
Heboh The Fed Umumkan Tapering, Ini Dampaknya ke Ekonomi RI!

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) akan mulai mengurangi pembelian aset atau tapering pada akhir November ini.
Keputusan ini menjadi langkah pertama bagi The Fed demi menarik kembali sejumlah besar bantuan yang telah diberikan bank sentral AS ini kepada pasar dan ekonomi negaranya sepanjang pandemi Covid-19.
"Penurunan pembelian obligasi akan dimulai akhir bulan ini," kata pembuat kebijakan Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) dalam pernyataan pasca-pertemuannya, dikutip dari CNBC International, Jumat (5/11/2021).
Program pengurangan pembelian aset ini yakni pengurangan US$ 15 miliar setiap bulan, yang terbagi atas US$ 10 miliar dalam US Treasury (obligasi AS) dan sebesar US$ 5 miliar dalam sekuritas berbasis hipotek, dari total sebelumnya mencapai US$ 120 miliar per bulan yang dibeli The Fed saat ini.
FOMC mengatakan langkah tapering itu dilakukan dengan mempertimbangkan kemajuan substansial ekonomi AS sebagaimana tujuan Komite sejak Desember 2020 lalu.
"Komite menilai bahwa pengurangan serupa dalam laju pembelian aset bersih kemungkinan akan sesuai setiap bulan, tetapi siap untuk menyesuaikan laju pembelian jika dijamin oleh perubahan prospek ekonomi," kata FOMC.
Selain itu, The Fed pun masih menegaskan tingginya inflasi di AS hanya bersifat sementara, yang menjadi indikasi suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023, tidak di tahun depan. Alhasil pascapengumuman tersebut indeks dolar AS merosot 0,25% ke 93,852.
Lantas bagaimana dampak ke pasar saham dan keuangan RI pada perdagangan Kamis kemarin (4/11)?
Rupiah
Rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis kemarin hingga menyentuh level terlemah dalam lebih dari 2 bulan terakhir. Pengumuman kebijakan The Fed menjadi penggerak utama pasar valuta asing (valas) pada perdagangan kemarin.
Melansir data Refinitiv, rupiah sempat jeblok hingga 0,35% ke Rp 14.345/US$, level tersebut merupakan yang terlemah sejak 30 Agustus lalu.
Rupiah bukannya tanpa perlawanan, di awal perdagangan rupiah sempat menguat 0,56% ke Rp 14.215/US$, tetapi hanya sebentar saja sebelum tertahan di zona merah sepanjang perdagangan.
Di penutupan, rupiah melemah 0,28% ke Rp 14.335/US$ di pasar spot. Rupiah kini sudah melemah 4 hari bertuntun dengan total 1,27%.
Tim Riset CNBC Indonesia menilai tapering The Fed kali ini tidak memicu gejolak di pasar seperti tahun 2013 atau yang dikenal dengan taper tantrum. Saat itu, nilai tukar rupiah merosot tajam. Sementara pada perdagangan kemarin, meski rupiah melemah tetapi masih dalam batas yang wajar.
Artinya, The Fed sukses meredam taper tantrum.
Salah satu kunci kesuksesan The Fed meredam terjadinya taper tantrum yakni komunikasi yang baik dengan pasar. Chairman The Fed Jerome Powell sejak awal tahun ini sudah memberikan sinyal akan melakukan tapering, sehingga pasar sudah bersiap jauh-jauh hari. Pergerakan semua aset sudah memperhitungkan terjadinya tapering.
Berbeda dengan 2013, pasar dibuat kaget dengan keputusan The Fed yang akhirnya memicu capital outflow dari negara emerging market, hingga terjadi taper tantrum.
Bank Indonesia (BI) menyebut pelemahan rupiah hanya bersifat sementara, dan pelaku pasar tidak perlu cemas berlebihan.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, Hariyadi Ramelan kepada CNBC Indonesia, Kamis (4/11/2021).
"Situasi pelemahan diperkirakan temporer seiring wait and see kebijakan moneter negara maju. Stabilitas nilai tukar rupiah diyakini tetap terjaga ditopang kondisi fundamental yang kuat dan attractiveness aset keuangan domestik yang relatif tinggi dibandingkan emerging market lainnya," jelasnya.
IHSG & SBN
Adapun di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melesat 0,52% ke level 6.586,44 hingga akhir perdagangan Kamis kemarin (4/11).
Indeks bergerak di rentang 6.583 hingga 6.618 pada perdagangan intraday. Data BEI mencatat, sebanyak 328 saham menguat, 191 melemah dan 154 stagnan.
Hampir semua indeks sektoral menguat. Jawara indeks sektoral dalah sektor utilitas, energi dan basic materials. Transaksi harian tembus Rp 11,05 triliun dan asing beli bersih di pasar reguler senilai Rp 316,71 miliar.
Sementara itu di pasar surat utang, harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) kembali ditutup menguat pada perdagangan Kamis kemarin, setelah The Fed akan mulai tapering pada akhir bulan ini.
Mayoritas investor kembali ramai memburu SBN, ditandai dengan melemahnya imbal hasil (yield). Hanya SBN bertenor panjang yakni 25 dan 30 tahun yang kembali cenderung dilepas oleh investor dan mengalami penguatan yield.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 25 tahun menguat 0,4 basis poin (bp) ke level 7,183% dan yield SBN berjatuh tempo 30 tahun naik 0,2 bp ke level 6,828%. Sementara untuk yield SBN dengan tenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara kembali menurun 0,3 bp ke level 6,225%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
NEXT: Reaksi Pelaku Pasar
