Meski demikian batubara yang memiliki rantai karbon pajang, pembakarannya menghasilkan emisi tinggi dan berkontribusi terhadap pemanasan global, sehingga eksistensinya di masa depan kian dipertanyakan, apalagi berbagai negara mulai menerapkan kebijakan hijau, termasuk Indonesia yang berencana mencapai net zero emission pada tahun 2070.
Sentimen negatif terhadap dampak lingkungan tampaknya tidak mampu membungkam reli panjang batu bara salah satunya yang salah satunya dipicu oleh lonjakan permintaan listrik berbiaya rendah. Selamasetahun terakhir harga batubara terus mengalami penguatan, dengan harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) nyaris menembus US$ 180 per ton.
Sementara itu dari dalam negeri Harga Batubara Acuan (HBA) yang ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) harganya selalu menajak sejak bulan Maret tahun ini, di mana kala itu HBA tercatat di angka US$ 84,47 dan terakhir bulan September ini harganya mencapai US$ 150,03 per ton, yang berarti dalam kurun waktu kurang dari setahun HBA telah menguat hingga 77,61%.
Peningkatan harga batubara tentu memberikan keuntungan bagi perusahaan penambang batubara, yang membebankan industri hulu seperti perusahaan pembangkit listrik yang biaya operasinya malah naik.
Berikut Tim Riset CNBC Indonesia coba merangkum beberapa emiten besar dan konglomerat penguasa industri batubara Indonesia.
Dato' Dr. Low Tuck Kwong, dilahirkan di Singapura 17 April 1948 dan berganti kewarganegaraan menjadi WNI pada 1992 memperoleh pundi-pundi dari kepemilikan saham di PT Bayan Resources Tbk (BYAN). Titik balik kesuksesannya terjadi pada tahun 1997 ketika ia mengakuisisi tambang batubaranya pertamanya yaitu PT. Gunungbayan Pratamacoal.
BYAN merupakan emiten dengan kapitalisasi terbesar yang fokus utama bisnis pertambangan batubara. Tercatat kapitalisasi pasar mencapai Rp 49,50 triliun, lebih besar dari Grup Adaro ataupun emiten tambang batubara pelat merah PTBA.
Hingga tengah tahun ini pendapatan Bayan tercatat naik 47% menjadi US$ 1,02 miliar (Rp 14,63 triliun), sedangkan laba bersihnya meningkat 387% menjadi US$ 337,05 juta (Rp 4,82 triliun).
Berdasarkan data real time billionaire yang dirilis Forbes, per 20 September 2021 Low Tuck Kwong tercatat sebagai taipan terkaya nomor 16 di Indonesia dengan total kekayaan mencapai US$ 1,20 miliar atau setara dengan Rp 17,16 triliun (kurs Rp 14.300/US$).
Saudara menteri BUMN RI, Garibaldi Thohir bersama TP Rachmat dan Edwin Soeryadjaya mendirikan emiten raksasa PT Adaro Energy Tbk (ADRO), yang ketika pertama kali melantai di bursa tahun 2008 silam berhasil memperoleh dana IPO terbesar sepanjang sejarah yang baru-baru ini rekornya dipecahkan oleh Bukalapak.
Lokasi penambangan Adaro tersebar di Pulau Sumatra dan Kalimantan, selain itu terdapat juga situs penambangan berlokasi di Australia yang baru diakuisisi tahun 2018 lalu. Beberapa perusahaan pertambangan di bawah Adaro Group antara lain PT Mustika Indah Permai (MIP), PT Bukit Enim Energi (BEE), Adaro Metcoal Companies (AMC), PT Bhakti Energi Persada (BEP) dan banyak lagi. Selain perusahaan tambang, Boy dan TP Rachmat juga masih punya banyak perusahaan lainnya.
Hingga tengah tahun ini pendapatan Adaro tercatat naik 15% menjadi US$ 1,56 miliar (Rp 22,34 triliun), sedangkan laba bersihnya meningkat 10% menjadi US$ 169,96 juta (Rp 2,43 triliun).
Data real time billionaire Forbes mencatat TP Rachmat sebagai taipan terkaya nomor 12 di Indonesia dengan total kekayaan mencapai US$ 2,00 miliar atau setara dengan Rp 28,6 triliun.
Kiki Barki Makmur adalah pengusaha batubara pemilik PT Harum Energy Tbk (HRUM). Tahun 2010 silam namanya masuk dalam daftar 40 Orang Terkaya Indonesia versi Majalah Forbes dengan kekayaannya mencapai US$ 1,7 miliar. Terakhir kali namanya muncul di daftar orang terkaya Forbes adalah pada tahun 2013 dengan kekayaan US$ 680 juta.
Meskipun telah lama absen di datar Forbes, kekayaan Kiki Barki tentu masih sangat besar mengingat bisnis batubara miliknya ikut terdongkrak oleh kenaikan harga komoditas tersebut.
PT Harum Energy Tbk merupakan induk perusahaan yang didirikan pada tahun 1995, dengan portofolio usaha di bidang pertambangan batu bara dan kegiatan logistik berlokasi di Kalimantan Timur, Indonesia. Melalui PT Karunia Bara Perkasa Kiki Barki menguasai 79,79% saham HRUM.
Hingga tengah tahun ini pendapatan HRUM tercatat naik 13% menjadi US$ 108,96 juta (Rp 1,56 triliun), sedangkan laba bersihnya malah ambles 52% menjadi US$ 10,35 juta (Rp 148,01 miliar).
Konglomerasi Grup Astra yang memiliki gurita bisnis di berbagai sektor, juga memiliki unit pertambangan batubara, selain sektor otomotif dan jasa keuangan. Bisnis tambang batubara Grup Astra dilakukan oleh PT United Tractors Tbk (UNTR) yang sahamnya 59,50% dimiliki oleh Astra.
Bisnis tambang barubara memang bukanlah merupakan segmen bisnis utama UNTR, akan tetapi kontribusi yang diberikan cukup signifikan. Segmen usaha pertambangan batubara UNTR dijalankan oleh PT Tuah Turangga Agung (TTA).
Sampai dengan bulan Juni 2021 total penjualan batubara mencapai 6,3 juta ton, termasuk 1,4 juta ton batu bara metalurgi. Sejalan dengan peningkatan volume penjualan dan harga rata-rata, pendapatan segmen usaha Pertambangan Batu Bara naik sebesar 23% menjadi Rp7,5 triliun.
Hingga tengah tahun ini pendapatan UNTR secara keseluruhan tercatat naik 11% menjadi Rp 37,31 triliun, sedangkan laba bersihnya meningkat 11% menjadi Rp 4,51 triliun.
Indika Group yang merupakan singkatan dari Industri Media dan Informatika telah berkembang menjadi salah satu perusahaan energi terdiversifikasi di Indonesia dengan portofolio bisnis yang mencakup sumber daya energi, jasa energi dan infrastruktur.
Masuknya Indika ke industri batubara dimulai dengan mengakuisisi PT Kideco Jaya Agung pada tahun 2004 dengan harga senilai US$ 150 juta. Bersama anak usahanya, Indika tercatat merupakan salah satu perusahaan batubara terbesar dalam negeri. Selanjutnya, bisnis Indika terus berkembang dengan mengakuisisi Petrosea pada 2009.
Hingga paruh pertama tahun ini pendapatan PT Indika Energy Tbk (INDY) tercatat naik 14% menjadi US$ 1,29 miliar (Rp 18,40 triliun), sedangkan laba bersihnya malah nyungsep hingga 155% menjadi hanya US$ 12 juta (Rp 171,60 miliar).
Sementara itu pendapatan PTRO juga naik 10% menjadi US$ 193,90 juta dan laba bersih meningkat 30% menjadi US$ 11,76 juta.
Grup Bakrie tercatat memiliki bisnis di hampir semua sektor penting perekonomian. Gurita bisnis Grup Bakrie mencakup bisnis pertambangan, energi, infrastruktur, jasa keuangan, kesehatan, telekomunikasi, media, perkebunan hingga teknologi.
Roda bisnis bidang pertambangan milik Grup Bakrie dilaksanakan oleh PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang mana ketiga anak Nirwan Bakrie yang baru-baru ini dipanggil satgas BLBI menjabat posisi penting di Grup Bumi, mulai dari jabatan presiden direktur hingga anggota komisaris.
BUMI mengendalikan dua raksasa tambang batubara tanah air yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin. Hingga paruh pertama tahun ini pendapatan BUMI tercatat turun 4% menjadi US$ 421,86 juta, sedangkan perusahaan mampu memperoleh laba bersih US$ 1,89 juta dari semula mengalai kerugian US$ 86,11 juta pada Juni 2020 lalu.
Selain yang telah disebutkan di atas masih terdapat beberapa konglomerasi besar penguasa industri batubara nasional, seperti emiten pelat merah PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang hingga paruh pertama tahun ini mencatatkan kenaikan pendapatan 14% menjadi Rp 10,29 triliun dengan laba bersih juga meningkat 38% menjadi Rp 1,79 triliun.
Grup Sinarmas juga memiliki usaha tambang batubara yang berlokasi di Berau Kalimantan Timur yang bisnisnya dijalankan oleh PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS). Beberapa pemain besar lainnya termasuk PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) dan emiten milik Luhut Binsar Pandjaitan, TBS Energi Utama Tbk (TOBA).