
Simak! The Fed Ngomongin Tapering Sampai Kripto Longsor

Notula rapat The Fed yang mulai ada sinyal bakal membahas tapering serta kinerja Wall Street yang tak memuaskan patut diwaspadai oleh investor seiring dengan bakal dibukanya perdagangan aset-aset keuangan di kawasan Benua Kuning.
Sentimen lain yang juga turut memberatkan aset-aset berisiko adalah anjloknya harga aset digital cryptocurrency. Mother of All Cryptos, Bitcoin, untuk pertama kalinya dalam 14 pekan terakhir kehilangan 30% dari kapitalisasi pasarnya belakangan ini.
Bitcoin ambrol dari US$ 63.000 menjadi US$ 39.843 dini hari tadi. Hanya dalam waktu singkat, uang senilai US$ 270 miliar atau setara dengan 27% output perekonomian Indonesia hangus bersama dengan anjloknya harga Bitcoin.
Melihat Bitcoin yang jatuh tersungkur, aset kripto lain juga banyak yang ikut berguguran. Di tengah adanya ancaman inflasi yang tinggi dan rontoknya harga aset-aset keuangan, emas justru kembali bersinar.
Emas dan Bitcoin bak rival seperti emas dan dolar AS. Harga emas yang naik lebih dari 5% sebulan terakhir ketika Bitcoin terjun bebas seolah semakin mengukuhkan hubungan keduanya. Saling berlawanan arah.
Melihat tren tersebut, artinya risk sentiment pun bergeser dari yang tadinya agresif dan cenderung spekulatif berubah menjadi lebih konservatif bahkan cari aman. Emas mulai banyak diburu lagi.
Bitcoin yang sebelumnya disebut sebagai emas digital yang bisa dijadikan sebagai instrumen untuk hedging harus tertekan ketika inflasi belum benar-benar panas karena sedang digempur sana-sini, mulai dari pejabat publik, ekonom kawakan hingga orang yang mem-pom-pom-nya sendiri.
Bagaimanapun juga Bitcoin masih tergolong anak baru (new kid on the block) jika dibandingkan dengan aset lain, apalagi emas. Si logam kuning yang sudah teruji krisis dan inflasi tinggi dalam beberapa abad masih menjadi pilihan yang relatif aman di mata investor.
Pergeseran risk sentiment patut diwaspadai oleh investor yang saat ini portofolionya berisi aset-aset berisiko baik dari sisi kelas dan jenisnya maupun diversifikasi geografisnya.
Hari ini pasar keuangan Asia terutama Indonesia masih berpeluang tertekan. Investor dan trader harus tetap bersiap dengan volatilitas yang tajam.
Selain Wall Street dan perubahan sentimen, investor juga perlu mencermati rilis data makro berupa perdagangan internasional Indonesia yang akan dilaporkan BPS hari ini. Polling CNBC Indonesia terhadap 10 ekonom dari institusi berbeda menunjukkan bahwa ekonom meramal ekspor bakal naik 40% lebih dan impor melesat 30% lebih.
Peningkatan ekspor ini didukung oleh kenaikan harga komoditas unggulan ekspor Indonesia mulai dari komoditas tambang untuk energi seperti batu bara, pertanian hingga tambang untuk industri.
Kenaikan impor juga mengindikasikan bahwa perekonomian RI mulai bergeliat karena konsumen mulai kembali berbelanja setelah sekian lama mereka kalangan menengah ke atas mengendapkan uangnya di deposito.
Neraca dagang juga diramal masih akan surplus sekitar US$ 1,17 miliar. Jika benar demikian adanya maka bisa menjadi sentimen positif untuk aset keuangan Indonesia terutama nilai tukar rupiah.
(twg/sef)