Fitch Pertahankan Rating Kredit RI, Tanda Perekonomian Kuat?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
24 November 2021 15:53
fitch ratings
Foto: Reuters/Reinhard Krause

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga pemeringkat Internasional Fitch baru saja mengumumkan, untuk kembali mempertahankan Sovereign Credit Rating Republik Indonesia pada peringkat BBB (investment grade) dengan outlook stabil pada 22 November 2021.

Fitch menyebutkan aktivitas ekonomi di Indonesia mulai pulih secara bertahap setelah lonjakan kuat Covid-19 dari Juni hingga Agustus yang membatasi permintaan domestik dan memperkirakan PDB riil akan tumbuh sebesar 3,2% pada tahun 2021. Lembaga pemeringkatan tersebut juga menyebutkan ada potensi kenaikan dari perkiraan tersebut yang didorong oleh pemulihan mobilitas yang cepat di kuartal empat tahun ini dan berlanjutnya reli harga komoditas ekspor Indonesia yang tinggi.

Fitch juga mencatat upaya vaksinasi Indonesia telah peningkatan pesat dalam beberapa bulan terakhir, walaupun masih tertinggal di belakang banyak negara lain, dengan hampir 50% populasi terproteksi dosis pertama dan lebih dari 30% telah divaksinasi penuh hingga pertengahan November.

Pada tahun 2022, Fitch memperkirakan pertumbuhan akan meningkat menjadi 6,8% dengan risiko utama yaitu perkembangan dari kondisi pandemi. Fitch juga memperkirakan pertumbuhan akan tetap sekitar 6% selama beberapa tahun ke depan, karena kesenjangan output negatif dari pandemi dapat ditutup secara bertahap. Pertumbuhan juga diharapkan mendapat dorongan dari penerapan Omnibus Law Cipta Kerja, yang disahkan sekitar setahun lalu, yang bertujuan untuk mengurangi hambatan investasi.

Terkait defisit fiskal, Fitch memperkirakan angka tersebut turun menjadi 4,5% pada tahun 2022 dari 5,4% pada tahun 2021. Angka ini sedikit lebih baik dari target yang disajikan dalam anggaran pemerintah 2022 masing-masing sebesar 4,9% dan 5,8%, yang tidak memperhitungkan dampak positif dari reformasi pajak.

"Ada risiko pengeluaran bantuan yang lebih tinggi, tergantung pada keberlangsungan kondisi pandemi, meskipun pengeluaran pemerintah lainnya cenderung tidak mencapai target pengeluaran," tulis Fitch dalam keterangan resminya.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menyebutkan afirmasi rating Indonesia pada peringkat BBB dengan outlook stabil merupakan bentuk pengakuan Fitch, sebagai salah satu lembaga pemeringkat utama dunia, atas stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan Indonesia yang tetap terjaga serta prospek ekonomi jangka menengah yang tetap kuat di tengah perbaikan ekonomi global yang tidak merata dan ketidakpastian pasar keuangan global.

"Hal ini didukung oleh kredibilitas kebijakan dan sinergi bauran kebijakan yang kuat antara Bank Indonesia dan Pemerintah," tambahnya dalam keterangan tertulis, Selasa (23/11/2021).

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Fitch Soroti Kondisi Utang RI

Meskipun rating dipertahankan, Fitch melihat masih ada beberapa tantangan yang membayangi, yaitu ketergantungan terhadap pembiayaan eksternal yang tinggi, penerimaan Pemerintah yang rendah, serta fitur-fitur struktural, seperti PDB per kapita dan indikator tata kelola, yang relatif tertinggal dibandingkan negara-negara lain pada peringkat yang sama.

Terkait situasi utang pemerintah Indonesia, meskipun rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terbilang aman, namun rasio terhadap pendapatan negara amat mengkhawatirkan.

"Rasio utang terhadap pendapatan pemerintah akan naik menjadi 341% pada akhir 2021, jauh di atas median sejenis sebesar 253%," tulis laporan Fitch yang dikutip CNBC Indonesia, Selasa (23/11/2021).

Menurut Fitch, pendapatan yang rendah dan kepemilikan yang tinggi atas utang dalam mata uang lokal oleh non-penduduk memperburuk tantangan pembiayaan defisit yang lebih tinggi. Kondisi ini telah diupayakan untuk dilonggarkan oleh pihak berwenang melalui pembiayaan langsung dari bank sentral.

Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI) mengumumkan perpanjangan skema burden sharing dalam hal program penyelamatan ekonomi nasional dan pengaturan pembiayaan hingga 2022 pada Agustus lalu, yang semula dijanjikan tidak akan diperpanjang melampaui tahun 2021.

Pemerintah harus merogoh kantong lebih dalam untuk membayar bunga utang pada tahun depan. Kondisi ini dianggap efek dari pandemi covid-19 di mana Indonesia juga bersama banyak negara lain membutuhkan banyak dana agar ekonomi tidak jatuh terlalu buruk.

Dalam APBN 2022, rencana pembayaran bunga utang adalah Rp 400 triliun. Tentu ini belum termasuk sedikit pengurangan akibat bantuan dari Bank Indonesia (BI) yang kembali dilakukan pada tahun depan.

"Pelaku pasar sejauh ini bereaksi positif terhadap perpanjangan SKB dengan BI, dengan imbal hasil obligasi dan nilai tukar tetap stabil secara luas. Namun, pembiayaan moneter yang berkepanjangan pada akhirnya dapat membuat investor ragu," paparnya.

Sementara itu untuk rasio utang terhadap PDB diperkirakan Fitch mencapai 43,1% pada akhir 2021, masih jauh di bawah median kategori 'BBB' (60,3%).

"Kami memperkirakan rasio utang akan mencapai puncaknya pada 45,1% dari PDB pada tahun 2022 sebelum menurun secara bertahap, difasilitasi oleh dimulainya kembali pertumbuhan PDB yang kuat dan kebijakan fiskal yang lebih ketat," paparnya.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Bagaimana Kondisi Negara Lain?

Kondisi pandemi memang menjadi tantangan utama yang dihadapi oleh seluruh negara di dunia. Indonesia dapat dikatakan beruntung mampu mempertahankan rating-nya, mengingat beberapa negara lainnya peringkatnya malah dipangkas, termasuk negara tetangga yang outlook-nya ikut diramal negatif.

Selain FItch, dua lembaga pemeringkatan lain yang masuk dalam 'big three' yakni Moodys dan S&P 500 juga perlahan mulai memperbaharui peringkat utang berbagai negara.

Studi yang dilakukan oleh CountryRisk.io menyebutkan secara umum jumlah peningkatan dan penurunan peringkat seimbang untuk pertama kalinya sejak mewabahnya pandemi, sementara prospek peringkat terus membaik.

Pembaruan peringkat oleh Big Three hingga kuartal ketigaFoto: countryrisk.io
Pembaruan peringkat oleh Big Three hingga kuartal ketiga. Keterangan: AE (advanced economy), SSA (Sub Saharan Africa), LAC (Latin America and The Caribbean), CEE (Central and Eastern Europe), APAC (Asia Pacific), MENA (Middle East and North Africa).

Terlihat hanya negara-negara maju yang dapat dikatakan memiliki kuartal positif yang definitif, memperpanjang clean sheet dan diperkirakan tetap tidak akan turun hingga akhir tahun. Kondisi tersebut melanjutkan tren yang dimulai pada tahun 2020, ketika lembaga pemeringkatan  membiarkan negara-negara kaya lolos dari penurunan peringkat meskipun fundamental mereka yang semakin buruk.

S&P terakhir kali menurunkan peringkat ekonomi maju lebih dari setengah dekade lalu ketika menurunkan peringkat Inggris setelah referendum Brexit, dan sejak itu, peringkat negara-negara kaya di S&P hanya naik-meski rasio utang publik negara-negara tersebut telah melonjak dari yang sudah tinggi pada tahun 2016 atau setara 105% PDB menjadi semakin parah yakni sebesar 123% PDB tahun ini.

Negara Sub Sahara Afrika memperoleh proyeksi positif, di mana pada kuartal ketiga tahun ini tiga negara rating-nya dinaikkan (Pantai Gading dan Gabon oleh Fitch, Angola oleh Moodys) dan hanya satu yang turun (Ethiopia oleh S&P).

Wilayah Amerika Selatan dan Karibia merupakan yang mengalami kondisi paling buruk, setelah pada kuartal pertama dan kedua tidak ada yang peringkatnya dinaikkan, kini di kuartal ketiga empat negara lainnya peringkatnya kembali disunat (Bahamas, El Salvador dan Peru oleh Moodys dan Kolombia oleh Fitch).

Wilayah lainnya yang tidak memperoleh satu pun peningkatan peringkat tahun ini adalah negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Pada kuartal ketiga jumlah peringkat yang dipangkas kembali bertambah dua negara yaitu Kuwait oleh S&P dan Tunisia oleh Fitch.

Sedangkan di wilayah Asia Pasifik negara yang peringkatnya naik pada kuartal ketiga adalah Taiwan oleh FItch, sedangkan Maladewa peringkatnya diturunkan oleh Moodys.

Sementara itu negara tetangga, Filipina, meskipun peringkatnya di pertahankan di BBB oleh FItch pada Juli 2021, akan tetapi outlooknya berubah dari semula stabil menjadi negatif.

Fitch juga mengatakan meningkatnya utang publik dapat menyebabkan penurunan peringkat kredit untuk Filipina dalam beberapa tahun ke depan.

Berdasarkan data pemerintah setempat, rasio utang terhadap PDB Filipina adalah sebesar 63,1% pada September, tertinggi dalam 16 tahun.

Utang pemerintah Filipina menggelembung menjadi 10,2 triliun peso tahun lalu dari 8,2 triliun peso pada 2019 karena negara mengalami defisit besar untuk menanggulangi pandemi.

Sebelum masa jabatan enam tahunnya resmi berakhir pada Juni 2022, Presiden Rodrigo R. Duterte merencanakan rekor anggaran pengeluaran tahun depan, naik 11,5% dari tahun ini menjadi 5,02 triliun peso.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular