Heboh The Fed Umumkan Tapering, Ini Dampaknya ke Ekonomi RI!

Putu Agus Pransuamitra & Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
05 November 2021 07:50
Jerome Powell (REUTERS/Erin Scott)
Foto: Jerome Powell (REUTERS/Erin Scott)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) akan mulai mengurangi pembelian aset atau tapering pada akhir November ini.

Keputusan ini menjadi langkah pertama bagi The Fed demi menarik kembali sejumlah besar bantuan yang telah diberikan bank sentral AS ini kepada pasar dan ekonomi negaranya sepanjang pandemi Covid-19.

"Penurunan pembelian obligasi akan dimulai akhir bulan ini," kata pembuat kebijakan Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) dalam pernyataan pasca-pertemuannya, dikutip dari CNBC International, Jumat (5/11/2021).

Program pengurangan pembelian aset ini yakni pengurangan US$ 15 miliar setiap bulan, yang terbagi atas US$ 10 miliar dalam US Treasury (obligasi AS) dan sebesar US$ 5 miliar dalam sekuritas berbasis hipotek, dari total sebelumnya mencapai US$ 120 miliar per bulan yang dibeli The Fed saat ini.

FOMC mengatakan langkah tapering itu dilakukan dengan mempertimbangkan kemajuan substansial ekonomi AS sebagaimana tujuan Komite sejak Desember 2020 lalu.

"Komite menilai bahwa pengurangan serupa dalam laju pembelian aset bersih kemungkinan akan sesuai setiap bulan, tetapi siap untuk menyesuaikan laju pembelian jika dijamin oleh perubahan prospek ekonomi," kata FOMC.

Selain itu, The Fed pun masih menegaskan tingginya inflasi di AS hanya bersifat sementara, yang menjadi indikasi suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023, tidak di tahun depan. Alhasil pascapengumuman tersebut indeks dolar AS merosot 0,25% ke 93,852.

Lantas bagaimana dampak ke pasar saham dan keuangan RI pada perdagangan Kamis kemarin (4/11)?

Rupiah

Rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis kemarin hingga menyentuh level terlemah dalam lebih dari 2 bulan terakhir. Pengumuman kebijakan The Fed menjadi penggerak utama pasar valuta asing (valas) pada perdagangan kemarin.

Melansir data Refinitiv, rupiah sempat jeblok hingga 0,35% ke Rp 14.345/US$, level tersebut merupakan yang terlemah sejak 30 Agustus lalu.

Rupiah bukannya tanpa perlawanan, di awal perdagangan rupiah sempat menguat 0,56% ke Rp 14.215/US$, tetapi hanya sebentar saja sebelum tertahan di zona merah sepanjang perdagangan.

Di penutupan, rupiah melemah 0,28% ke Rp 14.335/US$ di pasar spot. Rupiah kini sudah melemah 4 hari bertuntun dengan total 1,27%.

Tim Riset CNBC Indonesia menilai tapering The Fed kali ini tidak memicu gejolak di pasar seperti tahun 2013 atau yang dikenal dengan taper tantrum. Saat itu, nilai tukar rupiah merosot tajam. Sementara pada perdagangan kemarin, meski rupiah melemah tetapi masih dalam batas yang wajar.

Artinya, The Fed sukses meredam taper tantrum.

Salah satu kunci kesuksesan The Fed meredam terjadinya taper tantrum yakni komunikasi yang baik dengan pasar. Chairman The Fed Jerome Powell sejak awal tahun ini sudah memberikan sinyal akan melakukan tapering, sehingga pasar sudah bersiap jauh-jauh hari. Pergerakan semua aset sudah memperhitungkan terjadinya tapering.

Berbeda dengan 2013, pasar dibuat kaget dengan keputusan The Fed yang akhirnya memicu capital outflow dari negara emerging market, hingga terjadi taper tantrum.

Bank Indonesia (BI) menyebut pelemahan rupiah hanya bersifat sementara, dan pelaku pasar tidak perlu cemas berlebihan.

Hal ini disampaikan oleh Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, Hariyadi Ramelan kepada CNBC Indonesia, Kamis (4/11/2021).

"Situasi pelemahan diperkirakan temporer seiring wait and see kebijakan moneter negara maju. Stabilitas nilai tukar rupiah diyakini tetap terjaga ditopang kondisi fundamental yang kuat dan attractiveness aset keuangan domestik yang relatif tinggi dibandingkan emerging market lainnya," jelasnya.

IHSG & SBN

Adapun di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melesat 0,52% ke level 6.586,44 hingga akhir perdagangan Kamis kemarin (4/11).

Indeks bergerak di rentang 6.583 hingga 6.618 pada perdagangan intraday. Data BEI mencatat, sebanyak 328 saham menguat, 191 melemah dan 154 stagnan.

Hampir semua indeks sektoral menguat. Jawara indeks sektoral dalah sektor utilitas, energi dan basic materials. Transaksi harian tembus Rp 11,05 triliun dan asing beli bersih di pasar reguler senilai Rp 316,71 miliar.

Sementara itu di pasar surat utang, harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) kembali ditutup menguat pada perdagangan Kamis kemarin, setelah The Fed akan mulai tapering pada akhir bulan ini.

Mayoritas investor kembali ramai memburu SBN, ditandai dengan melemahnya imbal hasil (yield). Hanya SBN bertenor panjang yakni 25 dan 30 tahun yang kembali cenderung dilepas oleh investor dan mengalami penguatan yield.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 25 tahun menguat 0,4 basis poin (bp) ke level 7,183% dan yield SBN berjatuh tempo 30 tahun naik 0,2 bp ke level 6,828%. Sementara untuk yield SBN dengan tenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara kembali menurun 0,3 bp ke level 6,225%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

NEXT: Reaksi Pelaku Pasar

Menanggapi rencana tapering di akhir November ini, Head of Investment Information PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Roger mengungkapkan, dampak tapering terhadap pasar saham di Indonesia dinilai tidak akan terlalu signifikan.

Pasalnya, investor cenderung lebih mencermati laporan keuangan di kuartal ketiga dan data perekonomian domestik yang mulai menunjukkan pemulihan seperti indeks PMI Indonesia yang berada di level tertinggi 57,2.

"Dampak tapering tidak terlalu signfikan bagi market Indonesia. Kalau terjadi capital outflow tidak berdampak signifkan bagi IHSG," ungkap Roger, Kamis (4/11/2021).

Roger menambahkan, pada akhir tahun, kemungkinan besar investor cenderung melakukan window dressing dan data ekonomi yang membaik.

Oleh sebab itu, Mirae Sekuritas belum mengubah target proyeksi IHSG sampai dengan akhir tahun di level 6.880.

Pada November ini, Mirae Asset merekomendasikan saham pilihan pada tiga sektor besar. Pertama, di sektor keuangan yakni, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI). Saham-saham the big four diyakini masih akan berpotensi tumbuh seiring dengan kinerja apik di kuartal ketiga.

Lalu, di sektor industri, pilihan Mirae tertuju pada saham PT Astra International Tbk (ASII) dan PT United Tractors Tbk (UNTR). Saham di sektor inudstri, terutama otomotif kembali prospektif seiring dengan naiknya penjualan otomotif Grup Astra yang naik 79% dengan market share 55% secara nasional.

Kemudian, di sektor infrastruktur, Mirae merekomendasikan saham di sektor telekomunikasi dan menara telekomunikasi, antara lain, PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM), PT Indosat Tbk (ISAT), PT XL Axiata Tbk (EXCL), PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), dan PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR). Sentimen di sektor ini juga masih prospek dengan rencana IPO Mitratel dan beberapa aksi korporasi terkait rencana merger dan akuisisi.

Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat menyampaikan bahwa pelaku pasar sudah mengantisipasi mengenai rencana tapering tersebut sejak triwulan pertama tahun ini.

Selain itu, gejolak terhadap tekanan indikator keuangan domestik seperti nilai tukar rupiah juga terbatas karena keberhasilan penanganan pandemi Covid-19 oleh pemerintah dan ditopang kenaikan komoditas seperti nikel dan batu bara.

"Dampak [tapering The Fed] ke Indonesia tidak sedramatik 2013," kata Budi Hikmat.

Sementara itu, ekonom PT Trimegah Sekuritas Indonesia Tbk (TRIM), Fakhrul Fulvian, mengatakan isu tapering tidak penting lagi bagi aset-aset Indonesia.

Adapun yang paling penting saat ini dikatakan adalah stabilnya harga komoditas, dan memprediksi rupiah akan menguat di sisa tahun ini.

"Untuk aset-aset Indonesia, kami melihat tapering sudah tidak penting lagi. Stabilitas pasar komoditas menjadi yang paling penting saat ini, Kami mempertahankan proyeksi yield obligasi tenor 10 tahun akan mencapai 5,8% dan rupiah ke Rp 14.000/US$ di tahun ini," kata Fakhrul.

Harga komoditas memang meroket belakangan ini. Dua komoditas ekspor utama Indonesia, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan batu bara melesat ke rekor tertinggi sepanjang masa. CPO saat ini masih berada di dekat rekor tertinggi sepanjang masa, kisaran 5.300 ringgit per ton, dan sepanjang tahun ini melesat lebih dari 40%.

Sementara itu baru bara sempat meroket lebih dari 240% dan mencapai rekor tertinggi sepanjang masa US$ 280/ton pada 5 Oktober lalu.

Tetapi setelahnya, harga batu bara menjadi sorotan. Sejak mencapai rekor tertinggi sepanjang tersebut, harganya sudah jeblok lebih dari 51% hingga Selasa lalu.

Namun, pada perdagangan Rabu lalu, harga batu bara acuan ICE Newcastle Australia untuk kontrak 2 bulan ke depan sukses melesat 14,33% ke US$ 156,75/ton.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular