Rupiah Anjlok ke Rp 14.250/US$, Sinyal Buruk Hadapi Tapering?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 November 2021 15:37
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terpuruk melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (1/11), padahal ada banyak kabar bagus yang bisa menjadi sentimen positif. Pergerakan rupiah hari ini mengindikasikan pelaku pasar mulai bersiap-siap dengan pengumuman tapering di pekan ini.

Rupiah sepanjang perdagangan tidak sempat menyentuh zona hijau. Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah tipis 0,04% ke Rp 14.170/US$. Depresiasi rupiah kemudian membengkak hingga 0,64% ke Rp 14.255/US$, level terlemah sejak 5 Oktober lalu.

Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.245/US$, melemah 0,56% di pasar spot.

Kabar baik datang dari dalam dan luar negeri. Dari dalam negeri, IHS Markit melaporkan aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI) di Indonesia pada Oktober 2021 adalah 57,2. Melesat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 52,2 sekaligus menjadi catatan tertinggi sepanjang sejarah.

PMI manufaktur menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya berarti ekspansi.

Rilis HIS Markit tersebut menunjukkan sektor manufaktur Indonesia meningkatkan ekspansinya di bulan Oktober yang tentunya berdampak bagus bagi perekonomian Indonesia.

"Pelonggaran restriksi membuat sektor manufaktur Indonesia tumbuh hingga mencatat rekor baru. Penciptaan lapangan kerja tumbuh positif, kali pertama dalam empat bulan terakhir, sementara pembelian bahan baku naik dan mengukir rekor tertinggi," papar keterangan tertulis IHS Markit.

Selain itu Badan Pusat Statistik (BPS) siang ini melaporkan data inflasi bulan Oktober tumbuh 0,12% month-to-month (MtM) dan 1,66% secara year-on-year (YoY). Adanya inflasi dipengaruhi oleh kenaikan tarif pada sektor transportasi.

Rilis inflasi tersebut lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan terjadi inflasi 0,09% MtM dan 1,63% YoY.

"Berdasarkan 11 komponen pendorong inflasi, terlihat semua komponen terjadi inflasi. Tertinggi pada kelompok transportasi inflasi 0,33%, dimana andilnya adalah 0,04%," kata Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers virtual, Senin (1/11/2021).

Lebih lanjut, Margo menjelaskan, sektor transportasi yang memberikan andil terbesar adalah angkutan udara. Di mana pada bulan lalu ada kenaikan tarif yang cukup signifikan.

Sementara itu inflasi inti yang tumbuh 1,33% YoY, lebih tinggi dari sebelumnya 1,2% YoY, tetapi lebih rendah dari konsensus 1,36% YoY. Rilis inflasi inti tersebut menunjukkan daya beli mulai membaik, tetapi masih belum kuat.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Perhatian Tertuju ke The Fed

Sementara itu dari luar negeri, kabar baik datang dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat (AS) yang menurunkan level terkait Covid-19 untuk Indonesia. Berkat pengendalian Covid-19 yang baik, CDC berikan Indonesia Level 1 atau "rendah untuk penularan Covid".

Warga AS kini dapat bepergian ke Indonesia. Meski begitu, melalui situsnya, CDC sangat merekomendasikan pelancong untuk divaksinasi lengkap sebelum bepergian ke Indonesia.

"Wisatawan harus mengikuti rekomendasi atau persyaratan di Indonesia, termasuk mengenakan masker dan menjaga jarak 2 meter (6 kaki) dari orang lain," tulis CDC.

Selain AS, Australia juga mulai mengizinkan warga negaranya untuk berkunjung ke Indonesia. Keputusan ini diambil setelah Negeri Kanguru menurunkan level waspada perjalanan ke RI.

Awalnya Australia memberikan level tertinggi yakni 4 yang berarti "dilarang bepergian ke negara itu", tetapi kini turun menjadi level 2 atau "butuh kewaspadaan tinggi"

Meski banyak kabar baik, nyatanya pelaku pasar kini sudah berfokus pada pengumuman kebijakan moneter The Fed pada Kamis (4/11) dini hari waktu Indonesia.

The Fed hampir pasti melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) di tahun ini, dan pengumumannya akan dilakukan pada pekan depan.

Tapering pernah terjadi pada tahun 2013, dan membuat kurs rupiah jeblok. Tetapi saat ini kondisinya berbeda dengan 2013, fundamental Indonesia sudah jauh lebih baik.

Meski tetap saja pelaku pasar melakukan aksi wait and see, hingga mendapat kepastian kapan tapering resmi dilakukan dan seberapa besar. Rupiah pun kesulitan menguat.

Pasar saat ini melihat tapering paling cepat dilakukan pada pertengahan November dengan nilai US$ 15 miliar setiap bulannya dari saat ini US$ 120 miliar per bulan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular