Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana PT Bukalapak.com Tbk masuk bursa bisa dibilang sebagai 'tes ombak' bagi startup lain yang ingin melantai di bursa. Dengan harga penawaran Rp 750-Rp 850/saham, valuasi Bukalapak mencapai Rp 77 triliun-Rp 88 triliun. Bubble perusahaan dotcom era 1990-an pun dibicarakan.
Sejauh ini, Indonesia belum memiliki startup berstatus unicorn (valuasi di atas US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun, kurs Rp 14.000//US$) yang tercatat di bursa saham.
Menurut laporan firma konsultan global EY dalam laporan berjudul "In The World of Unicorns" (2019), mayoritas unicorn melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) di Amerika Serikat (AS), dan di Asia hanya ada di dua negara yakni China dan Jepang.
 Sumber: EY (2019) |
Bukalapak, dengan demikian, akan menjadi unicorn pertama di Asia Tenggara yang masuk bursa. Jika benar-benar meraup dana maksimal Rp 22 triliun, itu akan menjadikannya sebagai nilai penawaran perdana saham terbesar dalam sejarah Indonesia, mengalahkan raupan PT Adaro Energy Tbk sebesar Rp 12,2 triliun pada 2008.
Namun, pertanyaan terbesar yang menggelayuti benak publik tentu saja pada valuasi.
Bagi sebagian orang, valuasi Rp 88 triliun tidak masuk akal untuk Bukalapak yang pendapatannya baru sebesar Rp 1,35 triliun. Salah satunya disampaikan oleh Hasan Zein Mahmud dalam tulisannya yang banyak beredar di sosial media.
Mantan direktur utama PT Bursa Efek Jakarta (kini Bursa Efek Indonesia) ini membandingkan target raupan dana hasil senilai Rp 22 triliun yang sangat besar, mencapai 10 kali lipat dari aset perseroan. Dia mengingatkan tentang biaya modal (cost of capital) yang idealnya didominasi ekuitas (cost of equity) dan bukan utang (cost of debt).
Sayangnya, dia tidak mengupas rerata biaya modal tertimbang (weighted average cost of capital/WACC), yang menjadi patokan untuk menilai pengembalian investasi saham. Dia hanya menilai laba bersih Bukalapak harus tumbuh 7% /tahun agar menarik investor, dengan mengacu pada imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun, bukan WACC.
"Kalau imbal hasil saham-yang dihasilkan emiten, bukan dari naiknya harga saham yang cenderung selalu emosional-hanya sebesar yield SUN, 6-7% per tahun, kenapa harus membeli saham yang risikonya lebih tinggi?" ujar Hasan.
Dia mewakili investor yang melihat calon emiten sebagai entitas yang matang dan mengikuti kaidah valuasi konvensional ketika masuk bursa, seperti rasio profitabilitas atau rasio EV/EBITDA (enterprise value/earning before interest, tax, depreciation, and amortization).
Namun bagi investor startup, patokan tersebut jelas tidak relevan untuk mengukur valuasi perusahaan rintisan, yang secara natural membelanjakan setiap uang yang ada guna membangun ekosistem secepatnya. Kian tinggi belanja investasi, konsekuensinya profitabilitas pun kian kecil.
Nilai yang paling diperhatikan terutama adalah: kemampuan menciptakan disrupsi.
NEXT: Startup Bukan Dotcom era 1997-an
Dalam laporan riset berjudul "Asset Bubble and Market Crises" (2009), Direktur Pelaksana DB Advisor James H. Norman menyebutkan bubble di pasar terbentuk dalam lima fase. Kelima fase tersebut mengada dalam kasus-kasus bubble aset dalam sepanjang sejarah sebelumnya.
Pertama, deviasi (harga dari nilai dasarnya), diikuti mania (booming di pasar mengabaikan deviasi). Ketiga, eforia (yang memicu lonjakan harga hingga mengawang-awang), yang diikuti skeptisme (memicu profit taking meski belum cukup besar), dan akhirnya crash (panic selling alias aksi jual besar-besaran karena ingin segera terbebas dari posisi nyangkut).
 Sumber: The Journal of Investing (2009) |
Untuk melihat peluang bubble startup di pasar modal nasional layaknya di Bursa Wall Street tahun 1997, perlu ada tiga kondisi. Pertama, valuasi yang terdeviasi; kedua, booming perusahaan startup masuk bursa; dan ketiga, fakta bahwa valuasi mereka tak seperti yang dipersepsikan pasar. Kondisi kedua dan ketiga belum relevan dibicarakan karena memang belum terjadi.
Oleh karenanya, kita fokus pada valuasi.
Di titik ini, perlu dipahami bahwa startup adalah perusahaan yang didesain untuk merebut pasar di masa depan (future value), sehingga value-nya bukan terletak pada tinggi-rendahnya laba masa lalu (past value). Apalagi, jika perusahaan itu baru didirikan. Ia bukan skema ponzi yang langsung membagi laba di tahun awal .
Di era digital, masa lalu bukan indikator absolut prospek perusahaan. Kita tentu ingat kasus tutupnya gerai-gerai ritel internasional karena terdisrupsi e-commerce. Investor perlu mengukur proyeksi laba di masa depan dalam valuasi startup, misalnya dengan discounted cash flow (DCF), sebagaimana diakui Hasan belakangan kepada CNBC Indonesia.
"Yang tidak sederhana adalah kemampuan memprediksikan dengan betul proyeksi arus kas yang akan datang. Tak ada satu manusia pun yang tahu pasti apa yang akan terjadi esok hari. Itu sebabnya DCF yang sederhana kemudian diembel embeli dengan 1001 asumsi," jelasnya, meski lagi-lagi tak memberikan perhitungan WACC yang jadi tolak ukur valuasi DCF.
Oleh karenanya, jauh sebelum bicara risiko bubble, sebaiknya kita melihat dulu bagaimana para praktisi pasar modal melakukan perhitungan valuasi WACC atas unicorn di Indonesia. "Perang valuasi" ini lebih relevan dan bergizi untuk disimak oleh publik, ketimbang perang opini.
Dalam beberapa hal, memang ada kemiripan antara dotcom era 1997-an dan startup era 2017-an. Dua hal yang paling terlihat adalah profitabilitas yang buruk, sementara arus kas cenderung tertekan menyusul masifnya upaya membangun ekosistem. Nyaris semua unicorn di Indonesia-termasuk Bukalapak-masih rugi, dan sebagian besar masih "bakar uang."
Namun ada pembeda penting antara Bukalapak dkk dan perusahaan dotcom AS di masa lalu, yakni kemampuan mendisrupsi industri, dengan tidak bergantung pada subsidi bagi konsumen. Ketika internet booming pada tahun 1990-an, di mana jumlah pengguna hanya 200 juta di seluruh dunia, membangun ekosistem bukanlah perkara mudah.
Aksi bakar uang saat itu gagal memicu "ketergantungan" pada internet pada satu laman tertentu, mengingat luasnya pilihan yang tersedia. Bertransaksi di internet, saat itu, berarti bertumpu pada komputer fixed-line (wi-fi baru dipakai secara luas pada 1999). Sederhananya, "going dotcom" berarti "going potato" alias tak bisa ke mana-mana, tak fleksibel.
Hal ini berbeda dari startup yang layanannya bersifat lintas-platform, dan utamanya berbasis telepon genggam yang saat ini justru menjadi bagian vital dalam kehidupan manusia modern. Beberapa startup terbukti sukses mendistor si industri, manakala dotcom gagal.
Pelajaran terpenting dari bubble di era 1990-an adalah: disrupsi teknologi dalam kehidupan kita tak terelakkan. Internet terus berkembang meski ada bubble, dan 48% perusahaan dotcom AS bertahan sampai sekarang. Beberapa bahkan kini berada di puncak dunia. Hal serupa berlaku untuk prospek startup.
TIM RISET CNBC INDONESIA