Ketimbang Inflasi, 'Sabda' Powell Lebih Berarti bagi Dolar AS

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 September 2021 12:39
Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell  (AP Photo/Steven Senne)
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (AP Photo/Steven Senne)

Jakarta, CNBC Indonesia - Data inflasi Amerika Serikat (AS) yang melambat membuat dolar AS kemarin goyah. Tetapi hanya sesaat saja, hari ini indeks dolar AS kembali bangkit.

Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan inflasi inti pada Agustus 2021 adalah 0,1% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Melambat dibandingkan Juli 2021 yang sebesar 0,3% dan menjadi yang terendah dalam enam bulan terakhir.

Selain itu, inflasi inti tersebut lebih rendah dari hasil survei Reuters terhadap para ekonom sebesar 0,3%.

Dibandingkan dengan Agustus 2020 (year-on-year/yoy), laju inflasi inti adalah 4%. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 4,3% dan menjadi yang terendah dalam tiga bulan terakhir, dan lebih rendah dari ekspektasi 4,2%.

idr

Pasca rilis tersebut, indeks dolar AS sempat merosot 0,38%, sebelum memangkas pelemahan dan mencatat pelemahan tipis 0,06%. Sementara pada hari ini, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini menguat tipis kurang dari 0,1%.

Pergerakan tersebut menunjukkan data inflasi yang lebih rendah dari prediksi hanya berdampak sesaat ke dolar AS.

Inflasi merupakan salah satu acuan bank sentral AS (The Fed) dalam menentukan kapan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) akan dilakukan. Namun, inflasi yang dirilis tersebut berdasarkan consumer price index (CPI), sementara inflasi yang menjadi preferensi The Fed adalah berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang dirilis akhir bulan ini.

Data inflasi CPI biasanya dijadikan gambaran data PCE. Meski demikian, melambatnya inflasi PCE pun sepertinya tidak akan berdampak signifikan ke proyeksi tapering, selama pelambatannya tidak signifikan.

Sebab, ketua The Fed, Jerome Powell sebelumnya sudah berulang kali menyatakan tingginya inflasi saat ini hanya bersifat sementara. Artinya pelambatan inflasi sudah diprediksi jauh-jauh hari oleh The Fed.

Di sisi lain, Powell sebelumnya juga menyatakan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset akan tepat dilakukan di tahun ini. Tetapi, dolar AS tidak serta merta perkasa, seperti tahun 2013.

Saat itu, yield obligasi AS (Treasury) melonjak, aliran modal keluar dari negara emerging market dan kembali ke negeri Paman Saham, dolar AS menjadi sangat perkasa, dan pasar finansial global bergejolak, yang disebut taper tantrum.

Dolar AS lebih kalem saat ini, sebab komunikasi The Fed saat ini ke pasar lebih baik ketimbang tahun 2013. Selain itu, Powell juga menyatakan ketika tapering berakhir, bukan berarti suku bunga akan dinaikkan setelahnya.

"Waktu mengurangi pembelian aset tidak berarti menjadi pertanda waktu kenaikan suku bunga. Keduanya merupakan hal yang berbesar secara substansial," kata Powell dalam pertemuan Jackson Hole.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rapat Kebijakan Moneter The Fed September Jadi Perhatian

The Fed akan mengadakan rapat kebijakan moneter di bulan ini, pengumuman hasilnya akan dilakukan pada Kamis (23/9) dini hari waktu Indonesia. Pasca rilis data tenaga kerja AS di awal bulan ini, banyak analis yang melihat rapat The Fed di bulan ini menjadi antiklimaks.

Sebab, The Fed tidak kemungkinan besar tidak akan mengumumkan tapering kali ini.

Pada Jumat (3/9/2021), Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls/NFP) bulan Agustus dilaporkan sebanyak 235.000 orang, jauh di bawah survei Reuters terhadap para analis yang memprediksi sebanyak 750.000 orang.

Tingkat pengangguran dilaporkan turun menjadi 5,2% dari sebelumnya 5,4%, sesuai dengan hasil survei Reuters, kemudian rata-rata upah per jam tumbuh 0,6% lebih tinggi dari bulan Juli 0,4%.

Meski tingkat pengangguran turun dan rata-rata upah per jam naik, tetapi yang lebih dilihat pelaku pasar adalah NFP. Sebab, mencerminkan kemampuan negara dengan perekonomian terbesar di dunia menciptakan lapangan pekerjaan.

Tetapi, bukan berarti tidak akan penting, kejutan bisa saja terjadi. Selain itu, Suki Cooper, analis dari Standard Chartered Bank melihat tapering baru akan diumumkan pada bulan November, tetapi rapat kebijakan moneter The Fed bulan ini akan berisi dot plot, yakni proyeksi suku bunga untuk tahun 2024. Sehingga tetap akan menjadi perhatian besar bagi pelaku pasar.

"Meski pengumuman tapering tidak akan dilakukan hingga bulan November, rapat kebijakan The Fed bulan ini akan memberikan proyeksi suku bunga untuk tahun 2024. Dan proyeksinya akan sama dengan tahun 2023, yakni dua kali kenaikan suku bunga," kata Cooper.

Artinya, jika proyeksi Cooper tepat, maka The Fed akan menaikkan suku bunga dua kali di tahun 2023, dan dua kali juga di 2024. Kenaikan tersebut terbilang tidak agresif, sehingga taper tantrum kemungkinan tidak akan terjadi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular