bisa memicu taper tantrum seperti di tahun 2013.
Selain itu, indeks dolar AS bukannya menguat malah turun 0,23% pada perdagangan Rabu.
Kemudian bursa saham AS (Wall Street) juga menguat yang menandakan sentimen pelaku pasar cukup bagus. Indeks Dow Jones menguat 1,08%, kemudian S&P 500 1,63%, dan Nasdaq melesat 2,15%.
![]() |
Melihat pergerakan tersebut, pasar finansial Indonesia sepertinya akan aman dari gejolak seperti di tahun 2013. Saat itu, The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke mulai mengumumkan tapering pada pertengahan tahun, dan baru dieksekusi pada bulan Desember. QE The Fed saat itu akhirnya resmi berakhir pada pada Oktober 2014.
Setelahnya, muncul spekulasi kenaikan suku bunga The Fed di pasar finansial hingga di tahun 2015.
Sejak Bernanke mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.
Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%. IHSG saat awal taper tantrum juga mengalami aksi jual. Pada periode Mei-September 2013 IHSG jeblok hingga 23%.
Sementara saat ini pasar sudah lebih siap menghadapi normalisasi kebijakan The Fed. Salah satu penyebabnya adalah komunikasi yang baik yang dilakukan Jerome Powell dan kolega.
Indonesia kemungkinan tidak akan mengalami capital outflow yang besar dari pasar obligasi jika melihat pergerakan yield Treasury. Apalagi di tahun depan masih ada kemungkinan riil yield di Amerika Serikat masih negatif.
Saat ini yield Treasury tenor 10 tahun berada di 1,4582%. Jika tahun depan The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali sebesar 75 basis poin, hitung-hitungan kasar yield Treasury juga akan ikut naik 75 basis poin sehingga menjadi sekitar 2,2%.
Sementara inflasi di tahun depan, The Fed memperkirakan sebesar 2,6%, lagi-lagi hitungan kasar, riil yield di AS masih akan negatif sekitar 0,4%.
Bandingkan dengan Indonesia, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun di kisaran 6,3% dan inflasi di bulan November 1,75% (yoy), riil yield masih positif sekitar 4,5%.
Direktur Riset BRI Research Institute, Anton Hendranata memprediksi inflasi domestik di tahun 2022 bisa menyentuh 2,8% -3,3%.
Meskipun inflasi di tahun depan diperkirakan akan meningkat, riil yield masih akan tetap positif. Apalagi, ada kemungkinan Bank Indonesia (BI) juga akan menaikkan suku bunga di tahun depan, sehingga keunggulan yield masih bisa terjaga dan menarik arus modal masuk ke dalam negeri.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)[Gambas:Video CNBC]