Newsletter

Batu Bara Mau Dijadikan 'Mantan Terindah', IHSG Tegar Ya

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 November 2021 06:11
cover topik/ Batu Bara_konten/Aristya Rahadian
Foto: cover topik/ Batu Bara_konten/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak pertengahan Oktober lalu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah beberapa kali nyaris memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa, tetapi selalu gagal. Baru pada pekan lalu bursa kebanggaan Tanah Air akhirnya sukses mencatat rekor tertinggi sepanjang masa, bahkan sebanyak dua kali di hari Kamis, kemudian dipecahkan lagi sehari setelahnya.

Rekor IHSG sebelumnya 6.693,466 dicapai pada 20 Februari 2018, sementara rekor terbaru di 6.714.158 yang dicapai Jumat (12/11/2021). Namun sayangnya setelah mencapai rekor tersebut IHSG justru terkoreksi ke 6.651.054. Dalam sepekan, IHSG sukses mencatat penguatan 1,05%. Investor asing juga melakukan aksi beli bersih nyaris Rp 2 triliun.

Pada perdagangan hari ini, Senin (15/11/2021) IHSG, rupiah, hingga Surat Berharga Negara (SNB) berpeluang kembali menguat, meski ada kabar buruk dari nasib batu bara, salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan aset dalam negeri hari ini akan dibahas pada halaman 3 dan 4. 

Kabar baik datang dari dalam negeri. ini Bank Indonesia pada Senin (8/11/2021) mengumumkan Survei Konsumen periode Oktober 2021 mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi terus menguat sejalan dengan membaiknya mobilitas masyarakat. Hal ini tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Oktober 2021 yang tercatat sebesar 113,4, meningkat dari 95,5 pada September 2021.

IKK menggunakan angka 100 sebagai titik awal. Kalau sudah di atas 100, maka artinya konsumen sudah optimistis.

Ketika konsumen kembali pede menatap perekonomian, maka kemungkinan besar akan meningkatkan konsumsi yang akan memutar roda perekonomian.

Kabar tersebut melengkapi kabar baik di awal bulan ini, IHS Markit melaporkan aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI) di Indonesia pada Oktober 2021 adalah 57,2. Melesat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 52,2. Angka indeks tersebut menjadi catatan tertinggi sepanjang sejarah.

Sektor manufaktur Indonesia berkontribusi sekitar 20% terhadap produk domestik bruto (PDB). Sehingga ekspansi sektor manufaktur yang meningkat tajam ditambah dengan konsumen yang semakin pede, tentunya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang melambat di kuartal III-2021.

Kabar baik tersebut juga membuat rupiah akhirnya lepas dari tekanan tapering yang diumumkan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) pada Kamis (4/11/2021) lalu.

Sepanjang pekan lalu rupiah mampu menguat 0,64% melawan dolar AS ke Rp 14.233/US$ berdasarkan data Refinitiv. Laju penguatan rupiah sempat tersendat pasca rilis data inflasi Amerika Serikat.

Departemen Tenaga Kerja AS pada Rabu (10/11/2021) melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) bulan Oktober melesat 6,2% year-on-year (YoY), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990. Sementara inflasi CPI inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,6%, lebih tinggi dari ekspektasi 4% dan tertinggi sejak Agustus 1991.

Tingginya inflasi di AS tersebut membuat yield obligasi AS (Treasury) tenor melesat 13 basis poin di hari Rabu. Kenaikan yield tersebut merupakan respon pelaku pasar yang mengantisipasi kemungkinan bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga lebih cepat guna meredam inflasi.

Berdasarkan perangkat FedWatch miliki CME Group, pasar kini melihat ada probabilitas The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun depan.

Akibat kenaikan yield Treasury AS, yield Surat Berharga Negara (SBN) mayoritas juga mengalami kenaikan.

Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika harga turun yield akan bergerak naik, begitu juga sebaliknya. Artinya ketika yield mengalami kenaikan artinya banyak investor yang melepas SBN.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Berhenti Cetak Rekor, tapi Kirim Sentimen Positif

Bursa saham AS (Wall Street) mencatat pelemahan sepanjang pekan lalu, setelah berulang kali mencatat rekor tertinggi sepanjang masa pada pekan sebelumnya. Inflasi yang tinggi di AS menjadi pemicu koreksi yang dialami Wall Street.

Indeks S&P 500 melemah 0,31% ke 4.682,85, menghentikan penguatan selama lima pekan beruntun. Hal yang sama juga dialami indeks Nasdaq yang melemah 0,69% ke 15.860,96.

Indeks Dow Jones sempat mencetak rekor tertinggi sepanjang masa pada hari Senin (8/11/2021) tetapi dalam sepekan akhirnya mencatat pelemahan 0,63% ke 36.100,30. Dow Jones juga menghentikan penguatan dalam 5 pekan beruntun.

Meski demikian, pada perdagangan Jumat (12/11/2021) ketiga indeks tersebut mampu mencatat penguatan. Dow Jones menguat 0,5%, S&P 500 0,7%, dan Nasdaq memimpin sebesar 1%.

Wall Street masih mampu menguat meski data menunjukkan sentimen konsumen di AS turun ke level terendah dalam satu dekade terakhir.

University of Michigan (UoM) melaporkan sentimen konsumen di bulan November jeblok ke 66,8, dari bulan sebelumnya 71,7. Selain menjadi yang terendah sejak November 2011, indeks sentimen konsumen di bulan November juga jauh di bawah estimasi Dow Jones yang justru memprediksi kenaikan menjadi 72,5.

Tingginya inflasi di AS dikatakan menjadi pemicu jebloknya sentimen konsumen.

"Sentimen konsumen menurun di awal November ke level terendah dalam satu dekade akibat kenaikan inflasi, dan banyak konsumen melihat tidak ada kebijakan yang efektif dibuat saat ini untuk mengurangi kerusakan akibat melonjaknya inflasi," kata Richard Curtin, kepala ekonom survei dari UoM, sebagaimana dilansir CNBC International.

"Saat ini dilaporkan kenaikan harga rumah, kendaraan, dan barang tahan lama lebih banyak terjadi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dalam lebih dari setengah abad yang lalu," tambahnya.

Wall Street yang mampu menguat di hari Jumat, meski sentimen konsumen merosot tentunya bisa memberikan sentimen positif ke pasar Asia hari ini.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Wall Street yang mampu menguat pada perdagangan Jumat dikatakan sebab pasar mulai melihat masalah rantai pasokan yang menjadi biang keladi inflasi tinggi sudah mencapai puncaknya.

"Pergerakan pasar di hari Jumat merupakan rebound dari pada yang terjadi sebelumnya. Kita mungkin mulai melihat puncak dari kecemasan terhadap rantai pasokan," kata Victoria Fernadez, kepala ahli strategi di Crossmark Global Investments, sebagaimana diwartakan CNBC International.

Jika benar masalah rantai pasokan sudah mencapai puncaknya, maka inflasi kemungkinan akan melandai, dan tentunya menjadi kabar bagus, tidak hanya bagi Amerika Serikat, tetapi juga bagi negara lainnya.

Maklum saja, Amerika Serikat merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, jika perekonomiannya bermasalah akibat inflasi tinggi, tentunya akan berdampak buruk bagi negara lainnya.

Penguatan Wall Street akibat meredanya kecemasan akan masalah rantai pasokan bisa memberikan sentimen positif ke pasar Asia, termasuk IHSG.

Selain itu, dari eksternal data pertumbuhan ekonomi Jepang di kuartal III-2021 yang diperkirakan kembali mengalami kontraksi. Hasil polling Reuters menunjukkan produk domestik bruto (PDB) mengalami kontraksi (tumbuh negatif) 0,2% dari kuartal II-2021 (quarter-to-quarter/QtQ). Sementara pada periode kuartalan yang disetahunkan, kontraksi diperkirakan sebesar 0,8%.

Jepang mengalami lonjakan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) di kuartal III-2021, bahkan menjadi yeng terparah sepanjang pandemi. Alhasil pembatasan sosial kembali diketatkan, sehingga perekonomiannya kembali berkontraksi.

Namun, jika kontraksi lebih dalam dari perkiraan tentunya akan memberikan dampak negatif.

Kemudian China akan merilis banyak data hari ini, diantaranya penjualan ritel dan produksi industri di bulan Oktober.

China kembali menjadi perhatian pasar belakangan ini, sebab mengalami inflasi tinggi, dan dikhawatirkan mengalami stagflasi atau staganannya pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan inflasi tinggi.

Pemerintah China hari ini melaporkan inflasi yang dilihat dari consumer price index (CPI) naik 1,5% year-on-year (YoY) di bulan Oktober, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,7% YoY serta dibandingkan hasil polling Reuters terhadap para ekonom yang memprediksi 1,4% YoY.

Yang paling membuat cemas adalah inflasi dari sektor produsen (producer price index/PPI) yang meroket 13,5% YoY, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 10,7%. PPI di bulan Oktober tersebut menjadi yang tertinggi dalam lebih dari 26 tahun terakhir.

Ketika inflasi di produsen tinggi, maka ada risiko inflasi CPI juga akan melesat dalam beberapa bulan ke depan. Sebab, produsen kemungkinan besar akan menaikkan harga jual produknya.

Kenaikan CPI bisa mempengaruhi daya beli masyarakat, dan akan terlihat dari penjualan ritel. Sementara PPI akan memberikan dampak bagi produksi industri China.

Artinya, sentimen eksternal dari Amerika Serikat memang cukup bagus bagi IHSG, rupiah, maupun SNB, tetapi pasar juga akan melihat data dari Jepang dan China.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Pasar Hari Ini (2)


Dari dalam negeri, data neraca dagang Indonesia akan menjadi perhatian. Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode Oktober 2021. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 46,06% dibandingkan Oktober 2020 (year-on-year/yoy). Melambat dibandingkan September yang tumbuh 47,64%.

Sedangkan impor diperkirakan tumbuh 58,35%. Jauh lebih tinggi ketimbang bulan sebelumnya yang tumbuh 40,31%.

Meski impor tumbuh lebih cepat ketimbang ekspor, tetapi neraca perdagangan diperkirakan masih surplus US$ 3,89 miliar. Kalau terwujud, maka neraca perdagangan Indonesia akan mengalami surplus selama 18 bulan beruntun alias 1,5 tahun.

Surplus neraca perdagangan akan sangat membantu kinerja transaksi berjalan. Saat transaksi berjalan semakin sehat, maka nilai tukar rupiah akan lebih stabil.

Saat nilai tukar rupiah stabil maka investor asing akan lebih nyaman berinvestasi di dalam negeri karena risiko kerugian kurs bisa diminimalisir.

Meski demikian, ada satu kabar kurang sedap yakni dari harga batu bara. Kenaikan tajam harga batu bara dan komoditas lainnya menjadi salah satu penopang surplus neraca dagang. Sayangnya, harga batu bara sejak mencapai rekor tertinggi sepanjang masa US$ 280/ton pada 5 Oktober lalu, hingga pekan lalu malah jeblok lebih dari 47% ke US$ 147,25/ton. 

Ketika batu bara mencapai rekor tertinggi sepanjang masa, kenaikannya sepanjang tahun ini tercatat lebih dari 240%. Sementara kini kenaikannya sepanjang tahun terpangkas menjadi 81%. 

Batu bara berperan vital dalam ekspor Indonesia. Sepanjang Januari-Agustus 2021, nilai ekspor batu bara mencapai US$ 14,5 5 miliar. Angka ini menyumbang 10,72% dari total ekspor non-migas, hanya kalah dari minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).

Kabar buruknya lagi, konferensi PBB untuk iklim di Glasgow (Skotlandia) memunculkan perdebatan keras terjadi kala harus membuat keputusan soal nasib batu bara.

Awalnya, disepakati menghapuskan secara berkala (phase out) pembangkit listrik bertenaga batu bara. Namun negara-negara berkembang seperti China dan India menolak, melakukan lobi, dan berhasil mengganti frasa phase out menjadi phase down (mengurangi secara bertahap).

"Revisi ini mencerminkan kepentingan nasional kami dan negara-negara berkembang lainnya. Kami menjadi suara negara-negara berkembang. Kami berupaya membuat kesepakatan yang masuk akal bagi negara berkembang dan sesuai dengan isu iklim," tegas Bhupender Yadav, Menteri Lingkungan dan Iklim India, sebagaimana diwartakan Reuters.

Bagaimana pun, sepertinya cepat atau lambat batu bara memang harus pergi. Para aktivis lingkungan menilai kesepakatan COP26 adalah gelas yang setengah penuh, bukan setengah kosong.

"Mereka boleh mengubah frasa, tetapi tidak mengubah sinyal bahwa era batu bara akan selesai. Jika Anda adalah pimpinan perusahaan batu bara, maka COP26 adalah hasil yang buruk," kata Jennifer Morgan, Direktur Eksekutif Greenpeace, juga dikutip dari Reuters.

Artinya, masa depan batu bara menjadi suram, bisa menjadi "mantan terindah" bagi Indonesia dalam hal kotribusinya ke nilai ekspor. Jika harganya akan kembali merosot di awal pekan ini, maka bisa menjadi sentimen negatif bagi pasar finansial RI. 


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Berikut Rilis Data Ekonomi dan Agenda Hari Ini



Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • PDB Jepang kuartal III-2021 (pukul 6:50 WIB)
  • Penjualan ritel dan produksi Industri China (pukul 9:00 WIB)
  • Neraca dagang Indonesia (pukul 11:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q3-2021 YoY)

3,51%

Inflasi (Oktober 2021, YoY)

1,66%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2021)

3,50%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021)

5,17% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2021)

0,8% PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2020)

US$ 0,4 miliar

Cadangan Devisa (Oktober 2021)

US$ 145,5 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular