Analisis

Emiten Hiburan Babak Belur, Kapan Bioskop Dibuka Pak Luhut?

Ferry Sandria, CNBC Indonesia
13 September 2021 07:50
Pengunjung Bioskop di Masa Pandemi
Foto: Pengunjung Bioskop di Masa Pandemi (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Kinerja BLTZ masih belum pulih

Sepanjang semester I-2021,emiten pengelola bioskop CGV dan penyediaan makanan dan minuman, PT Graha Layar Prima Tbk (BLTZ), melaporkan kerugian sebesar Rp 168,04 miliar. Kerugian sedikit membaik atau turun 9,39% dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 185,46 miliar.

Berdasarkan laporan keuangan interim kuartal kedua, pendapatan perusahaan tercatat turun hingga 58,01% atau berkurang lebih dari setengahnya menjadi hanya Rp 98,17 miliar dari semula mencapai Rp 233,84 miliar.

Bila kondisi masih belum membaik, kerugian yang dialami BLTZ bisa saja semakin membengkak. Tahun lalu ketika bioskop hanya beroperasi di awal tahun dan dibuka terbatas jelang akhir tahun, kerugian BLTZ mencapai Rp 445,83 miliar.

Sebelum pandemi melanda, emiten pemilik Bioskop CGV ini mencetak laba bersih Rp 83,34 miliar sepanjang tahun 2019.

Tekanan tidak hanya datang dari regulasi pemerintah, tapi juga kompetitor lain yang pelan-pelan mulai menggerus pasar BLTZ menikmati momentum yang diperoleh. Tutupnya bioskop tentu saja memberikan peluang lebih bagi penyedia layanan streaming film (Netflix, Disney Hotstar, Mola, Viu, KlikFilm, dkk) yang kian hari jumlahnya semakin banyak di Indonesia.

Meski kondisi tertekan, dalam sepekan terakhir harga saham BLTZ tercatat naik 13,10%, bahkan sejak awal tahun saham ini menguat 9,70%. Pada penutupan perdagangan Jumat saham BLTZ turun 3,24% ke level Rp 3.280 per saham.

Kinerja FILM mulai membaik

Berbeda dengan BLTZ, emiten rumah produksi film, PT MD Pictures Tbk (FILM), berhasil meraih laba bersih Rp 18,14 miliar pada kuartal I-2021, membalikkan keadaan dari posisi rugi Rp 8,99 miliar pada kuartal I-2020.

Berdasarkan laporan keuangan FILM, raihan laba tersebut didorong oleh peningkatan pendapatan hampir 2 kali lipat dari Rp 29,36 miliar pada kuartal I-2020 menjadi Rp 60,96 miliar pada kuartal I-2021.

Kondisi ini tentu didukung dari fakta bahwa terdapat jaringan distribusi alternatif yang bisa dimanfaatkan oleh perseroan seperti kerja sama dengan layanan streaming atau juga televisi nasional.

Hingga akhir tahun lalu, FILM sebenarnya masih terdampak parah pula dengan adanya pandemi hal tercermin dari laporan rugi bersih Rp 57 miliar tahun 2020, berbalik dari tahun 2019 di mana perseroan berhasil cuan Rp 60,9 miliar. Penjualan juga anjlok parah dari Rp 250 miliar menjadi Rp 122 miliar tahun 2020 lalu atau koreksi parah sebesar 51,2%.

Pergeseran jalur distribusi serta pengetatan pengeluaran sepertinya membantu perbaikan kinerja FILM tahun ini.

Buktinya, di semester I, FILM mencatatkan penjualan Rp 126,42 miliar, melesat 443% dari periode yang sama tahun lalu Rp 56,79 miliar, sementara itu perseroan membukukan laba bersih Rp 35,98 miliar dari rugi bersih Rp 33,73 miliar.

Menariknya, penjualan film digital terbanyak yakni Rp 106,62 miliar, dari sebelumnya hanya Rp 19,65 miliar, sementara penjualan film layar lebar anjlok 81% menjadi hanya Rp 3,24 miliar dari sebelumnya Rp 17,30 miliar.

Saham FILM juga bisa dikatakan cukup atraktif pada tahun 2021 ini, sejak awal tahun saham ini telah menguat hingga 77%.

Meskipun demikian pada penutupan perdagangan Jumat (10/9) saham ini melemah 2,33% ke level Rp 336 per saham. Dalam sepekan saham ini juga turun 3,45% dan terkoreksi 18,45% selama sebulan terakhir.

Kinerja DYAN masih tertekan

Selanjutnya patut untuk disimak adalah emiten penyedia jasa MICE (Meetings, Incentives, Conventions, Exhibitions), PT Dyandra Media International Tbk (DYAN), yang meskipun tidak memiliki hubungan langsung dengan industri perfilman tapi perkembangannya patut untuk disimak, mengingat segmen bisnis yang dijalankan turut terkena dampak pandemi.

Pada semester pertama tahun ini DYAN masih mengalami kerugian bersih Rp 54,41 miliar, sedikit membaik dari periode yang sama tahun sebelumnya dengan kerugian sebesar Rp 94,03 miliar atau turun 42,13%. Pendapatan perusahaan juga tercatat tumbuh menjadi Rp 143,71 miliar dari semula Rp 133,09 miliar.

Sedangkan jika dilirik tahun 2020 lalu, kinerja tahun ini sudah bergerak ke arah pemulihan mengingat kerugian DYAN tahun 2020 lalu mencapai Rp 215,58 dari posisi untung Rp 19,27 miliar tahun 2019.

Tahun lalu pendapatan perusahaan juga tertekan dalam turun 71% menjadi Rp 284,18 miliar dari sebelumnya Rp980,14 miliar.

Uniknya meskipun kinerja masih kurang memuaskan, saham DYAN malah kian berkibar di pasar modal. Pada penutupan perdagangan Kamis (9/9), sahamnya melejit 32,05% ke level Rp 103 per saham.

Pada Jumat (10/9), terjadi aksi profit taking sehingga saham DYAN ambles auto reject bawah (ARB) 7% di Rp 96/saham.

Dalam sepekan saham ini juga menguat 28%, selama sebulan harganya pun mengalami peningkatan hingga 63%. Sedangkan sejak awal tahun saham ini telah tumbuh sebesar 75%.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular