Analisis

Taipan RI Ramai-ramai Caplok Rumah Sakit, Semenarik Apa sih?

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
09 September 2021 11:19
Siloam Hospital
Foto: RS Mitra Keluarga Depok, Tempat Pasien Positif Corona Pernah Periksakan Diri. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Prospek bisnis RS di Tanah Air terbilang menjanjikan, ditopang oleh dukungan dana dan komitmen pemerintah, demografi penduduk, masih tingginya kasus Covid-19, belum begitu terpenetrasinya industri kesehatan, sampai potensi pertumbuhan ekosistem kesehatan digital.

Pertama, mengenai anggaran kesehatan. Terbaru, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 menganggarkan dana Rp 255,3 triliun untuk bidang kesehatan. Namun dengan pandemi virus corona alias Covid-19 yang belum berakhir, angka itu masih mungkin naik lagi.

Tahun ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan realisasi anggaran kesehatan akan mencapai Rp 326,4 triliun, naik dibandingkan pagu awal yaitu Rp 169,7 triliun.

Sementara anggaran kesehatan 2022 diperkirakan naik 22,7% dibandingkan 2019, kondisi sebelum pandemi. Ini karena kenaikan alokasi iuran JKN dan anggaran reformasi sistem kesehatan.

Kedua, selain terkait anggaran kesehatan, demografi penduduk Indonesia juga menjadi salah satu pertimbangan utama yang penting.

Mengutip prospektus IPO Kedoya Adyaraya, pertumbuhan penduduk akan menuntut penambahan fasilitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan akan terus meningkat, yaitu dari 271 juta jiwa pada tahun 2020 menjadi 294 juta jiwa pada tahun 2030.

Dengan semakin meningkatnya populasi penduduk di Indonesia, maka diperlukan tambahan fasilitas pelayanan kesehatan dan penguatan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk mendukung kesehatan Masyarakat Indonesia.

Selain itu, penduduk berusia produktif (15 - 64 tahun) di Indonesia yang mewakili sekitar 71% dari populasi Indonesia saat ini. Terlebih, menurut World Bank, pertumbuhan populasi kelas menengah yang tinggi, setidaknya sebanyak 52 juta jiwa atau sekitar 1 dari 5 orang Indonesia dimana Masyarakat kelas menengah cenderung memiliki kesadaran akan kesehatan yang tinggi.

Ketiga, aspek lainnya yang menarik untuk dicermati adalah terkait potensi peningkatan pengeluaran kesehatan per kapita Indonesia seiring adanya program JKN dari pemerintah.

Sebagai informasi, Menurut World Bank, pengeluaran kesehatan per kapita Indonesia pada tahun 2018 tercatat sebesar US$112, tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara sekitar seperti Malaysia, Filipina, India, Singapura dan Thailand yang masing-masing sebesar US$427, US$137, US$73, US$2,823 dan US$276.

Sejumlah dampak JKN terhadap rumah sakit swasta di antaranya, kapasitas fasilitas rumah sakit swasta meningkat dan menawarkan lebih banyak layanan.

Kemudian, sekitar 81% rumah sakit swasta melaporkan peningkatan rawat inap dan rawat jalan dan indikator keuangan menunjukkan pengeluaran out-of-pocket menurun secara signifikan pada rumah sakit yang dikontrak BPJS Kesehatan.

Pengeluaran kesehatan per kapita di Indonesia diprediksi akan mencapai US$269 pada tahun 2027.

Keempat, potensi lain yang belum sepenuhnya digarap adalah terkait ketersediaan infrastruktur kesehatan di Indonesia, yang masih terkonsentrasi di pulau Jawa.

Menurut data Kementerian Bappenas, rasio jumlah tempat tidur di Indonesia berkisar antara 1,07 sampai 1,21 per 1.000 penduduk, dengan rasio tempat tidur tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta sebesar 2,24 tempat tidur dan Sulawesi Utara sebesar 2,15 tempat tidur. Angka ini masih di bawah standar universal World Health Organization (WHO) sebesar 3,0 tempat tidur per 1.000 penduduk.

Sementara, menurut data World Bank yang dikutip oleh riset Ciptadana berjudul "Market Outlook 2021 Healthcare Sector", rasio dokter untuk setiap 1000 penduduk hanya 0,4. Angka ini lebih rendah dibandingkan negara lain.

Sementara, dari sisi pengeluaran, belanja kesehatan masih rendah, yaitu sebesar 3,3% dari PDB. Persentase ini lebih rendah dari rata-rata negara-negara dengan tingkat pendapatan rendah (6,1% dari PDB), dan juga lebih rendah dari rata-rata negara-negara Asia Timur Pasifik dengan 7,4% dari PDB.

"Bahkan dengan pengeluaran perawatan kesehatan yang rendah saat ini, sebagian besar rumah sakit swasta sudah penuh sesak dan menguntungkan, yang menyiratkan peluang pertumbuhan yang sangat besar. Oleh karena itu, kami percaya, masih banyak ruang untuk perbaikan di sektor Kesehatan Indonesia," jelas periset Ciptadana, dikutip CNBC Indonesia, Rabu (18/8).

Kelima, kasus Covid-19 yang belum sepenuhnya bisa dikendalikan. Per Selasa lalu (17/8), Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, kasus baru bertambah 20.741 pasien dalam sehari, meningkat dibandingkan kemarin 17.384 kasus. Pertambahan ini membuat total kasus Covid-19 di RI selama pandemi menembus 3,892 juta kasus.

Keenam, terkait potensi pertumbuhan sektor telemedicine di Indonesia. Kembali mengutip riset Ciptadana, menurut survei Mckinsey pada lebih dari 700 pelanggan Indonesia, pertumbuhan penggunaan telemedicine meningkat sebesar 67% dalam enam bulan terakhir 2020.

Menurut salah satu perusahaan telemedicine Good Doctor yang bekerja sama dengan Grab, selama pandemi Covid-19, trafik pengguna meningkat delapan kali lipat sejak awal Covid-19 di Indonesia, dan 25% di antaranya terkait dengan covid-19.

Sementara, aplikasi saingannya Halodoc yang didukung Gojek menawarkan biaya konsultasi yang terjangkau mulai dari Rp10.000 hingga Rp50.000, tergantung pada jenis dokter (dokter umum atau khusus).

"Kami melihat tren positif ini akan terus tumbuh di tahun 2021, yang menciptakan sinergi yang baik antara sistem kesehatan online dan offline, pengguna telemedicine dapat lebih dirujuk ke rumah sakit atau klinik, karena banyak diagnosis masih membutuhkan perawatan medis brick and mortar [konvensional]," jelas periset Ciptadana.

Hal tersebut ditopang oleh riset MNC Sekuritas yang terbit pada 23 Juli lalu. MNC Sekuritas mencatat, menurut Frost & Sullivan, pendapatan kesehatan digital di Tanah Air diharapkan meningkat dari US$ 85 juta pada 2017 menjadi US$ 973 juta pada 2022 dengan tingkat CAGR lebih dari 60%.

"Kami memprediksi adanya kemungkinan M&A [merger & acquisitions/merger dan akuisisi] antara pengelola rumah sakit dan penyedia aplikasi kesehatan yang menawarkan berbagai macam layanan, rantai pasokan dan ekosistem terpadu ke depan," kata periset MNC Sekuritas, dikutip CNBC Indonesia, Rabu (18/8).

TIM RISET CNBC INDONESIA

(adf/adf)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Peluang RS Swasta Kembangkan Layanan Bagi Pasien Kelas Atas



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular