Nasib Rupiah di Awal Pekan: 'Sudah Jatuh Tertimpa Tangga'

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
21 June 2021 15:48
rupiah melemah terhadap Dollar
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (21/6/2021), melanjutkan kemerosotan sepanjang pekan lalu.

Setelah melemah akibat pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed), kini rupiah tertekan akibat lonjakan kasus penyakit virus corona (Covid-19) di Indonesia, ibarat peribahasa "sudah jatuh tertimpa tangga".

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,07% di Rp 14.380/US$. Setelahnya depresiasi terus berlanjut hingga 0,56% ke Rp 14.450/US$.

Rupiah berhasil memangkas pelemahan dan mengakhiri perdagangan di Rp 14.425/US$, melemah 0,38% di pasar spot.

Rupiah juga menjadi salah satu mata uang dengan kinerja terburuk di Asia. Hingga pukul 15.03 WIB, rupiah hanya lebih baik dari baht Thailand dan dolar Taiwan yang melemah 0,6% dan 0,49%. Sementara yen Jepang, won Korea Selatan, dan dolar Singapura berhasil menguat.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia. 

Indonesia akhirnya mengalami lonjakan kasus Covid-19. Dalam 4 hari terakhir, penambahan kasus per hari lebih dari 12 ribu orang, bahkan pada hari ini Minggu (20/6/2021) jumlah kasus baru dilaporkan sebanyak 13.737 orang. Penambahan tersebut merupakan yang tertinggi sejak 30 Januari lalu, ketika mencatat rekor tertinggi 14.518.

Rata-rata penambahan kasus dalam 2 pekan terakhir sebanyak 9.562 naik hingga 66% dibandingkan rata-rata 3 pekan sebelumnya 5.772 kasus.

Lonjakan kasus dalam beberapa pekan terakhir tentunya membuat pelaku pasar cemas Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang lebih ketat bisa kembali diterapkan.

Apalagi provinsi DKI Jakarta mencatatkan kenaikan angka positif virus Corona sangat signifikan, bahkan mencatat rekor tertinggi selama pandemi. Jumlah pasien yang terpapar positif Covid-19 hari ini dilaporkan sebanyak 5.582 kasus.

Jika PPKM diketatkan, maka pemulihan ekonomi terancam tersendat lagi, yang tentunya dapat memukul rupiah.

Pada hari ini, pemerintah akhirnya mulai melakukan pengetatan.

Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KCP-PEN) Airlangga Hartarto mengatakan bahwa seluruh pusat keramaian seperti mall, pasar, dan pusat perdagangan wajib tutup pukul 20.00 atau jam 8 malam.

"Kegiatan di mall dan pasar dan pusat perdagangan maksimal jam 20.00, Pembatasan pengunjung 25% dr kapasitas," ujar Airlangga dalam konferensi pers, Senin (21/67/2021).
"Dine ini dibatasi 25% dari kapasitas. Sisanya take away dan delivery sesuai dengan jam restoran. Dibatasi sampai jam 8 malam," ujarnya.

Pada kesempatan yang sama Airlangga Hartarto mengungkapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan agar pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro dipertebal dan diperkuat.

"Kemudian terkait dengan penebalan dan penguatan PPKM mikro arahan presiden tadi untuk melakukan penyesuaian, jadi ini akan berlaku mulai besok 22 Juni-5 Juli, dua minggu ke depan, bahwa penguatan PPKM mikro akan dituangkan dalam instruksi Mendagri," katanya.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Tapering Masih Menghantui di Pekan Ini

Rupiah sepanjang pekan lalu melemah 1,28% setelah The Fed mengejutkan pasar dengan memproyeksikan suku bunga akan naik di tahun 2023 membuat rupiah terpukul.

The Fed saat mengumumkan kebijakan moneter pekan lalu mengindikasikan suku bunga bisa naik dua kali di tahun 2023, masing-masing sebesar 25 basis poin menjadi 0,75%.

Proyeksi kenaikan suku bunga tersebut lebih cepat ketimbang perkiraan yang diberikan bulan Maret lalu, dimana mayoritas melihat suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2024.

Tidak hanya itu, beberapa anggota The Fed juga melihat kemungkinan suku bunga bisa naik di tahun depan. Alhasil, dolar AS menjadi perkasa. Sepanjang pekan lalu indeks dolar AS melesat 1,8% ke 92,346, level terkuat sejak awal April.

Perhatian pelaku pasar di pekan ini tertuju ke testimoni ketua The Fed, Jerome Powell, guna mencari kejelasan terkait tapering atau pengurangan nilai pembelian aset (quantitative easing/QE).

The Fed dalam pengumuman kebijakan moneternya Kamis lalu tidak menyebutkan mengenai masalah tapering, tetapi menyiratkan sudah mendiskusikan hal tersebut.

Tetapi, jika suku bunga akan dinaikkan lebih cepat dari sebelumnya, artinya tapering juga kemungkinan besar akan lebih cepat, terjadi di semester II tahun ini. Apalagi The Fed juga menaikkan proyeksi inflasi tahun ini menjadi 3,4% dari sebelumnya 2,4%.

"Jika The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 2 kali di tahun 2023, mereka harus mulai melakukan tapering lebih cepat untuk mencapai target tersebut," kata Kathy Jones, kepala fixed income di Charlers Schwab, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (17/6/2021).

"Tapering dalam laju yang moderat kemungkinan akan memerlukan waktu selama 10 bulan, sehingga perlu dilakukan di tahun ini, dan jika perekonomian menjadi sedikit panas, maka suku bunga bisa dinaikkan lebih cepat lagi," katanya lagi.

Jika Powell menyiratkan tapering akan dilakukan di semester II tahun ini, tentunya lebih cepat daru spekulasi pasar sebelumnya di awal tahun depan, maka pasar finansial berisiko mengalami gejolak lagi termasuk di Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular