Jakarta, CNBC Indonesia - Kombinasi tekanan kinerja akibat pandemi Covid-19, kewajiban membayar utang dan strategi meraup cuan di bisnis lain membuat emiten-emiten tekstil dan produk tekstil (TPT) menambah bisnis baru ke bidang pembuatan Alat Pelindung Diri (APD), perlindungan medis, masker kain, dan lainnya.
Hal itu terungkap berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI) tiga emiten di pasar modal. Ketiga emiten tekstil tersebut yakni PT Pan Brothers Tbk (PBRX), PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) alias Sritex, dan PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY).
PBRX
Dalam pernyataan di keterbukaan BEI, Selasa (13/7), manajemen Pan Brothers (PBRX) menyatakan tekanan akibat pagebluk Covid-19 membuat perusahaan memutuskan untuk menambah lini bisnis dengan terjun dalam produksi dan ekspor APD, seperti hazmat dan gaun perlindungan medis, dan masker kain.
Guna memuluskan rencana ini, perusahaan akan meminta restu pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) 20 Agustus 2021.
Menurut laporan studi kelayakan yang dilakukan oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Ihot Dollar & Raymond, dengan menimbang seluruh aspek terkait, rencana penambahan bisnis PBRX tersebut layak untuk dilaksanakan.
Manajemen PBRX, menjelaskan, dengan bisnis baru ini, maka pada 2021 perusahaan diproyeksikan mendapatkan tambahan pendapatan US$ 19,5 juta atau setara dengan Rp 283 miliar (kurs Rp 14.500/US$).
Sementara, pada 2022 PBRX akan meraup tambahan pendapatan US$ 10 juta atau Rp 145 miliar.
Angka tersebut mengasumsikan bahwa penjualan dari penambahan kegiatan bisnis diproyeksikan mengalami penurunan selama 2021-2022, seiring dengan adanya vaksinasi dan kemungkinan besar pandemi bisa segera diatasi.
Informasi saja, pada pertengahan Juni lalu, PBRX baru mendapatkan moratorium kewajiban terhadap kreditornya dari Pengadilan Tinggi Singapura pada 4 Juni 2021.
Adapun utang terbesar adalah kepada pemegang obligasi dan sindikasi lenders dengan nilai obligasi sebesar US$ 171,1 juta atau setara Rp 2,48 triliun (kurs rata-rata 14.500) dan limit sindikasi sebesar US$ 138,5 juta atau setara Rp 2 triliun.
Dari dalam negeri sendiri PBRX sebelumnya sudah digugat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh Maybank Indonesia.
Terkait dengan PKPU Maybank, manajemen PBRX menyebutkan nilai pinjaman yang dimiliki dari Maybank Indonesia berupa fasilitas pinjaman bilateral senilai Rp 4,16 miliar dan US$ 4,05 juta (sekitar Rp 58,75 miliar, asumsi kurs Rp 14.500/US$), sehingga total Rp 62,91 miliar.
NEXT: Ada Sritex dan POLY
SRIL
Berikutnya Sritex. Emiten tekstil milik keluarga Lukminto ini juga sedang memikul utang yang 'segunung' hingga nyaris default (gagal bayar). Kondisi keuangan tersebut membuat perusahaan mencoba peruntungan di lini bisnis tambahan.
Manajemen Sritex sudah lebih dahulu dibanding PBRX untuk masuk ke lini bisnis baru dalam produksi pakaian APD dan masker kain. Hal tersebut terungkap dalam keterbukaan informasi pada 11 Mei 2021, yang kemudian diperbarui pada 25 Mei lalu.
Untuk mengembangkan lini bisnis baru ini, perusahaan memerlukan investasi senilai Rp 280,5 miliar yang akan didanai dari internal perusahaan.
Adapun rencana ini sudah mendapat persetujuan pemegang saham di RUPST pada 28 Mei 2021.
Sementara, menurut KJPP FAST yang mendapatkan penugasan studi kelayakan mengenai penambahan lini bisnis perusahaan, rencana proyek ini layak untuk dilaksanakan.
Saat ini perseroan sedang dalam proses PKPU di tiga negara, antara lain Indonesia, Singapura, dan Amerika Serikat (AS). Proses PKPU di Indonesia, misalnya, Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang telah memutuskan untuk mengabulkan permintaan perusahaan untuk memperpanjang proses PKPU hingga 90 hari ke depan.
Sementara itu, perusahaan baru-baru ini mengalami penurunan rating Jangka Panjang Issuer Default Rating (IDR) menjadi RD (Restricted Default) dari sebelumnya C yang dilakukan oleh lembaga pemeringkat global Fitch Ratings.
Ini terjadi seiring Sritex tidak memenuhi pembayaran bunga jatuh tempo sekitar US$ 850.000 atau setara dengan Rp 11,9 miliar (kurs US$ 1 = Rp 14.000) atas pinjaman sindikasi senilai US$ 350 juta atau Rp 4,9 triliun, yang jatuh tempo 23 April 2021.
POLY
Terakhir ada Asia Pacific Fibers. Pada tahun lalu, diversifikasi ke produksi APD dan masker juga dilakukan emiten tekstil berkode saham POLY, yang sebetulnya fokus perusahaan pada industri kimia, serat sintetis, dan tekstil ini.
Perusahaan sudah mendapatkan pesanan memproduksi APD dan selimut untuk tenaga medis dan paramedis. Izin produksi dan izin edar pun sudah dikantongi, meskipun total nilai pesanan tersebut masih belum bisa menutup biaya operasional.
"Namun sedikit bisa meringankan beban perusahaan," kata Presiden Direktur POLY V. Ravi Shankar, dalam keterbukaan informasi di BEI, Selasa (5/5/2020).
Dampak pandemi sempat membuat POLY akhirnya terpaksa menutup operasional pabrik perusahaan di Karawang (Jawa Barat) dan Kaliwungu (Kendal, Jawa Tengah) beberapa bulan sejak 5 Mei 2020.
Selama pabrik dalam masa shutdown, kata Ravi, seluruh karyawan akan dirumahkan sementara waktu (dengan memberikan kompensasi selama dirumahkan) kecuali karyawan bagian maintenance yang ditunjuk untuk masuk sesuai jadwal yang telah ditetapkan dan dibantu beberapa kontraktor dari luar untuk melakukan perbaikan dan perawatan mesin-mesin produksi agar tetap dalam kondisi baik.
Dari sisi kinerja, laporan keuangan POLY mencatat, tahun lalu pendapatan POLY turun 35% menjadi US$ 258,49 juta atau Rp 3,75 triliun (kurs Rp 14.500/US$) dari tahun 2019 sebesar US$ 396,68 juta.
Rugi bersih POLY bengkak menjadi US$ 20,55 juta atau Rp 298 miliar dari rugi 2019 sebesar US$ 11,91 juta. Namun kabar baiknya, di kuartal I-2021, kinerja perusahaan membaik. Pendapatan naik menjadi US$ 87,68 juta dari periode Q1-2020 sebesar US$ 87,92 juta.
Perusahaan juga berhasil mencetak laba bersih menjadi US$ 2,62 juta dari laba bersih Q1-2020 sebesar US$ 4,32 juta.
TIM RISET CNBC INDONESIA