Analisis

Vietnam Lockdown! Emiten Indonesia Bisa Dapat Berkah Apa?

Ferry Sandria, CNBC Indonesia
01 October 2021 16:15
APTOPIX Virus Outbreak Vietnam
Foto: AP/Hau Dinh

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah 18 bulan berjuang keras untuk bertahan dalam situasi pandemi, musim libur panjang Natal dan tahun baru yang semakin dekat menjadi kabar bahagia bagi perusahaan peritel fashion Amerika Serikat (AS), salah satunya adalah Everlane yang sedang bersiap untuk merilis banyak produk baru.

Akan tetapi ambisi tersebut terganggu akibat berkurangnya pasokan dari Vietnam yang merupakan salah satu pemasok utama.

Vietnam dalam beberapa tahun terakhir telah berkembang menjadi pemasok pakaian dan alas kaki terbesar kedua ke AS setelah China.

Vietnam memang berhasil melewati gelombang pertama dari pandemi secara cemerlang, tetapi dengan kehadiran varian Delta ditambah dengan distribusi vaksin yang tidak merata secara global muncul bahaya baru yang ditimbulkan terhadap ekonomi.

Dilansir The New York Times, Everlane mengatakan pihaknya kini menghadapi penundaan empat hingga delapan minggu, tergantung kondisi pabrik di Vietnam.

Pabrikan sepatu dan apparel, Nike memangkas perkiraan penjualannya pekan lalu, dengan alasan hilangnya 10 minggu produksi di Vietnam sejak pertengahan Juli dan pembukaan kembali akan dimulai secara bertahap pada Oktober.

Kebuntuan rantai pasok tersebut menyorot peran kunci Vietnam terhadap perusahaan ritel Amerika.

Selama satu dekade terakhir banyak pengecer memindahkan pabrik mereka dari China ke Vietnam naiknya biaya produksi. Penerapan tarif baru oleh mantan Presiden Donald J. Trump mempercepat perubahan tersebut.

Tidak hanya Everlane, saat ini banyak peritel Amerika dan pemain besar global lainnya mengantisipasi penundaan dan kekurangan barang, bersamaan dengan kenaikan harga akibat meroketnya biaya pengiriman dan tenaga kerja.

Kontrak dengan pabrik di Vietnam memproduksi 51% dari total alas kaki/sepatu merek Nike tahun lalu. Lululemon and Gap, yang juga memiliki Old Navy, mengatakan sepertiga dari barang dagangan mereka berasal dari pabrik di Vietnam. Everlane mengatakan negara itu memasok 40% barang dagangannya.

Vietnam Sempat Dipuji

Ketika virus corona melanda seluruh dunia, Vietnam dipuji karena peningkatan kasus yang rendah dan ekonomi yang kuat.

Selama 15 bulan pertama, hanya terdapat 3.000 infeksi dan 15 kematian dilaporkan di Vietnam. Tetapi 3 bulan terakhir, varian Delta meledak di negara dengan tingkat vaksinasi sangat rendah terset.

Pada awal September, hanya 3,3% penduduk negara itu yang divaksinasi lengkap, sementara 15,4% telah menerima satu suntikan, lebih rendah dari Indonesia. Saat ini, jumlah kasus di Vietnam telah melonjak melewati 766.000 dan jumlah kematian mendekati 19.000.

Pusat industri yang padat di Kota Ho Chi Minh (pusat penyebaran virus), telah mengalami serangkaian penguncian wilayah (lockdown) yang semakin ketat, dengan banyak pabrik tutup sementara pada bulan Juli. Kondisi tersebut melumpuhkan aktivitas komersial dan menambah tekanan pada rantai pasokan global.

Gangguan pandemi yang berkelanjutan terhadap rantai pasokan penting mungkin memiliki dampak jangka panjang pada keputusan investasi masa depan di Vietnam dan negara berkembang lainnya.

Dalam pemilihan tempat untuk berinvestasi di luar negeri, perusahaan raksasa seperti Nike tentu selalu mengevaluasi berbagai kondisi, seperti pajak, persyaratan peraturan, dan ketersediaan tenaga kerja.

Namun, saat ini, perusahaan-perusahaan Amerika sedang mencari alternatif di luar Vietnam, sering kali kembali ke pabrik-pabrik di China atau mencari mitra di negara-negara lain yang tidak mengalami lonjakan kasus Covid-19.

Vietnam juga telah menjadi topik reguler dalam paparan publik perusahaan ritel internasional. Pabrikan sepatu dan apparel asal Jerman, Adidas mengatakan gangguan rantai pasok di Vietnam dapat berdampak pada berkurangnya penjualan hingga 500 juta euro pada paruh kedua tahun ini.

Kondisi kritis di Vietnam terjadi tepat ketika AS siap bangkit dari tekanan ekonomi dan para peritel fesyen melihat rebound dalam penjualan setelah masa sulit tahun 2020 lalu.

Potensi bagi Indonesia?
Data Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (Office of the United States Trade Representative/USTR) mencatat bahwa pada tahun 2019 Vietnam merupakan pemasok barang impor (goods) terbesar ketujuh bagi AS (US$ 66,6 miliar), sedangkan Indonesia berada di peringkat ke-22 (US$ 20,1 miliar).

Industri tekstil merupakan kategori impor teratas dari kedua negara ASEAN, yang mana impor knit apparel (US$ 7,7 miliar) lebih besar dari Indonesia (US$ 2,2 miliar), begitu juga dengan footwear (US$ 7,0 miliar vs US$ 1,7 miliar), dan woven apparel (US$ 5,8 miliar vs US$ 2,2 miliar).

Defisit perdagangan antara AS dan Vietnam juga jauh lebih besar yakni mencapai US$ 55,8 miliar sedangkan dengan Indonesia hanya US$ 12,4 miliar.

Macetnya rantai pasok dari Vietnam bisa menjadi keuntungan bagi Indonesia yang telah melewati masa genting di awal meledaknya kasus Covid di dalam negeri.

Pemerintah telah berhasil menurunkan jumlah penambahan kasus dari yang semula mencapai lebih dari 50 ribu kasus baru per hari di puncak masa wabah, kini telah turun ke level di bawah 5.000 kasus sejak pertengahan bulan September.

Tingkat vaksinasi di Indonesia juga jauh lebih tinggi dari Vietnam, di mana data Kemenkes mencatat hingga 18 September 2021 tercatat 38,35% dari total target telah memperoleh vaksin dosis pertama dengan 21,87% telah divaksin sepenuhnya.

Dampak krisis rantai pasok di Vietnam tersebut sebenarnya telah menjalar menjadi rezeki ke Indonesia. industri-industri dalam negeri dapat kelimpahan order ekspor dari yang ditinggalkan Vietnam.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pun terus berusaha mendorong agar kinerja ekspor terutama dari sektor industri kembali moncer. Salah satunya dengan secara rutin memantau penerapan protokol kesehatan secara ketat di sektor industri yang sudah beroperasi 100% pada masa PPKM.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Muhammad Khayam mengatakan, pemantauan ketat dilakukan agar sektor industri yang telah beroperasi 100% tidak menjadi klaster baru Covid-19. Dengan terjaganya kasus penyebaran Covid-19 maka kinerjanya juga bisa ditingkatkan.

Menurutnya, penerapan prokes yang ketat ini terbukti membawa kinerja sektor industri melesat dan banjir permintaan dari negara lainnya, di antaranya adalah industri garmen dan alas kaki.

Muhammad Khayam juga mengatakan PT GI (Klaten) dan PT SCI (Salatiga) sedang mendapatkan limpahan order dari Vietnam yang menyebabkan kedua perusahaan akan menambah jumlah pekerja demi memenuhi permintaan pasar.

Selain itu banjirnya permintaan baru tentu dapat menjadi angin segar bagi beberapa perusahaan tekstil terbesar nasional yang sedang dilanda krisis keuangan seperti PT Pan Brothers Tbk (PBRX) dan PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL).

Tentu hal ini dapat terjadi jika manajemen mampu memanfaatkan peluang yang ada dengan baik mungkin.

PBRX diketahui memproduksi produk-produk fesyen untuk brand-brand besar seperti Adidas, Uniqlo, maupun H&M.

Jika industri tekstil nasional mampu mencaplok sebagian kuota impor tekstil AS yang semula dipasok Vietnam, tentu ini akan mampu berkontribusi dalam pemulihan ekonomi nasional di masa pandemi.

NEXT: Apa Tantangannya?

Dampak krisis rantai pasok di Vietnam tersebut memang telah menjalar menjadi rezeki ke Indonesia. Industri-industri dalam negeri dapat kelimpahan order ekspor dari yang ditinggalkan Vietnam.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengakui ada limpahan order yang datang akibat berhentinya produksi di negara tersebut akibat pandemi.

Meski kelimpahan pesanan, bukan berarti industri tekstil Indonesia tidak memperoleh tantangan dan ancaman yang datang baik dari dalam maupun luar negeri.

"Ekspor sebulan bisa sampai US$ 2 miliar, potensi limpahannya sebesar itu. Yang jadi masalah seberapa mampu kita nampung, karena kita punya ketergantungan bahan baku sama impor," katanya kepada CNBC Indonesia, Kamis (30/9/21).

Persoalan bahan baku impor itu menjadi kendala ketika garmen di Indonesia siap memproduksi lebih banyak produk di sektor hilir, mengingat setengahnya berasal dari China, dikatakan Gita. Sehingga, kemampuan produksi tidak bisa mengimbangi permintaan yang datang.

Persoalan energi di China membawa dua sisi bagi Indonesia, baik dari sisi kesulitan mengimpor bahan baku, hingga kelimpahan order yang tidak jadi ke negeri Tirai Bambu tersebut.

"Industri hulu di negara lain akan geliat dengan China ada kasus seperti ini, tapi dalam seminggu dua minggu masih belum terasa, karena stok China masih banyak, tapi begitu stok abis, demand di banyak negara akan naik," sebutnya.

Selain itu kenaikan produksi juga tidak bisa serta merta meningkat secara drastis mengingat terdapat hambatan lain seperti batasan kemampuan mesin dan juga jumlah pekerja, meskipun demikian potensi masih cukup besar bagi industri tekstil untuk tumbuh.

"Kemampuan ekspor garmen kita rata-rata sekitar US$ 500 juta per bulan, mungkin bisa naik per bulan 10%-15% sudah bagus, naiknya kita 15% tapi dilihat potensinya masih sangat besar. Meningkat 30% pun memungkinkan," jelasnya.

Pemilihan Vietnam sebagai pemasok salah satunya dikarenakan biaya produksi yang lebih murah dari Indonesia, jika dalam krisis ini Indonesia mampu memanfaatkan limpahan pesanan yang terjadi, pemerintah dan industri tentu tidak boleh hanya bermain pasif.

Pemerintah dan pemangku kepentingan industri tekstil perlu memastikan peningkatan dari sisi komponenskilldan produktivitas guna menambah keunggulan kompetitif dan sehingga mendorong tingkat manufaktur Indonesia memiliki daya saing yang jauh lebih baik.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular