
Deretan Biang Kerok yang Bikin SWF Jokowi 'Melempem'

Jakarta, CNBC Indonesia - Kalangan ekonom menilai dana abadi milik Indonesia atau sovereign wealth fund (SWF) bernama Indonesia Investment Authority (INA) perlu untuk menyesuaikan portofolio investasinya sesuai dengan preferensi investasi dari investor global.
Jadi menurut ekonom, fokus investasi Lembaga Pengelola Investasi (LPI) dengan brand INA ini semestinya tidak hanya melulu di sektor infrastruktur milik BUMN, tetapi lebih beragam.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan saat ini tantangan untuk menarik minat investor untuk berinvestasi di Indonesia melalui INA makin tidak mudah. Sebab, preferensi investasi dari para calon investor ini juga beragam.
"Terkait aset yang ditawarkan, sepertinya memang perlu ada strategi agar tidak hanya men-support proyek infrastruktur di BUMN, INA juga perlu melihat preferensi investor SWF global yang saat ini mengarah pada investasi kesehatan, bioteknologi, digital/komunikasi, dan seterusnya," kata Eko kepada CNBC Indonesia, Selasa (12/10/2021).
Hal yang menjadi kendala lainnya untuk menarik investor untuk masuk ke Indonesia saat ini adalah pandemi Covid-19. Kondisi ini berdampak pada terhambatnya pengerjaan proyek-proyek.
Selain itu, pandemi juga berdampak pada turunnya optimisme ekonomi di Indonesia.
Namun demikian, menurut Eko, di periode pascapandemi, ada harapan bahwa target investasi INA akan bisa ditingkatkan sejalan dengan adanya dukungan pendanaan yang lebih besar.
Pemerintahan Jokowi memang menargetkan INA bisa menarik dana investasi hingga Rp 300 triliun.
Dana investasi tersebut bisa diburu dengan modal awal yang diberikan oleh pemerintah kepada INA senilai Rp 75 triliun di awal, yang sudah masuk setoran perdana Rp 15 triliun.
Namun hingga saat ini, setelah kepengurusan dilantik Jokowi pada 16 Februari silam atau 9 bulan berlalu, belum tampak komitmen pendanaan jumbo yang dikelola SWF yang dibentuk lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi (LPI) ini.
Menanggapi belum adanya proyek, Juru Bicara INA, Masyita Crystallin, menegaskan bahwa prinsip investasi memang tidak bisa diungkapkan kalau belum disepakati bersama dengan investor.
"Kalau sudah ada deal akan announce. Kalau proyek waktu itu Pak Tiko [Wamen BUMN Kartika Wirjoatmodjo] kasih proyeknya itu Waskita Karya beberapa proyek [belum deal]," katanya saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (12/10).
"Yang bikin belum [deal] itu yang pasti due diligence [uji tuntas] ini bukan berarti proyeknya jelek tapi investor asing ini berbeda perilakunya dengan lokal terkait ESG [environment, social, and good governance], tata kelola audit. Sedang due diligence supaya bisa sesuai dengan yang diinginkan investor," kata Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani ini.
Dia mengatakan beberapa proyek dengan BUMN seperti PT Pertamina (Persero), BPJS, dan lainnya memang belum bisa diungkapkan selama belum deal.
"Proyek yang sebelumnya, dengan Pertamina, BPJS agreement, selama belum deal dan close belum bisa dikasih tahu, yang jelas INA bisa investasi di BUMN dan swasta, saat ini [investasi] di BUMN dulu. Ada sembilan sektor prioritas sebenarnya tapi sekarang baru ada empat sektor yang paling mungkin tahun ini."
NEXT: Fokus INA ke Mana?
