Bukan Tapering, Musuh Rupiah Yang Lebih "Ngeri" Segera Tiba!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
04 November 2021 16:58
Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (REUTERS/Leah Millis)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengumuman kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) menjadi momen yang paling ditunggu di akhir tahun ini. Maklum saja, The Fed mengumumkan tapering yang pernah menjadi kabar sangat buruk di tahun 2013.

Di tahun itu, pasar finansial bergejolak hebat, capital outflow terjadi di negara emerging market, mata uang selain dolar AS rontok, indeks saham hingga aset safe haven seperti emas berguguran. Kejadian tersebut taper tantrum.

Rupiah menjadi salah satu yang kena dampak hebat, terus mengalami pelemahan hingga tahun 2015 dengan persentase hingga 50%.

Maka wajar pengumuman The Fed Kamis (4/11) dini hari waktu Indonesia atau Rabu waktu Amerika Serikat sangat dinanti.

Sesuai prediksi pasar, The Fed mengumumkan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 15 miliar setiap bulannya, dan dimulai November ini.

Rinciannya, sebesar US$ 10 miliar untuk pembelian obligasi (Treasury) yang saat ini senilai US$ 80 miliar per bulan, dan US$ 5 miliar untuk pembelian efek beragun aset yang saat ini sebesar US$ 40 miliar per bulan.

Pasar bisa tenang, taper tantrum tidak terjadi. Malah pengumuman tapering disambut baik, bursa saham AS melesat mencetak rekor tertinggi sepanjang masa, dan menjalar ke bursa Asia dan Eropa.

Dari pasar valuta asing (valas), rupiah memang mengalami pelemahan pada hari ini, tetapi masih dalam batas wajar sebesar 0,28% ke Rp 14.335/US$.

Namun ke depannya bukan berarti rupiah bebas dari tekanan. Musuh yang lebih "mengerikan" bagi rupiah akan segera tiba, yakni kenaikan suku bunga The Fed.

Mayoritas analis yang disurvei Reuters pada periode 29 Oktober - 2 November memprediksi mata uang emerging market akan melemah di tahun depan, atau yang terbaik bergerak sideways atau mendatar.

Para analis tersebut melihat harga komoditas yang meroket bisa memicu kenaikan inflasi lagi yang sudah sangat tinggi dan membuat bank sentral, termasuk The Fed Menaikkan suku bunga.

"Bagi mata uang emerging market, yang terburuk masih belum tiba, sebab tantangan pelambatan pertumbuhan ekonomi dan tingginya inflasi masih akan ada di 2022, sementara yield obligasi AS (Treasury) tenor 10 tahun diperkirakan akan terus menanjak di tahun depan," kata Phoenix Kalen, kepala riset emerging market Societe Generale, sebagaimana diwartakan Reuters, Rabu (3/11).

Terus menanjaknya yield Treasury merupakan respon pasar terhadap kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga di tahun depan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed Bisa Naikkan Suku Bunga 2 Kali Tahun Depan

The Fed dalam pengumuman kebijakan moneter dini hari tadi mempertahankan suku bunga acuannya sebesar 0,25%. The Fed juga tidak menyebutkan secara spesifik kapan suku bunga akan dinaikkan.

Jika melihat nilai tapering sebesar US$ 15 miliar per bulan dan dimulai November ini, maka perlu waktu 8 bulan hingga QE menjadi nol. Artinya, QE baru akan selesai pada bulan Juli 2022.

Setelah QE selesai, maka langkah selanjutnya adalah menaikkan suku bunga. Meski pada pengumuman kali ini tidak menyebutkan secara spesifik kapan suku bunga dinaikkan, tetapi pada September lalu mayoritas anggota komite kebijakan moneter (Federal Open Market Committee/FOMC) melihat suku bunga akan naik pada tahun depan.

Setiap akhir kuartal, The Fed akan memberikan proyeksi suku bunganya, terlihat dari dot plot.

Dalam dot plot edisi September, sebanyak 9 orang dari 18 anggota FOMC kini melihat suku bunga bisa naik di tahun depan. Jumlah tersebut bertambah 7 orang dibandingkan dot plot edisi Juni. Saat itu mayoritas FOMC melihat suku bunga akan naik di tahun 2023.

Peluang kenaikan suku bunga di tahun depan semakin menguat setelah ketua The Fed, Jerome Powell, mengatakan pasar tenaga kerja bisa mencapai "tenaga kerja maksimum" pada pertengahan tahun depan.

Pasar tenaga kerja merupakan salah satu acuan The Fed untuk menetapkan suku bunga, ketika sudah mencapai "tenaga kerja maksimum" maka suku bunga kemungkinan besar akan segera dinaikkan.

Selain pasar tenaga kerja, inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) juga menjadi pertimbangan. The Fed menetapkan target inflasi PCE rata-rata 2% dan sudah tercapai.

Departemen Tenaga Kerja AS pada Jumat lalu melaporkan inflasi PCE tumbuh 4,4% year-on-year (YoY) di bulan September, menjadi yang tertinggi sejak tahun 1991, dan naik dari bulan sebelumnya 4,3% YoY.

Kemudian inflasi inti PCE tumbuh 3,6% YoY, sama dengan pertumbuhan bulan Agustus, tetapi juga berada di level tertinggi dalam 30 tahun terakhir.

The Fed memperkirakan inflasi tersebut masih akan tinggi, dan baru akan melandai pada pertengahan tahun depan.

Dengan proyeksi tersebut, peluang suku bunga dinaikkan di semester II-2022 cukup besar.

idrFoto: CME Group

Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat ada probabilitas sebesar 38% The Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 0,25%-0,5% di bulan September tahun depan. Kemudian ada probabilitas sebesar 32,9% suku bunga akan dinaikkan menjadi 0,5%-0,75% pada bulan Desember 2022.

Artinya, pasar memperhitungkan The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 2 kali di tahun depan.

Sementara itu Bank Indonesia (BI) sebelumnya mengindikasikan suku bunga baru akan dinaikkan di tahun 2023. Sebab, inflasi di Indonesia masih rendah.

Jika skenarionya seperti itu, maka selisih yield obligasi antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) akan menyempit, dan berisiko memicu capital outflow yang bisa membuat rupiah terpuruk.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular