Review

Anyep! Ternyata 10 Saham Ini Ramai Dilego Asing sejak Januari

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
08 July 2021 08:35
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih (net sell) di mayoritas bursa saham Asia pada Mei-Juni alias dalam2 bulan berturut-turut, seiring meningkatnya tekanan inflasi dan lonjakan kasus virus Covid-19 di sejumlah negara benua kuning.

Melansir Reuters, Selasa (6/7), secara total asing melakukan jual bersih senilai US$ 725 juta atau setara dengan Rp 10,15 triliun (asumsi kurs US$ 1 = Rp 14.000) sepanjang Juni di bursa Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan India.

Sejurus dengan itu, aliran dana asing yang keluar (outflow) pada paruh pertama tahun ini sebesar US$ 24,6 miliar atau Rp 344 triliun, dibandingkan dengan total arus masuk (inflow) US$ 21,6 miliar atau Rp 302 triliun pada paruh kedua 2020.

Reuters mencatat, kinerja indeks saham di negara-negara Asia tertinggal di belakang reli kenaikan saham di Amerika Serikat (AS) dan Eropa tahun ini, seiring lonjakan infeksi Covid-19 dan didorong sentimen soal tingkat inflasi AS yang memicu kekhawatiran investor bahwa bank sentral AS alias the Fed mungkin menaikkan suku bunga lebih awal dari yang diharapkan.

Menurut kepala strategi ekuitas Asia di HSBC Herald van der Linde, pergeseran aliran dana tahun ini tidak membuat harapan pemulihan pendapatan di Asia menurun.

"Kita telah melihat imbal hasil obligasi yang lebih kuat dan lebih tinggi membebani ekuitas di Asia. Hal itu menyebabkan peralihan dari ekuitas Asia ke ekuitas pasar negara maju," katanya.

Menurut data Reuters, Taiwan dan Korea Selatan membukukan outflow tertinggi pada bulan lalu, dengan nilai jual bersih masing-masing US$ 2 miliar dan US$ 795 juta.

Thailand, Vietnam, Filipina juga mengalami aliran dana asing keluar pada Juni.

Sumber: ReutersFoto: Sumber: Reuters
Sumber: Reuters

Korea Selatan mengalami lonjakan kasus virus corona, dipicu oleh varian Delta yang sangat menular, sementara Thailand juga mengalami pandemi virus yang berkepanjangan.

Di sisi lain, ekuitas India 'kebanjiran' dana asing senilai US$ 2,4 miliar (Rp 33,6 triliun) pada bulan Juni, setelah mengalami outflow dalam dua bulan sebelumnya.

Masuknya dana asing tersebut terjadi seiring penurunan kasus infeksi Covid-19 di India, yang pada Mei lalu sempat mengalami 'tsunami' dengan kasus harian mencapai 400 ribu, sehingga meningkatkan harapan pembukaan kembali ekonomi nasional.

Menurut data Kementerian Informasi dan Penyiaran India, pada Selasa (6/7), kasus harian Covid-19 bertambah 34.703 kasus, terendah dalam 111 hari.

Sementara, per Rabu (7/7), kasus harian Covid-19 di India bertambah 43.733 kasus, dengan positivity rate harian 2,29% lebih rendah 3% selama 16 hari beruntun.

Adapun pasien sembuh bertambah 47.240 pasien, terus mengungguli pertambahan kasus harian selama 55 hari berturut-turut.

Dengan penambahan kasus baru, jumlah total kasus Covid-19 naik menjadi 30.663.665 kasus, total kematian 405.054 jiwa, dan total pasien sembuh 29.836.070 pasien. Secara keseluruhan, India telah memvaksinasi penuh 4,7% dari total populasi, dengan 21% populasi telah menerima dosis pertama.

Namun di tengah penurunan kasus Covid-19 akhir-akhir ini, sebuah laporan penelitian dari SBI Research menyatakan bahwa India dapat mengalami gelombang covid ketiga--setelah gelombang kedua pada Mei lalu--mulai Agustus 2021 sampai September 2021.

Selain India, Indonesia juga mencatatkan beli bersih asing pada bulan Juni senilai Rp 4,87 triliun seiring dengan beberapa perkembangan yang terjadi di Tanah Air terkait pagebluk Covid-19 dan pemulihan ekonomi.

Menurut pengamat pasar modalĀ Kornelis Wicaksono, perkembangan yang menjadi perhatian pasar, pertama, yaknimengenai wacana reformasi perpajakan di Indonesia.

Mantan analis Reliance Sekuritas itu mengatakan, tujuan dari perubahan ini salah satunya untuk meningkatkan rasio perpajakan supaya pemerintah mencapai target defisit fiskal maksimum -3% dari PDB di tahun 2023.

"Memang perubahan perpajakan tersebut berpotensi meningkatkan pendapatan hampir 1% dari PDB, meskipun demikian pemilihan waktu implementasi merupakan hal yang krusial mengingat kita masih dalam masa pemulihan ekonomi," kata Kornelis kepada CNBC Indonesia, Selasa (6/7).

Kemudian, hal kedua yang menjadi perhatian pasar di bulan lalu adalah posisi neraca perdagangan Indonesia. Neraca perdagangan di bulan Mei, yang hasilnya rilis pada pertengahan Juni, mencatat surplus yang cukup besar terutama didorong oleh kenaikan ekspor.

Informasi saja, pada 15 Juni lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar US$ 2,36 miliar pada Mei 2021.

Hal ketiga yang menjadi sentimen pasar di bulan Juni adalah lonjakan kasus Covid-19 yang dibarengi oleh pelaksanaanpemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Mikro dan PPKM darurat oleh pemerintah.

"Namun ada hal positif juga yaitu tingkat vaksinasi harian yang mencapai satu juta dosis per hari nampak disambut positif oleh investor. Dibandingkan negara tetangga, hanya India yang jumlah total vaksinasi melebih Indonesia, sisanya jauh di bawah," ujar Kornelis.

Hal ini, kata Kornelis, menambah kepercayaan investor bahwa pemerintah melakukan berbagai upaya demi menekan penyebaran virus dan memperkuat pemulihan ekonomi Indonesia.

"Pasar Asia secara fundamental tetap kuat, dan arus keluar (outflow) apa pun lebih terkait penyeimbangan kembali (rebalancing) daripada [faktor] yang lainnya," kata Paul Sandhu, Kepala Solusi Kuantitas Multi-Aset di BNP Paribas Asset Management kepada Reuters.

Lantas, seiring dengan maraknya aksi net sell asing di atas, saham-saham bursa Tanah Air apa saja yang paling banyak 'diobral' asing secara year to date (ytd)?

Pada halaman selanjutnya, Tim Riset CNBC Indonesia akan membahas 10 besar saham dengan nilai jual bersih tertinggi secara ytd.

Adapun saham-saham yang masuk ke dalam daftar tersebut memiliki fokus bisnis yang beragam, mulai dari sektor otomotif, produsen mie instan, perbankan hingga properti.

NEXT: Saham-saham yang Ramai Dilepas YTD

Mengacu pada daftar di atas, ada 6 saham yang ambles secara ytd seiring adanya net sell asing, sementara 4 sisanya tetap tumbuh di zona hijau.

Adapun saham emiten konglomerasi Grup Astra, ASII, menjadi yang paling sering dilego asing dengan nilai jual bersih mencapai Rp 1,5 triliun. Seiring dengan itu saham emiten yang menaungi sejumlah bisnis di bidang otomotif, alat berat, perkebunan hingga pertambangan ini ambles 18,67% sejak awal tahun ini.

Memang, sejak awal tahun saham ini cenderung bergerak 'menuruni bukit'. Setelah sempat naik ke Rp 6.800/saham pada 21 Januari 2021, saham ini terus tergerus hingga sempat ambles ke harga terendah secara ytd di Rp 4.710/saham. Adapun pada perdagangan terakhir, Rabu (7/7), saham ASII ditutup stagnan di Rp 4.900/saham.

Kinerja kuartal I 2021 ASII juga masih terdampak pandemi Covid-19. Pasalnya, laba bersih perusahaan di3 bulan pertama tahun ini menurun 22% menjadiRp 3,73 triliun,dibandingkan kuartal I-2020 senilai Rp 4,81 triliun.

Berdasarkan rilis resmi perusahaan, pada 21 April lalu, turunnyalaba Astra disebabkan merosotnya laba bersih hampir semua segmen bisnis Grup. Dari tujuh segmen bisnis perusahaan, hanya dua segmen yang mencatatkan kenaikan laba bersih.

Kedua segmen yang mampu mencatatkan laba tersebut ialah alat berat, pertambangan & energi dan segmen properti.

Laba bersih dari divisi alat berat, pertambangan, konstruksi dan energi meningkat 3% menjadi Rp1,1 triliun. Sementara, segmen properti Astra juga melaporkan peningkatan laba bersih sebesar 23% menjadi Rp 49 miliar.

Di posisi kedua ada saham emiten produsen mie instan dan makanan ringan Grup Salim, ICBP, yang mengalami aksi net sell asing sebesar Rp 1,3 triliun secara ytd.

Saham ICBP juga ikutan merosot sebesar 11,75% sejak awal tahun. Pada 19 Januari lalu saham ICBP sempat berada di posisi Rp 9.750/saham. Namun kemudian, saham ini cenderung melorot hingga pernah di level Rp 7.750/saham. Sementara, pada Rabu (7/7), saham ICBP ditutup naik tipis 0,60% ke Rp 8.450/saham.

Mirip dengan ASII, ICBP mengalami penurunan laba bersih di tengah peningkatan penjualan neto perusahaan sepanjang kuartal I tahun ini seiring pagabluk yang belum usai.

Laba bersih perusahaan turun 12,39% menjadi Rp 1,74 triliun per akhir Maret 2021 dari Rp 1,98 triliun pada periode yang sama tahun lalu.

Sementara, penjualan dan pendapatan neto konsolidasi tumbuh 25,70% dari Rp 12,01 triliun pada 3 bulan pertama 2020 menjadi Rp 15,09 triliun pada triwulan pertama tahun ini.

Di bawah ICBP, ada saham emiten perunggasan sekaligus produsen produk makanan olahan brand Fiesta milik Keluarga Jiaravanon, CPIN, yang membukukan jual bersih asing sebesar Rp 630,0 miliar sejak awal tahun. Namun, tidak seperti saham ASII dan ICBP, saham CPIN berhasil naik 2,68% secara ytd.

Saham CPIN bergerak fluktuatif sejak awal tahun, dengan sempat di posisi tertinggi Rp 7.750/saham pada 15 April 2021 dan sempat di level terendah Rp 5.750/saham pada 29 Januari lalu. Pada penutupan kemarin, saham ini terapresiasi 1,13% ke Rp 6.700/saham.

Tidak seperti kinerja keuangan ASII dan ICBP yang tertekan, CPIN membukukan kenaikan laba bersih sampai 61,59% dari Rp 900,25 miliar pada periode kuartal I 2020 menjadi Rp 1,45 triliun per 3 bulan pertama tahun ini. Pendapatan usaha CPIN juga tumbuh 23,78% menjadi Rp 12,41 triliun pada triwulan I 2021.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular