Jakarta, CNBC Indonesia - Subsektor rumah sakit (RS) akan kedatangan 'penghuni' baru di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada awal bulan depan. Calon emiten yang dimaksud adalah perusahaan pengelola RS Grha Kedoya yang dikendalikan oleh Hungkang Sutedja, anak dari taipan The Ning King, yakni PT Kedoya Adyaraya Tbk.
Kedoya Adyaraya akan menawarkan sebanyak-banyaknya 185.940.000 (185,94 juta) saham baru dan dikeluarkan dari portepel perseroan yang mewakili 20% dari total modal disetor dan ditempatkan penuh.
Berdasarkan prospektus perusahaan, nilai nominal saham baru tersebut Rp 500 per saham. Sementara, harga penawaran yang ditawarkan dalam IPO saham berkisar antara Rp 1.500 sampai dengan Rp 1.750 untuk setiap saham. Dengan demikian, maksimal dana yang bisa dikumpulkan dari IPO saham ini adalah sejumlah Rp 325,39 miliar.
Adapun prediksi pencatatan saham di BEI pada 8 September mendatang.
Praktis, masuknya perusahaan milik anak salah satu crazy rich di Tanah Air tersebut ke Bursa Efek Indonesia (BEI) bakal menambah daftar perusahaan/emiten RS yang dimiliki oleh konglomerat papan atas.
Sebut saja, ada emiten pengelola RS Siloam yang berada di bawah Grup Lippo milik Keluarga Riady PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO), emiten pengelola jaringan RS Omni Hospitals milik Grup Emtek yang dikuasai Eddy K. Sariaatmadja PT Sarana Meditama Metropolitan Tbk (SAME).
Kemudian, emiten pengelola RS Mayapada yang dimiliki taipan Dato' Sri Tahir yakni PT Sejahteraraya Anugrahjaya Tbk (SRAJ), dan emiten pengelola RS Mitra Keluarga milik pendiri PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) Boenjamin Setiawan yakni PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (MIKA).
Selain itu, emiten investasi yang didirikan oleh Edwin Soeryadjaya dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno, PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) juga memiliki portofolio RS, yakni jaringan RS Primaya Hospital.
Primaya Hospital sendiri berada di bawah Awal Bros Group Hospital yang dimiliki oleh pengusaha Arfan Awaloeddin.
Lantas, dengan kehadiran Kedoya Adyaraya, bagaimana peta persaingan perusahaan pengelola RS tersebut saat ini?
Tim Riset CNBC Indonesia akan membahas secara singkat mengenai 'kekuatan' masing-masing pengelola RS tersebut serta terkait prospek bisnis RS ke depan.
1. Kedoya Adyaraya
Menurut prospektus perusahaan, Kedoya Raya didirikan pada tahun 1990 dan mendirikan rumah sakit pertamanya, yaitu RS Grha Kedoya pada tahun 2009. Kemudian pada 2018, perseroan mengakuisisi rumah sakit RS Grha MM2100 di Cibitung Bekasi.
RS Grha Kedoya, yang dioperasikan langsung oleh perseroan, merupakan rumah sakit umum swasta tipe B dengan kapasitas 200 tempat tidur yang mempekerjakan sebanyak 26 dokter umum, 8 dokter gigi dan 127 dokter spesialis.
Sementara, RS Grha MM2100 dioperasikan perseroan melalui anak usaha PT Sinar Medika Sejahtera (SMS) merupakan rumah sakit umum swasta tipe C dengan kapasitas 200 tempat tidur, yang mempekerjakan sebanyak 9 dokter umum, 2 dokter gigi dan 28 dokter spesialis. SMS memiliki kontribusi sebesar 11,03% terhadap perseroan.
Selain dua rumah sakit tersebut Kedoya Adyaraya juga akan membangun RS baru dengan menggunakan dana IPO yang akan dialokasikan dalam bentuk pinjaman ke anak usaha PT Sinar Medika Alam Sutera (SMAS).
Nantinya, dana tersebut akan digunakan SMAS untuk pembangunan rumah sakit baru dan modal kerja berupa pemenuhan biaya persiapan pembukaan rumah sakit.
Mengenai kinerja fundamental, ada tren kenaikan pendapatan sejak 2018. Pada 2018 pendapatan mencapai Rp 242,99 miliar, lalu pada 2019 naik menjadi Rp 284,70 miliar, kemudian pada 2020 kembali tumbuh sebesar Rp 294,92 miliar.
Sementara itu, laba pada 2018 mencapai Rp 12,72 miliar, lalu naik pada 2019 menjadi Rp 22,68 miliar. Sementara sepanjang 2020 terkoreksi tipis menjadi Rp 19,99 miliar.
2. Siloam International Hospitals
Menurut laporan tahunan 2020 perusahaan, sejak didirikan pada tahun 1996, Siloam kini mengelola dan mengoperasikan 39 rumah sakit, terdiri dari 9 rumah sakit di Kawasan Jabodetabek dan 30 rumah sakit yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara.
Dari 39 rumah sakit yang beroperasi tersebut, 26 rumah sakit di antaranya sudah melayani pasien BPJS Kesehatan.
Perseroan juga mengoperasikan 30 klinik mandiri yang dilengkapi dengan dokter umum, perawat, dan dokter gigi.
Per akhir 2020, Siloam Hospitals memiliki kapasitas 8.394 tempat tidur, didukung oleh 3.017 dokter, yang mana 2.348 di antaranya adalah spesialis, serta 5.110 perawat, 2.296 teknisi kesehatan dan staf pendukung dan melayani 2,3 juta pasien selama 2020.
Pada semester I tahun ini, perseroan akhirnya berhasil mencatatkan laba bersih sebesar Rp 291,54 miliar, di mana pada periode yang sama pada tahun 2020, perseroan mencatatkan rugi bersihnya sebesar Rp 130,04 miliar.
Hal ini karena kenaikan pendapatan perseroan pada semester I-2021, yakni naik sebesar 52% menjadi Rp 3,81 triliun, dari sebelumnya pada semester I-2020 sebesar Rp 2,51 triliun. Kenaikan pendapatan perseroan ditopang oleh perawatan pasien, baik dari rawat inap maupun rawat jalan.
NEXT: Cek RS Lainnya Milik Crazy Rich
3. Sarana Meditama Metropolitan
Perusahaan yang pada akhir tahun lalu diakuisisi oleh Grup Emtek ini memiliki empat RS, yakni OMNI Hospitals Pulomas, OMNI Hospitals Alam Sutera, OMNI Hospitals Cikarang, dan OMNI Hospitals Pekayon.
Per akhir tahun lalu, keempat RS memiliki kapasitas mencapai 700 tempat tidur, 15 kamar operasi, dengan 284 dokter spesialis, dan 1.011 tenaga medis. Saat ini, OMNI Hospitals Group saat ini telah melayani lebih dari 3 juta pasien, dengan 30.000 operasi bedah.
Setelah sebelumnya pada semester I tahun 2020 sempat membukukan rugi bersih, pada semester I tahun 2021, perseroan berhasil mencetak laba bersihnya karena dorongan permintaan perawatan bagi pasien yang terkena virus corona (Covid-19).
SAME mencatatkan laba bersih sebesar Rp 98,64 miliar pada semester I-2021, dari sebelumnya pada semester I-2020 perseroan mencatatkan rugi bersih sebesar Rp 47,45 miliar.
Hal ini karena kenaikan pendapatan jasa perseroan pada semester I-2021, yakni naik 103% menjadi Rp 438,12 miliar, dari sebelumnya pada semester I-2020 sebesar Rp 215,67 miliar.
4. Sejahteraraya Anugrahjaya
Mayapada Hospital didirikan oleh Mayapada Healthcare Group pada 1 Juni 2008, setelah mengambil alih kepemilikan Honoris Hospital yang berlokasi di Jl. Honoris Raya Kav. 6, Modern Land, Tangerang.
Hingga akhir 2020, Sejahteraraya memiliki 4 RS, yakni Mayapada Hospital Tangerang (MHTG), Mayapada Hospital Bogor BMC (MHBG), Mayapada Hospital South Jakarta (MHJS), Mayapada Hospital Kuningan (MHKN). Selain keempat RS tersebut, proyek Mayapada Hospital Surabaya (MHSB) ditargetkan selesai pada Oktober 2021. Secara total, kapasitas tempat tidur RS Mayapada mencapai 1.200 tempat tidur.
Perusahaan juga akan mendirikan Mayapada Hospital Bandung (MHBD) dengan topping off struktur direncanakan awal Januari 2022. Proyek ditargetkan selesai pada akhir Desember 2022.
Sepanjang kuartal-I 2021, pendapatan SRAJ melesat 77,39% secara tahunan menjadi Rp 500,45 miliar. Perusahaan berhasil membalik rugi bersih Rp 9,42 miliar pada triwulan I 2020 menjadi laba bersih Rp 68,14 miliar pada periode yang sama tahun ini.
5. Mitra Keluarga Karyasehat
MIKA awalnya berdiri pada 1989 dengan dibukanya rumah sakit bersalin sederhana berkapasitas 35 tempat tidur di bagian timur Jakarta. Lalu, secara resmi didirikan pada 1995, dengan nama PT Calida Ekaprana, sebelum menjadi PT Mitra Keluarga Karyasehat pada 2014.
Menurut materi presentasi perusahaan, per akhir Juni 2021 total jaringan RS milik MIKA mencapai 26 RS dengan total kapasitas 3.885 ranjang tidur. Sementara, terdapat 3.247 tempat tidur operasional, angka ini naik 7,1% dibandingkan semester I tahun lalu yang sebesar 3.033 unit.
Rencananya, MIKA akan membangun 6 RS baru di kawasan Jakarta Raya dan Surabaya dengan estimasi ranjang tidur 1.200 unit. Keenam RS tersebut ditargetkan akan beroperasi pada 2022 sampai 2024.
MIKA juga mempekerjakan 1.632 dokter (termasuk 1.345 dokter spesialis) dan 3.799 perawat dan staf medis.
Mengenai kinerja keuangan teranyar, sepanjang semester I tahun ini, pendapatan MIKA tumbuh 65,80% secara tahunan dari Rp 1,44 triliun pada semester I 2020 menjadi Rp 2,39 triliun pada periode yang sama 2021.
Sejurus dengan itu, laba bersih perusahaan juga naik signifikan sebesar 133,30% secara tahunan menjadi Rp 615,88 miliar per akhir Juni 2021.
6. Primaya Hospital
Tidak seperti perusahaan di atas, Primaya Hospital bukan termasuk emiten di bursa. Perusahaan ini awalnya didirikan oleh Prof dr Yos E Susanto, PhD dengan nama Rumah Sakit Global Medika di Tangerang. Kemudian, pada 2008 menggandeng RS Awal Bros yang dikelola oleh Arfan Awaloeddin membangun RS Global Awal Bros di Bekasi. Saratoga sendiri masuk ke Primaya pada 2016 untuk mengembangkan RS Awal Bros.
Nama Primaya Hospital merupakan transformasi dan bentuk baru dari RS Awal Bros. Perubahan nama ini dilakukan pada Maret tahun lalu. Saat ini, RS Primaya memiliki 13 cabang RS, di antaranya Primaya Hospital Tangerang, Primaya Hospital Inco Sorowako, dan Primaya Hospital Karawang.
Diberitakan sebelumnya, Direktur Investasi Saratoga Devin Wirawan menjelaskan, pada semester I-2021 Saratoga terus mendorong sejumlah perusahaan portofolio investasi untuk mengembangkan bisnis ke daerah baru.
Dia mencontohkan, Primaya Hospital di bawah PT Famon Awal Bros Sedaya telah membuka tiga rumah sakit baru sejak awal tahun.
Ketiga rumah sakit tersebut adalah Primaya Hospital Bhakti Wara di Pangkal Pinang-Bangka Belitung, Primaya Hospital Sukabumi di Jawa Barat dan Primaya Hospital Pasar Kemis di Tangerang-Banten.
Asal tahu saja, Primaya Hospital menggenggam akreditasi berstandar internasional Joint Commission International (JCI) untuk 4 rumah sakitnya, tertinggi dibandingkan grup RS lainnya di Indonesia. Menurut penjelasan di website Saratoga, Primaya Hospital juga merupakan operator rumah sakit terbesar bagi BPJS.
NEXT: Seberapa Cuan di Bisnis RS?
Prospek bisnis RS di Tanah Air terbilang menjanjikan, ditopang oleh beberapa indikator, seperti dukungan anggaran dan komitmen dari pemerintah, demografi penduduk, masih tingginya kasus Covid-19, belum begitu terpenetrasinya industri kesehatan, sampai potensi pertumbuhan ekosistem kesehatan digital.
Pertama, mengenai anggaran kesehatan. Terbaru, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 menganggarkan dana Rp 255,3 triliun untuk bidang kesehatan. Namun dengan pandemi virus corona alias Covid-19 yang belum berakhir, angka itu masih mungkin naik lagi.
Tahun ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan realisasi anggaran kesehatan akan mencapai Rp 326,4 triliun, naik dibandingkan pagu awal yaitu Rp 169,7 triliun.
Sementara anggaran kesehatan 2022 diperkirakan naik 22,7% dibandingkan 2019, kondisi sebelum pandemi. Ini karena kenaikan alokasi iuran JKN dan anggaran reformasi sistem kesehatan.
Kedua, selain terkait anggaran kesehatan, demografi penduduk Indonesia juga menjadi salah satu pertimbangan utama yang penting.
Mengutip prospektus IPO Kedoya Adyaraya, pertumbuhan penduduk akan menuntut penambahan fasilitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan akan terus meningkat, yaitu dari 271 juta jiwa pada tahun 2020 menjadi 294 juta jiwa pada tahun 2030.
Dengan semakin meningkatnya populasi penduduk di Indonesia, maka diperlukan tambahan fasilitas pelayanan kesehatan dan penguatan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk mendukung kesehatan Masyarakat Indonesia.
Selain itu, penduduk berusia produktif (15 - 64 tahun) di Indonesia yang mewakili sekitar 71% dari populasi Indonesia saat ini. Terlebih, menurut World Bank, pertumbuhan populasi kelas menengah yang tinggi, setidaknya sebanyak 52 juta jiwa atau sekitar 1 dari 5 orang Indonesia dimana masyarakat kelas menengah cenderung memiliki kesadaran akan kesehatan yang tinggi.
Ketiga, aspek lainnya yang menarik untuk dicermati adalah terkait potensi peningkatan pengeluaran kesehatan per kapita Indonesia dan efek program JKN dari pemerintah terhadap RS swasta.
Sebagai informasi, menurut World Bank, pengeluaran kesehatan per kapita Indonesia pada tahun 2018 tercatat sebesar US$ 112, tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara sekitar seperti Malaysia, Filipina, India, Singapura dan Thailand yang masing-masing sebesar US$ 427, US $137, US$73, US$ 2,823 dan US$ 276.
Sejumlah dampak JKN terhadap rumah sakit swasta di antaranya, kapasitas fasilitas rumah sakit swasta meningkat dan menawarkan lebih banyak layanan.
Kemudian, sekitar 81% rumah sakit swasta melaporkan peningkatan rawat inap dan rawat jalan dan indikator keuangan menunjukkan pengeluaran out-of-pocket menurun secara signifikan pada rumah sakit yang dikontrak BPJS Kesehatan.
Pengeluaran kesehatan per kapita di Indonesia diprediksi akan mencapai US$269 pada tahun 2027.
Keempat, potensi lain yang belum sepenuhnya digarap adalah terkait ketersediaan infrastruktur kesehatan di Indonesia, yang masih terkonsentrasi di pulau Jawa.
Menurut data Kementerian Bappenas, rasio jumlah tempat tidur di Indonesia berkisar antara 1,07 sampai 1,21 per 1.000 penduduk, dengan rasio tempat tidur tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta sebesar 2,24 tempat tidur dan Sulawesi Utara sebesar 2,15 tempat tidur. Angka ini masih di bawah standar universal World Health Organization (WHO) sebesar 3,0 tempat tidur per 1.000 penduduk.
Sementara, menurut data World Bank yang dikutip oleh riset Ciptadana berjudul "Market Outlook 2021 Healthcare Sector", rasio dokter untuk setiap 1000 penduduk hanya 0,4. Angka ini lebih rendah dibandingkan negara lain.
Sementara, dari sisi pengeluaran, belanja kesehatan masih rendah, yaitu sebesar 3,3% dari PDB. Persentase ini lebih rendah dari rata-rata negara-negara dengan tingkat pendapatan rendah (6,1% dari PDB), dan juga lebih rendah dari rata-rata negara-negara Asia Timur Pasifik dengan 7,4% dari PDB.
"Bahkan dengan pengeluaran perawatan kesehatan yang rendah saat ini, sebagian besar rumah sakit swasta sudah penuh sesak dan menguntungkan, yang menyiratkan peluang pertumbuhan yang sangat besar. Oleh karena itu, kami percaya, masih banyak ruang untuk perbaikan di sektor Kesehatan Indonesia," jelas periset Ciptadana, dikutip CNBC Indonesia, Rabu (18/8).
Kelima, kasus Covid-19 yang belum sepenuhnya bisa dikendalikan. Per Selasa lalu (17/8), Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, kasus baru bertambah 20.741 pasien dalam sehari, meningkat dibandingkan kemarin 17.384 kasus. Pertambahan ini membuat total kasus Covid-19 di RI selama pandemi menembus 3,892 juta kasus.
Keenam, terkait potensi pertumbuhan sektor telemedicine di Indonesia. Kembali mengutip riset Ciptadana, menurut survei Mckinsey pada lebih dari 700 pelanggan Indonesia, pertumbuhan penggunaan telemedicine meningkat sebesar 67% dalam enam bulan terakhir 2020.
Menurut salah satu perusahaan telemedicine Good Doctor yang bekerja sama dengan Grab, selama pandemi Covid-19, trafik pengguna meningkat delapan kali lipat sejak awal Covid-19 di Indonesia, dan 25% di antaranya terkait dengan covid-19.
Sementara, aplikasi saingannya Halodoc yang didukung Gojek menawarkan biaya konsultasi yang terjangkau mulai dari Rp10.000 hingga Rp50.000, tergantung pada jenis dokter (dokter umum atau khusus).
"Kami melihat tren positif ini akan terus tumbuh di tahun 2021, yang menciptakan sinergi yang baik antara sistem kesehatan online dan offline, pengguna telemedicine dapat lebih dirujuk ke rumah sakit atau klinik, karena banyak diagnosis masih membutuhkan perawatan medis brick and mortar [konvensional]," jelas periset Ciptadana.
Hal tersebut ditopang oleh data dari riset MNC Sekuritas yang terbit pada 23 Juli lalu. MNC Sekuritas mencatat, menurut Frost & Sullivan, pendapatan kesehatan digital di Tanah Air diharapkan meningkat dari US$ 85 juta pada 2017 menjadi US$ 973 juta pada 2022 dengan tingkat CAGR lebih dari 60%.
"Kami memprediksi adanya kemungkinan M&A [merger & acquisitions/merger dan akuisisi] antara pengelola rumah sakit dan penyedia aplikasi kesehatan yang menawarkan berbagai macam layanan, rantai pasokan dan ekosistem terpadu ke depan," kata periset MNC Sekuritas, dikutip CNBC Indonesia, Rabu (18/8).
TIM RISET CNBC INDONESIA