Jakarta, CNBC Indonesia - Rilis notula rapat kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan nama Federal Reserve (The Fed) menjadi isu utama pasar finansial global Rabu kemarin. Maklum saja, kebijakan The Fed memberikan efek yang sangat signifikan, sehingga pelaku pasar cenderung berhati-hati.
Alhasil, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, hingga obligasi Indonesia melemah tipis-tipis. Notula The Fed tersebut dirilis Kamis (8/7/2021) dini hari tadi, yang tentunya akan berdampak pada pasar finansial Indonesia hari ini.
Apa saja yang tersaji dalam notula tersebut dan apa dampaknya ke pasar finansial Indonesia akan dibahas pada halaman 3. Selain itu ada juga faktor-faktor lain yang mempengaruhi pergerakan.
Kemarin, IHSG melemah tipis 0,05% ke 6.044,034, setelah sempat menguat 0,34% dan turun 0,41%. Artinya, IHSG bergerak cukup volatil. Nilai transaksi pun cukup besar Rp 13,7 triliun, dengan investor asing melakukan aksi jual bersih sebesar Rp 87 miliar.
Sementara itu nilai tukar rupiah juga melemah tipis 0,1% ke Rp 14.480/US$. Sama dengan IHSG, rupiah juga bergerak fluktuatif antara penguatan dan pelemahan.
Dari pasar obligasi, Surat Berharga Negara (SBN) mayoritas memang mengalami penguatan, tetapi juga tipis-tipis. Hal tersebut tercermin dari penurunan yield SBN.
Pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya, ketika harga naik maka yield akan turun, dan sebaliknya.
Pelaku pasar menanti sinyal kapan The Fed akan melakukan tapering dari notula The Fed. Tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) merupakan ketakutan pasar finansial global saat ini, sebab berkaca dari pengalaman tahun 2013 memicu gejolak yang disebut taper tantrum.
Selain itu dari dalam negeri, lonjakan kasus penyakit virus corona (Covid-19) yang berkali-kali mencetak rekor tertinggi juga memberikan dampak negatif ke pasar finansial. Perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia akan dibahas pada halaman 4.
Di sisi lain, ada kabar baik dari Bank Indonesia (BI) yang melaporkan cadangan devisa (cadev) per akhir Juni 2021 sebesar US$ 137,1 miliar, naik US$ 700 juta dibandingkan bulan sebelumnya.
"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 9,2 bulan impor atau 8,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," sebut keterangan tertulis BI, Rabu (7/7/2021).
Cadangan devisa Indonesia saat ini tidak jauh dari rekor tertinggi sepanjang masa US$ 138,8 miliar. Cadangan devisa yang tinggi artinya BI punya banyak amunisi untuk menstabilkan rupiah saat mengalami gejolak. Ketika nilai tukar rupiah stabil, maka investor akan lebih nyaman berinvestasi di dalam negeri karena risiko kerugian akibat kurs menjadi menurun.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Menghijau, S&P 500 Cetak Rekor Lagi
Bursa saham AS (Wall Street) menghijau pada perdagangan Kamis Rabu waktu setempat, dengan indeks S&P 500 kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. S&P 500 melanjutkan lagi tren positif setelah terhenti sehari sebelumnya.
Melansir dara Refinitiv, indeks S&P 500 pada perdagangan Rabu menguat 0,34% ke 4.358,13 yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa. Kemudian indeks Dow Jones menguat 0,3% ke 34.681,79, dan Nasdaq menguat tipis 0,01% nyaris stagnan di 14.665,06.
S&P 500 sehari sebelumnya menghentikan rentetan penguatan selama 7 hari beruntun, terpanjang sejak Agustus tahun lalu. Dengan penguatan di hari Rabu, artinya S&P 500 menguat dalam 8 dari 9 hari perdagangan.
Yield obligasi (Treasury) AS yang terus menurun membuat para investor kembali masuk ke pasar saham.
Raksasa teknologi kembali menjadi target investasi, saham Apple menguat 1,8% dan Amazon 0,6%. Dalam satu bulan terakhir keduanya melesat sekitar 15%.
Yield Treasury tenor 10 tahun kini berada di 1,322%, level terendah sejak pertengahan Februari. Yield yang rendah, tetapi dengan inflasi yang tinggi di AS tentunya membuat riil return menjadi negatif, yang membuat obligasi AS menjadi kurang menarik.
Apalagi dalam rilis notula rapat kebijakan moneter The Fed menunjukkan tidak akan terburu-buru melakukan tapering, yield Treasury makin menurun.
"Pergerakan yield obligasi dan saham raksasa teknologi selalu seperti itu (yield turun, saham teknologi naik) dalam beberapa waktu," kata Jim Paulsen, kepala strategi investasi di Leuthold Group, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (7/7/2021).
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari ini
Penantian pelaku pasar mengenai kapan tapering akan dilakukan masih belum terjawab. Tetapi setidaknya notula rapat kebijakan moneter The Fed menunjukkan hal tersebut tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Wall Street pun kembali menguat, dan tentunya mengirim sentimen positif ke pasar Asia, termasuk IHSG pada perdagangan Kamis (8/7/2021).
Notula yang dirilis dini hari tadi menunjukkan The Fed memang sudah membahas mengenai tapering, tetapi tidak akan buru-buru melakukannya. Artinya, tapering kemungkinan besar tidak dilakukan di tahun ini.
Mayoritas komite pembuat kebijakan moneter (FOMC) sepakat perekonomian harus menunjukkan "kemajuan substansial lebih jauh" sebelum The Fed mulai mengetatkan kebijakan moneter. Meski ada beberapa anggota FOMC yang melihat pemulihan ekonomi jauh lebih cepat dari perkiraan, dan inflasi yang sangat tinggi, sehingga The Fed perlu "menarik pedal gas".
Seperti diketahui sebelumnya, dalam rapat kebijakan moneter Juni lalu, The Fed merubah proyeksi kenaikan suku bunganya menjadi tahun 2023, dari sebelumnya tahun 2024. Bahkan beberapa pejabat The Fed melihat kemungkinan suku bunga dinaikkan pada tahun depan.
Namun, yield Treasury AS justru terus mengalami penurunan. Hal tersebut mematahkan prediksi banyak pihak, jika yield Treasury akan terus menanjak. Seperti disebutkan sebelumnya, yield Treasury tenor 10 tahun berada di 1,322%, level terendah sejak pertengahan Februari, serta sudah mengalami penurunan dalam 7 hari beruntun.
Bahkan tren penurunan sudah dimulai sejak yield Treasury mencapai level tertinggi pra pandemi 1,776% pada 30 Maret lalu. Saat The Fed mengumumkan kebijakan moneter pertengahan Juni lalu, yield sempat mengalami kenaikan lagi, tetapi hanya berlangsung sesaat dan kembali longsor.
Penurunan yield tersebut terjadi akibat pelaku pasar cemas perekonomian AS yang berbalik arah, apalagi virus corona masih memberikan ketidakpastian. Alhasil, meski banyak pelaku pasar yang kembali masuk ke pasar obligasi, meski yield-nya tidak menarik, yang penting adalah keamanan. Treasury AS merupakan salah satu aset yang dianggap safe haven.
Penurunan yield Treasury semakin tajam setelah The Fed mengindikasikan tidak akan terburu-buru melakukan tapering.
Turunnya yield Treasury bisa menunjukkan pelaku pasar kurang pede terhadap outlook perekonomian AS. Tetapi di sisi lain, akan memberikan keuntungan bagi SBN, sebab selisih yield-nya menjadi melebar. Pelaku pasar yang lebih berani mengambil risiko dengan imbal hasil yang tinggi tentunya akan mengalirkan modalnya ke pasar obligasi Indonesia.
Hal tersebut tentunya tidak hanya membuat harga SBN naik, tetapi juga menguntungkan bagi rupiah, meski masih harus menghadapi kuatnya dolar AS.
Indeks dolar AS kembali menguat 0,17% ke 92,705 pada perdagangan Rabu, dan berada di level tertinggi sejak 5 April.
Pergerakan yield Treasury dengan dolar AS biasanya beriringan, tetapi belakangan ini malah berlawan arah.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari ini (2)
Sementara itu, penambahan kasus Covid-19 di Indonesia kembali mencatat rekor tertinggi. Pada Rabu (7/7/2021) hingga pukul 12.00 WIB kasus baru Covid-19 bertambah 34.379 pasien dalam sehari.
Bukan hanya dalam penambahan kasus baru, dalam penambahan kasus kematian karena virus ini Indonesia pun memecahkan rekor dan menjadi yang tertinggi. Hari ini orang yang meninggal dunia mencapai 1.040 orang sehingga totalnya 62.908 orang.
DKI Jakarta menyumbang kasus harian terbanyak, yaitu sebesar 9.366. Selanjutnya Jawa Barat 8.591 kasus, Jawa Tengah 3.823 kasus, DIY 1,370 kasus, dan Jawa Timur 2.584 kasus. Tak hanya menyumbang kasus positif terbanyak, kelima provinsi tersebut juga menyumbang tambahan kasus meninggal terbanyak.
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro Darurat yang dilakukan pemerintah menargetkan penambahan kasus per hari bisa ditekan ke bawah 10.000 orang per hari. Memang sampai saat ini belum terlihat efeknya, sebab PPKM Mikro Darurat baru dilakukan sejak 3 Juli lalu.
Tanda-tanda berhasil atau tidaknya PPKM Mikro Darurat baru akan terlihat setidaknya satu minggu ke depan, mengingat adanya masa inkubasi virus corona. Oleh karena itu, dampak pasar keuangan Indonesia masih mampu mencatat penguatan beberapa kali, meski kasus Covid-19 terus menanjak.
Tetapi ceritanya akan beda jika pekan depan kasus Covid-19 masih mencetak rekor tertinggi, apalagi sampai masa PPKM Mikro Darurat berakhir 20 Juli nanti. Artinya ada kemungkinan akan diperpanjang dan mengganggu pemulihan ekonomi. Jika itu terjadi, pasar finansial Indonesia bisa terpukul.
Seberapa besar dampak lonjakan kasus Covid-19 terhadap konsumen bisa terlihat dari Indeks Keyakinak Konsumen (IKK) yang akan dirilis Bank Indonesia (BI) hari ini.
Dalam survei yang dirilis bulan Juni lalu, sebelum terjadi lonjakan kasus Covid-19, konsumen Indonesia terlihat semakin optimistis. BI melaporkan IKK Mei 2021 sebesar 104,4, naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 101,5
IKK menggunakan angka 100 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti pesimistis, sementara di atasnya optimistis.
Konsumen yang semakin pede, menjadi indikasi peningkatan konsumsi. Tetapi jika berbalik pesimistis akibat lonjakan kasus Covid-19, ada risiko tingkat konsumsi akan menurun, dan menghambat laju pemulihan ekonomi.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Data dan Agenda Berikut
Berikut beberapa data yang dirilis hari ini.
- Indeks Keyakinan Konsumen Indonesia
Neraca Dagang dan Current Account Jerman (13:00 WIB)
Klaim Tunjangan Pengangguran AS (19:30 WIB)
Stok Minyak Mentah AS (22:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional.
TIM RISET CNBC INDONESIA