
Geger Utang Evergrande Rp 4.000 T, Emiten Properti RI Sehat?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar potensi gagal bayar alias default raksasa properti asal China Evergrande telah membuat geger pasar modal dalam beberapa hari terakhir. Pada Senin kemarin (21/9/2021) indeks harga saham acuan bursa Hong Kong (Hang Seng Index), misalnya, sempat anjlok hingga 4%.
Hal tersebut terjadi di tengah kekhawatiran investor tentang kesehatan pasar properti di China yang membuat terjadi panic selling berbagai saham di bursa utama Asia tersebut, mulai dari properti, bank hingga asuransi.
Harga saham Evergrande yang tercatat di bursa Hong Kong pun anjlok lebih dari 10% pada perdagangan perdana pekan ini.
Sebelumnya, pada Rabu (15/9/2021), Bloomberg memberitakan, seperti dikutip dari Reuters, otoritas perumahan China telah memberitahukan kepada bank-bank bahwa Evergrande tidak akan mampu membayar bunga pinjaman yang jatuh tempo pada 20 September 2021 karena kesulitan likuiditas.
Perusahaan ini disebut memiliki kewajiban mencapai US$ 305 miliar atau setara dengan Rp 4.361 triliun (kurs Rp 14.300/US$). Jika tidak ada solusi, maka bisa menjadi risiko sistemik di sektor keuangan China.
Lantas, bagaimana dengan 'kesehatan' keuangan emiten-emiten properti besar di Indonesia?
Di bawah ini Tim Riset CNBC Indonesia akan membahas secara ringkas jeroan keuangan sejumlah emiten properti raksasa di Tanah Air menggunakan laporan keuangan perusahaan semester I 2021 yang diterbitkan di website Bursa Efek Indonesia (BEI).
Emiten-emiten yang dimaksud adalah PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR), PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), PT Ciputra Development Tbk (CTRA), PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI).
Kemudian, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), PT Pakuwon Jati Tbk (PWON), PT Sentul City Tbk (BKSL), dan PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK).
Adapun dua tools alias alat analisis yang akan digunakan adalah 2 jenis rasio likuiditas, yakni rasio utang dibandingkan dengan ekuitasnya (DER, debt to equity ratio) dan rasio cepat (quick ratio/QR).
Secara rule of thumb, DER suatu perusahaan biasanya dikatakan sehat apabila berada di bawah angka 1 atau 100%. Akan tetapi, tentunya patokan ini berbeda-beda dari satu sektor ke sektor lainnya.
Sementara, rasio cepat (QR) perusahaan biasanya digunakan untuk melihat kemampuan perusahaan untuk membayar utang jangka pendeknya, dengan melakukan perbandingan aset lancar dikurangi dengan inventori (karena biasanya inventori sulit untuk dilikuidasi) dengan kewajiban jangka pendeknya.
Secara umum, rasio cepat suatu perusahaan dianggap ideal ketika lebih besar atau sama dengan 100% atau 1. Tentu, perlu juga membandingkan QR suatu emiten dengan rerata industrinya.
Catatan saja, ini hanya merupakan gambaran kasar mengenai kemampuan emiten properti membayar utang perusahaan. Analisis mendalam mengenai utang perusahaan akan membutuhkan lebih banyak variabel dan 'alat bedah' tinimbang yang diterapkan di sini.
Berikut ini tabel mengenai 'kesehatan' emiten-emiten properti besar RI.
Tabel Rapor Rasio Likuiditas 9 Emiten Properti per Semester I 2021
Kode Saham | Cash Flow (Rp) | QR (%) | DER (%) |
SMRA | 1.02 T | 42.30 | 250.45 |
LPKR | (385.48 M) | 85.54 | 241.38 |
APLN | 89.05 M | 60.31 | 238.45 |
CTRA | 1.99 T | 101.86 | 140.79 |
ASRI | 567.32 M | 43.13 | 136.4 |
BSDE | 2.02 T | 171.36 | 78.41 |
PWON | 1.19 T | 161.01 | 72.25 |
BKSL | 1.59 T | 54.88 | 71.16 |
LPCK | (13.72 M) | 52.64 | 39.57 |
Sumber: Bursa Efek Indonesia (BEI), RTI
Berdasarkan data di atas, ada 5 emiten yang memiliki DER di atas 100% alias tinggi, yakni SMRA, LPKR, APLN, CTRA, dan ASRI. Sementara, apabila membandingkan dengan rerata DER industri sebesar 136,81%, ada SMRA, LPKR, APLN, dan CTRA yang memiliki DER di atas itu.
Kemudian, ada 6 emiten dengan rasio cepat (QR) yang rendah alias di bawah 100%, yakni SMRA, LPKR, APLN, ASRI, BKSL, dan LPCK. Seperti disebutkan di atas, angka QR di bawah 100% atau 1 kali bisa menjadi penanda adanya potensi kesulitan bagi emiten tersebut untuk melunasi utang jangka pendek.
Adapun secara rerata QR industri yang sebesar 130% atau 1,3 kali, hanya BSDE dan PWON yang masuk ke dalam daftar emiten properti dengan kemampuan membayar utang jangka pendek lebih tinggi daripada rerata emiten properti lainnya. BSDE dan PWON juga memiliki DER yang rendah--baik secara rule of thumb dan rerata industri--yakni masing-masing sebesar 78,41% dan 72,25%.
Lalu, secara arus kas operasional (cash flow) secara umum emiten-emiten tersebut terbilang lancar. Tetapi dua emiten Grup Lippo, LPKR dan LPCK ternyata mencatatkan arus kas nilai negatif per 30 Juni 2021, yaitu masing-masing sebesar minus Rp 385,48 miliar dan minus Rp 13,72 miliar.
Sementara itu, emiten dengan cash flow tertinggi dipegang oleh BSDE sebesar Rp 2,02 triliun dan CTRA senilai Rp 1,99 triliun.
Khusus untuk SMRA, di tengah DER tertinggi dan QR terendah, perusahaan berhasil membukukan kenaikan laba bersih secara signifikan sebesar 963,63% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp 108,54 miliar pada semester I 2021.
Pertumbuhan laba bersih tersebut diiringi dengan kenaikan pendapatan bersih 12,69% secara yoy dari Rp 2,18 triliun pada periode 6 bulan pertama 2020 menjadi Rp 2,46 triliun pada periode yang sama tahun ini.
Adapun BSDE, yang memiliki DER rendah dan QR tertinggi dibarengi oleh cash flow terjumbo, membukukan perolehan laba bersih sebesar Rp 680 miliar pada semester pertama tahun ini, berkebalikan dari periode yang sama di tahun sebelumnya yang merugi Rp 192,68 miliar.
Sampai dengan 30 Juni 2021, emiten properti Grup Sinarmas ini mencatatkan kenaikan pendapatan sebesar 39% menjadi senilai Rp 3,25 triliun dari sebelumnya Rp2,33 triliun.
NEXT: Apakah Utang Perusahaan di Tanah Air Masih Aman?
