
Normalisasi Kebijakan The Fed Sesuai "Takaran", RI Aman!

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Momen yang paling ditunggu-tunggu pelaku pasar di penghujung tahun ini akhirnya tiba, Kamis (16/12) dini hari waktu Indonesia bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal Federal Reserve (The Fed) mengumumkan kebijakan moneternya.
Dalam pengumuman tersebut, kebijakan yang diambil Ketua The Fed, Jerome Powell, beserta kolega semuanya sesuai prediksi pelaku pasar global. Tidak ada kejutan, The Fed memang secara agresif mempercepat normalisasi kebijakan moneternya, tetapi semuanya sudah ditakar.
Tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) diperbesar menjadi US$ 30 miliar setiap bulannya dari saat ini US$ 15 miliar. QE The Fed saat ini nilainya US$ 90 miliar sehingga mulai bulan Januari QE The Fed nilainya sebesar US$ 60 miliar, dan terus dikurangi setiap bulannya, hingga berakhir di bulan Maret.
Percepatan tapering tersebut persis dengan prediksi pelaku pasar, sehingga tidak ada kejutan.
Kemudian untuk suku bunga, dilihat dari Dot Plot anggota Federal Open Market Committee (FOMC), akan ada tiga kali kenaikan suku bunga di tahun depan. Lagi-lagi sesuai dengan perkiraan pelaku pasar, yang tercermin dari perangkat FedWatch milik CME Group.
Dalam perangkat tersebut, pelaku pasar melihat probabilitas The Fed akan menaikkan suku bunga di bulan Juni tahun depan, disusul dengan September dan Desember 2022.
The Fed setiap akhir kuartal akan memberikan proyeksi suku bunganya, terlihat dari dot plot. Setiap titik dalam dot plot tersebut merupakan pandangan setiap anggota FOMC terhadap suku bunga.
![]() |
Dalam dot plot kali ini, sebanyak 12 dari 18 anggota FOMC melihat suku bunga bisa dinaikkan sebanyak 3 kali di tahun depan.
Selain itu, di 2023 akan ada kenaikan 2 kali lagi, begitu juga di tahun 2024. Sehingga dalam tiga tahun ke depan akan ada 7 kali kenaikan suku bunga.
Suku bunga The Fed saat ini sebesar 0% - 0,25%, jika setiap kali kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin (0,25%), maka di akhir 2024 suku bunga The Fed sebesar 1,75% - 2%.
Normalisasi kebijakan yang lebih agresif tersebut dilakukan guna meredam inflasi yang tinggi di Amerika Serikat. Di tahun ini, The Fed memprediksi inflasi mencapai 5,3% jauh lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya 4,2%, sementara inflasi inti diprediksi tumbuh 4,4% dari sebelumnya 3,7%.
Untuk diketahui, The Fed menggunakan inflasi yang dilihat dari personal consumption expenditure (PCE) sebagai acuan. Di bulan Oktober inflasi PCE melesat 5% year-on-year (yoy), menjadi yang tertinggi sejak November 1990.
Sementara inflasi inti PCE yang tidak memasukkan item energi dan makanan dalam perhitungan tumbuh 4,1% (yoy), berada di level tertinggi sejak Januari 1991.
Dengan normalisasi kebijakan moneter yang agresif, inflasi di tahun depan diperkirakan akan melandai menjadi 2,6% dan inflasi inti sebesar 2,7%. Artinya, inflasi di Amerika Serikat masih akan lebih tinggi ketimbang tingkat suku bunga.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Reaksi Pasar Tunjukkan Indonesia Bakal Aman dari Gejolak
Pasca pengumuman tersebut, yield obligasi AS (Treasury) tenor 10 tahun mengalami kenaikan 0,17 basis poin menjadi 1,4582%. Kenaikan tersebut terbilang biasa saja, tidak ada lonjakan yield Treasury yang bisa memicu taper tantrum seperti di tahun 2013.
Selain itu, indeks dolar AS bukannya menguat malah turun 0,23% pada perdagangan Rabu.
Kemudian bursa saham AS (Wall Street) juga menguat yang menandakan sentimen pelaku pasar cukup bagus. Indeks Dow Jones menguat 1,08%, kemudian S&P 500 1,63%, dan Nasdaq melesat 2,15%.
![]() |
Melihat pergerakan tersebut, pasar finansial Indonesia sepertinya akan aman dari gejolak seperti di tahun 2013. Saat itu, The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke mulai mengumumkan tapering pada pertengahan tahun, dan baru dieksekusi pada bulan Desember. QE The Fed saat itu akhirnya resmi berakhir pada pada Oktober 2014.
Setelahnya, muncul spekulasi kenaikan suku bunga The Fed di pasar finansial hingga di tahun 2015.
Sejak Bernanke mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.
Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%. IHSG saat awal taper tantrum juga mengalami aksi jual. Pada periode Mei-September 2013 IHSG jeblok hingga 23%.
Sementara saat ini pasar sudah lebih siap menghadapi normalisasi kebijakan The Fed. Salah satu penyebabnya adalah komunikasi yang baik yang dilakukan Jerome Powell dan kolega.
Indonesia kemungkinan tidak akan mengalami capital outflow yang besar dari pasar obligasi jika melihat pergerakan yield Treasury. Apalagi di tahun depan masih ada kemungkinan riil yield di Amerika Serikat masih negatif.
Saat ini yield Treasury tenor 10 tahun berada di 1,4582%. Jika tahun depan The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali sebesar 75 basis poin, hitung-hitungan kasar yield Treasury juga akan ikut naik 75 basis poin sehingga menjadi sekitar 2,2%.
Sementara inflasi di tahun depan, The Fed memperkirakan sebesar 2,6%, lagi-lagi hitungan kasar, riil yield di AS masih akan negatif sekitar 0,4%.
Bandingkan dengan Indonesia, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun di kisaran 6,3% dan inflasi di bulan November 1,75% (yoy), riil yield masih positif sekitar 4,5%.
Direktur Riset BRI Research Institute, Anton Hendranata memprediksi inflasi domestik di tahun 2022 bisa menyentuh 2,8% -3,3%.
Meskipun inflasi di tahun depan diperkirakan akan meningkat, riil yield masih akan tetap positif. Apalagi, ada kemungkinan Bank Indonesia (BI) juga akan menaikkan suku bunga di tahun depan, sehingga keunggulan yield masih bisa terjaga dan menarik arus modal masuk ke dalam negeri.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI 10 Negara 'Terparah' Bila Dihantam Tapering, Ini Sebabnya