Jakarta, CNBC Indonesia - Mood Mr. Market sedang tidak baik. Pasar finansial dalam negeri goyang pada perdagangan kemarin. Saham ambles ke level terendah sepanjang 2021, obligasi pemerintah hampir menyentuh level coupon rate-nya dan rupiah pun ikut merasakan terpaan koreksi walau tak signifikan.
Tekanan jual di bursa saham lokal membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh tersungkur minus 1,27% setelah asing melepas kepemilikan sahamnya di pasar reguler senilai Rp 272,8 miliar.
Menyedihkan memang harus melihat IHSG harus berada di titik terendahnya tahun ini ketika prospek perekonomian membaik. Namun IHSG tak sendirian, indeks acuan saham utama bursa Asia juga ambles lebih dari 1%.
Indeks Nikkei Jepang drop 1.28%. Sraits Times Singapura turun 1,22%. Shang Hai Composite masih lumayan karena hanya melemah 0,57%. Pusat keuangan Asia yaitu Hong Kong libur nasional memperingati hari kelahiran Buddha.
Di pasar obligasi, surat utang pemerintah berdenominasi rupiah dengan tenor 10 tahun yang menjadi acuan mengalami kenaikan imbal hasil (yield) sebesar 2,3 basis poin (bps) menjadi 6,496%. Kenaikan yield mencerminkan penurunan harga.
Kini yield sudah hampir mendekati coupon rate tetap yang ditawarkan oleh pemerintah untuk seri acuan FR0087 6,5% per annum yang dibayarkan dua kali setahun. Artinya harga obligasi saat ini sudah hampir mendekati harga aslinya (on par).
Selain FR0087, semua seri acuan obligasi pemerintah berbagai tenor mulai dari 1 tahun hingga 30 tahun mengalami kenaikan yield yang berarti harga juga sedang turun.
Kompak dengan saham dan obligasi, nilai tukar rupiah di pasar spot juga ikut melemah. Rupiah terdepresiasi 0,04% di hadapan greenback kemarin. Tipis memang. Untuk US$ 1 dibanderol di Rp 14.275/US$.
Sementara itu di kurs tengah Bank Indonesia (BI) yang juga dikenal dengan nama Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah sudah berada di Rp 14.313/US$.
Apa yang dinanti-nanti oleh pasar adalah rilis risalah rapat bank sentral Negeri Adidaya The Federal Reserves atau The Fed. Dengan inflasi yang perlahan mengalami kenaikan ada kekhawatiran pengetatan moneter akan dilakukan oleh otoritas moneter AS lebih cepat dari yang diperkirakan.
Jika berkaca pada pengalaman sebelumnya, kalau The Fed mau menarik kembali likuiditas yang sudah disuntikkan ke sistem keuangan maka risiko pasar mengalami guncangan sangatlah besar.
Tapering atau pengurangan likuiditas oleh The Fed biasanya akan menyedot dana yang mampir ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Alhasil harga berbagai aset finansialnya pun tertekan.
Rilis yang ditunggu-tunggu sudah dipublikasikan. Tepat pukul 01.00 WIB dini hari bank sentral AS risalah tersebut diunggah ke situs resminya. Notulen rapat pengambil kebijakan The Fed pada 27-28 April lalu itu memberikan sinyal yang dicari pasar.
Pejabat The Fed mengungkapkan, peningkatan aktivitas ekonomi yang signifikan membuka peluang diskusi untuk mengambil stance hawkish. Apabila perkembangan ekonomi semakin membaik menuju target yang ingin dicapai, maka perlu ada diskusi tentang rencana untuk melakukan tapering.
Sejak AS dan seluruh negara di dunia diterpa pandemi terbesar abad ini yang disebabkan oleh virus Corona jenis baru (SARS-CoV-2) The Fed langsung mengambil kebijakan moneter ultra longgar.
Suku bunga acuan (Federal Funds Rates/FFR) dibabat habis 150 bps dan dipatok pada rentang 0-0,25%. Mengingat kebijakan rezim suku bunga negatif masih sangat kontroversial dan kurang efektif mendongkrak perekonomian seperti kasus Jepang yang terjebak dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi rendah hampir dua dekade, The Fed memilih melakukan quantitative easing/QE seperti pada 2008 silam.
Namun kali ini nilainya lebih jumbo. Secara sederhana The Fed memilih mencetak uang untuk dibelikan aset keuangan seperti obligasi pemerintah dan efek beragun aset yang berbasis KPR senilai US$ 120 miliar per bulan.
Pembelian aset keuangan yang agresif tersebut ditujukan untuk menstimulasi perekonomian yang lesu darah. Namun di saat yang sama membuat posisi aset pada laporan neraca (balance sheet) The Fed menggembung ke level tertinggi sepanjang sejarah.
Dalam kurun waktu satu tahun, lebih dari US$ 3 triliun likuiditas telah diinjeksikan The Fed ke pasar dan membuat asetnya naik menjadi US$ 7,9 triliun atau lebih dari 35% output perekonomian AS.
Likuiditas yang berlimpah, vaksinasi yang agresif memicu pembukaan kembali ekonomi. Ketika roda ekonomi mulai berputar, uang mulai berpindah tangan dengan laju yang lebih cepat dan tak hanya mengendap di bank.
Permintaan yang naik tetapi tidak diimbangi dengan pasokan yang mencukupi, likuiditas yang ample serta ekspektasi inflasi yang tinggi akhirnya berakibat pada suhu tubuh perekonomian yang semakin hangat.
Inflasi bulan lalu tercatat mencapai 4,2%. Jika dihitung secara tahunan pertumbuhannya merupakan yang paling tinggi sejak 2008. Namun secara bulanan paling tinggi dalam tiga dekade terakhir.
Sasaran target inflasi The Fed berada di kisaran rata-rata 2%. Jelas jika inflasi terus merangkak naik, The Fed harus segera ambil ancang-ancang untuk mengetatkan kebijakan moneter agar ekonomi tidak overheat.
Hanya saja pandemi yang belum berakhir, kondisi ekonomi yang belum pulih dan pemulihannya pun tidak merata membuat bos The Fed Jerome Powell menegaskan akan terus memantau perkembangan pemulihan.
Risiko adanya tapering membuat Wall Street goyang. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) drop 0,5%, S&P 500 ambles 0,3% dan Nasdaq Composite cenderung flat dengan koreksi hanya 0,03%
Notula rapat The Fed yang mulai ada sinyal bakal membahas tapering serta kinerja Wall Street yang tak memuaskan patut diwaspadai oleh investor seiring dengan bakal dibukanya perdagangan aset-aset keuangan di kawasan Benua Kuning.
Sentimen lain yang juga turut memberatkan aset-aset berisiko adalah anjloknya harga aset digital cryptocurrency. Mother of All Cryptos, Bitcoin, untuk pertama kalinya dalam 14 pekan terakhir kehilangan 30% dari kapitalisasi pasarnya belakangan ini.
Bitcoin ambrol dari US$ 63.000 menjadi US$ 39.843 dini hari tadi. Hanya dalam waktu singkat, uang senilai US$ 270 miliar atau setara dengan 27% output perekonomian Indonesia hangus bersama dengan anjloknya harga Bitcoin.
Melihat Bitcoin yang jatuh tersungkur, aset kripto lain juga banyak yang ikut berguguran. Di tengah adanya ancaman inflasi yang tinggi dan rontoknya harga aset-aset keuangan, emas justru kembali bersinar.
Emas dan Bitcoin bak rival seperti emas dan dolar AS. Harga emas yang naik lebih dari 5% sebulan terakhir ketika Bitcoin terjun bebas seolah semakin mengukuhkan hubungan keduanya. Saling berlawanan arah.
Melihat tren tersebut, artinya risk sentiment pun bergeser dari yang tadinya agresif dan cenderung spekulatif berubah menjadi lebih konservatif bahkan cari aman. Emas mulai banyak diburu lagi.
Bitcoin yang sebelumnya disebut sebagai emas digital yang bisa dijadikan sebagai instrumen untuk hedging harus tertekan ketika inflasi belum benar-benar panas karena sedang digempur sana-sini, mulai dari pejabat publik, ekonom kawakan hingga orang yang mem-pom-pom-nya sendiri.
Bagaimanapun juga Bitcoin masih tergolong anak baru (new kid on the block) jika dibandingkan dengan aset lain, apalagi emas. Si logam kuning yang sudah teruji krisis dan inflasi tinggi dalam beberapa abad masih menjadi pilihan yang relatif aman di mata investor.
Pergeseran risk sentiment patut diwaspadai oleh investor yang saat ini portofolionya berisi aset-aset berisiko baik dari sisi kelas dan jenisnya maupun diversifikasi geografisnya.
Hari ini pasar keuangan Asia terutama Indonesia masih berpeluang tertekan. Investor dan trader harus tetap bersiap dengan volatilitas yang tajam.
Selain Wall Street dan perubahan sentimen, investor juga perlu mencermati rilis data makro berupa perdagangan internasional Indonesia yang akan dilaporkan BPS hari ini. Polling CNBC Indonesia terhadap 10 ekonom dari institusi berbeda menunjukkan bahwa ekonom meramal ekspor bakal naik 40% lebih dan impor melesat 30% lebih.
Peningkatan ekspor ini didukung oleh kenaikan harga komoditas unggulan ekspor Indonesia mulai dari komoditas tambang untuk energi seperti batu bara, pertanian hingga tambang untuk industri.
Kenaikan impor juga mengindikasikan bahwa perekonomian RI mulai bergeliat karena konsumen mulai kembali berbelanja setelah sekian lama mereka kalangan menengah ke atas mengendapkan uangnya di deposito.
Neraca dagang juga diramal masih akan surplus sekitar US$ 1,17 miliar. Jika benar demikian adanya maka bisa menjadi sentimen positif untuk aset keuangan Indonesia terutama nilai tukar rupiah.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis risalah rapat The Fed bulan April 2021 (01.00 WIB)
- Rilis data perdagangan internasional Jepang bulan April 2021 (06.50 WIB)
- Rilis data pengangguran Australia bulan April 2021 (08.30 WIB)
- Kebijakan moneter China Loan Prime Rate untuk tenor 1 tahun (08.30 WIB)
- Rilis data perdagangan internasional Indonesia bulan April 2021 (11.00 WIB)
- Rilis data transaksi berjalan EU bulan Maret 2021 (15.00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: