BI Tahan Bunga Buat Jaga Rupiah, Memang Rupiah Kenapa?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 May 2021 16:25
rupiah
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Thomas White)

Jakarta, CNBC Indonesia - Seperti yang sudah diduga, Bank Indonesia (BI) masih mempertahankan suku bunga acuan. Satu hal yang menjadi pertimbangan MH Thamrin adalah stabilitas nilai tukar rupiah.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 24-25 Mei 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%. Keputusan ini konsisten dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah dan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usai RDG, Selasa (25/5/2021).

Belakangan ini rupiah memang boleh dibilang baik-baik saja. Sejak akhir bulan lalu hingga kemarin, rupiah menguat 0,62% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) secara point-to-point di perdagangan pasar spot.

Arus modal pun kembali masuk ke pasar keuangan Tanah Air. Sepanjang April 2021, investor asing membukukan beli bersih Rp 3,55 triliun.

Namun, bukan berarti ke depan tidak ada risiko yang menghantui rupiah. Risiko terbesar adalah tren percepatan laju inflasi di AS.

Pada April, inflasi Negeri Paman Sam tercatat 0,8% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Ini adalah laju tercepat sejak 2005.

Sementara dibandingkan periode yang sama tahun lalu, inflasi AS tercatat 4,2%. Ini adalah yang tertinggi sejak 2008.

Halaman Selanjutnya --> Waspada, Inflasi AS Meninggi

Ketika inflasi terakselerasi, maka bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) lambat laun pasti akan bereaksi. Ini sudah terlihat di notula rapat (minutes of meeting) di mana kata 'inflasi' mulai sering muncul.

Dalam minutes of meeting April 2021, kata inflasi muncul 55 kali. Bulan sebelumnya bahkan lebih banyak lagi yaitu 64 kali.

"Beberapa peserta rapat menyatakan bahwa ada risiko ke atas terhadap inflasi. Bisa saja faktor-faktor yang diperkirakan hanya temporer mempengaruhi inflasi ternyata lebih persisten," sebut notula itu.

Ketika laju inflasi semakin cepat, artinya 'roda' ekonomi berputar kencang sehingga kalau tidak dikendalikan bisa terlalu panas alias overheat. Bank sentral punya peran besar yaitu dengan menaikkan suku bunga acuan, sehingga uang yang beredar di perekonomian bisa berkurang dan tekanan inflasi mereda.

Namun, kenaikan suku bunga punya efek lain. Imbal hasil (yield) obligasi sangat dipengaruhi oleh suku bunga. Saat suku bunga naik, yield pun bakal terungkit.

Apabila yield obligasi AS naik, maka investor bakal berbondong-bondong memborong instrumen tersebut. Obligasi adalah aset aman, dana investor kembali 100% saat tenor selesai plus dapat imbalan berupa kupon. Tidak seperti saham yang uang investor bisa 'hangus' kapan saja.

Apalagi kita bicara soal obligasi pemerintah AS, yang mustahil gagal bayar kecuali kalau Negeri Adikuasa bangkrut. Sudah super aman, cuan pula. Siapa yang tidak tertarik?

Nah, arus modal yang menyemut di AS itu akan membuat negara-negara berkembang seperti Indonesia kurang 'darah'. Minimnya sokongan aliran modal berisiko membuat rupiah melemah.

BI sangat berkepentingan menjaga rupiah karena itulah mandat yang diberikan dalam UU No 3/2004. Salah satu caranya adalah dengan membuat pasar keuangan Ibu Pertiwi tetap menarik dan bisa bersaing. Oleh karena itu, suku bunga tidak bisa terlalu rendah kalau tidak mau investor minggat.

Meski suku bunga acuan tidak turun, bukan berarti BI tidak mendukung upaya percepatan pertumbuhan ekonomi. Ingat, BI sudah menurunkan suku bunga acuan 200 basis poin (bps) sejak tahun lalu ke titik terendah sepanjang sejarah.

Selain itu, BI juga memberikan pelonggaran makroprudensial. Konsumen yang ingin mengambil Kredit Pemilikan Rumah (KPR) maupun Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) tidak perlu menyiapkan uang muka, cukup bayar angsuran bulanan.

"Pertumbuhan ekonomi kuartal I-2021 mungkin lebih rendah dari ekspektasi BI, tetapi di sisi lain risiko ketidakpastian di pasar keuangan tetap tinggi. Kami tidak melihat BI akan terlalu terburu-buru untuk kembali menurunkan suku bunga kecuali ada risiko pertumbuhan ekonomi benar-benar turun secara signifikan misalnya karena vaksinasi anti-virus corona yang lambat. Kemudian, kalau BI mau mulai meninggalkan kebijakan moneter longgar, maka bisa dimulai dari pengurangan quantitative easing ketimbang bermain dengan suku bunga," papar Helmi Arman, Ekonom Citi, dalam risetnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular