Duh! 10 Saham Terancam Delisting, Grup Bakrie-Emiten Asabri
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai menyoroti beberapa perusahaan tercatat (emiten) yang dinilai berpotensi terdepak (delisting) dari papan bursa seiring dengan lamanya periode suspensi atau penghentian sementara sahamnya.
Ultimatum pun secara tegas dan terang-terangan telah disampaikan oleh pihak BEI kepada emiten-emiten tersebut.
Beberapa kriteria yang dipertimbangkan untuk melakukan delisting paksa (force delisting) di antaranya belum terpenuhinya syarat kepemilikan publik (free float) dan kondisi keuangan perusahaan yang belum membaik.
Ini di luar delisting sukarela yang dilakukan PT Bentoel International Tbk (RMBA).
BEI menyatakan masih terdapat sejumlah perusahaan tercatat yang belum memenuhi ketentuan saham yang dimiliki oleh pemegang saham bukan pengendali dan bukan pemegang saham utama paling sedikit 7,5% atau 50 juta saham dari jumlah saham modal disetor, sesuai Ketentuan V.1 Peraturan Bursa Nomor I-A.
Berikut beberapa emiten yang terancam delisting yang dirangkum dari keterbukaan informasi BEI:
1. PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL)
Saham Bakrie Telecom berpotensi terdepak dari papan perdagangan Bursa seiring dengan penghentian sementara perdagangan saham tersebut yang telah mencapai 24 bulan pada 27 Mei 2021 lalu.
Saham BTEL sudah bertahun-tahun 'tidur nyenyak' di level Rp 50/saham dengan kapitalisasi pasar Rp 1,84 triliun.
BEI menyatakan bahwa Bursa dapat menghapus saham perusahaan tercatat apabila si emiten mengalami kondisi, atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha emiten tersebut, baik secara finansial atau secara hukum, atau terhadap kelangsungan status emiten sebagai perusahaan terbuka, dan tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.
Mengacu laporan keuangan tengah tahun 2021, BTEL yang dulu sangat sukses dengan produk Esia ini masih mencatatkan kerugian bersih sebesar Rp 72,72 miliar turun 57,97% dari periode yang sama tahun sebelumnya di mana rugi bersih perusahaan mencapai Rp 174,37 miliar.
Perusahaan gagal mencatatkan laba meskipun pendapatan usaha naik 178,59% menjadi Rp 16,25 miliar dari sebelumnya hanya sebesar Rp 5,83 miliar.
Ekuitas perusahaan tercatat minus atau mengalami defisiensi modal yang tercatat berada di angka negatif Rp 11,37 miliar.
2. PT Plaza Indonesia Realty Tbk (PLIN)
Emiten pengelola mal Plaza Indonesia yang dipimpin oleh Rosano Barack ini telah disuspensi sejak awal tahun ini, dengan BEI memperingatkan bahwa masa suspensi akan mencapai 24 bulan pada 12 Januari 2023.
Data BEI mencatat, suspensi dilakukan sejak 12 Januari 2021 lantaran perusahaan belum memenuhi ketentuan free float (minimal saham publik) sebesar 7,5%. Berdasarkan laporan keuangan per Desember 2020, saham publik di PLIN hanya 2,99%.
Laporan Bulanan Registrasi Pemegang Efek Perseroan per 30 Juni 2021, saham PLIN dipegang oleh PT Plaza Indonesia Investama (PII) sebesar 96,61%, saham treasuri 0,4% dan sisanya investor lainnya (publik) 2,99% alias di bawah ketentuan free float (minimal saham publik) 7,5%.
Dalam keterangan resmi perusahaan, Evy Tirtasudira, Direktur Plaza Indonesia menjelaskan bahwa PLIN sebelumnya telah bermaksud untuk melakukan pemenuhan ketentuan free float minimal 7,5% itu dengan cara, antara lain, melaksanakan penambahan modal dengan menerbitkan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau rights issue.
Namun manajemen belum bisa menyelesaikan rights issue yang telah disetujui tahun lalu dan telah melewati batas waktu yang ditentukan sesuai ketentuan OJK.
Manajemen menjelaskan bahwa krisis pandemi dan PPKM yang baru-baru ini dilaksanakan menjadi alasan utama.
3. PT Northcliff Citranusa Indonesia Tbk (SKYB)
Emiten yang bergerak di bidang perdagangan ponsel dan produk pendukung ini berpotensi dihapus pencatatnya (delisting) di lantai bursa oleh BEI karena perdagangan sahamnya telah disuspensi selama 18 bulan dan masa suspensi perdagangan efek akan mencapai 24 bulan pada tanggal 17 Februari 2022 mendatang.
Potensi delisting ini salah satunya diakibatkan oleh buruknya kinerja keuangan perusahaan yang pasarnya mulai tergerus akibat pindahnya perilaku konsumsi masyarakat yang mulai mengadopsi dan terbiasa dengan transaksi online. Tercatat terakhir kali perusahaan melaporkan kinerja keuangannya adalah pada kuartal ketiga tahun 2019, atau hampir dua tahun lalu.
Hingga akhir kuartal ketiga 2019, pendapatan perusahaan turun 14,08% menjadi Rp 3,65 miliar dari periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp 4,25 miliar.
Sedangkan kerugian perusahaan turun menjadi Rp 26,96 juta dari akhir September tahun 2018 sebesar Rp 1,23 miliar.
NEXT: Ada AirAsia hingga Rimo International
(tas/tas)