Jakarta, CNBC Indonesia - Saham emiten kesehatan mencuri perhatian di tengah pandemi Covid-19, salah satunya adalah PT Itama Ranoraya Tbk (IRRA) yang harganya melesat 146,15% tahun lalu. Dengan laju vaksinasi dunia yang kian pesat, potensi kinerja positif masih terbuka.
Pandemi menjadi blessing in disguise bagi Itama yang masuk bursa bursa (listing) melalui penawaran publik perdana (initial public offering/IPO) pada 2019. Sejak dicatatkan sampai dengan sekarang, Jumat (7/5/2021), saham perseroan melonjak 342,5% ke Rp 1.655/unit.
Ibaratnya, jika Anda membeli saham perseroan ketika IPO dengan menjual motor Yamaha Mio bekas seharga Rp 10 juta, maka dalam waktu 18 bulan uang Anda tersebut nilainya sudah berubah menjadi Rp 34,25 juta atau cukup untuk membeli motor Yamaha Nmax.
 Sumber: Refinitiv |
Didirikan 18 tahun lalu, perseroan fokus menggarap bisnis alat dan perangkat kesehatan sehingga menjadi salah satu pemain utama di sektor tersebut. Namun, lompatan kinerja baru dicetak setelah konsolidasi bisnis ke Itama pada 2017, yang diikuti IPO dua tahun kemudian.
Penjualan perseroan yang kala itu (2016) hanya Rp 12 miliar, langsung melonjak menjadi Rp 225,2 miliar pada 2017 setelah konsolidasi, dengan laba bersih melesat 3.657% menjadi Rp 26,3 miliar.
Lompatan kinerja kembali terjadi di tengah pandemi, di mana penjualan menembus Rp 563,9 miliar atau tumbuh 100,1% pada 2020, sementara laba bersih melambung 82,3% menjadi Rp 60,52 miliar. Ini melampaui target internal perusahaan yang awalnya cuma mematok angka 20%.
Lini bisnis diagnostik, dengan produk utama perangkat tes swab antigen Panbio, tumbuh 183,4% menjadi Rp 410,8 miliar. Segmen peralatan non-elektromedikal, penjualan alat suntik (syringe) melesat 25% yang kebanyakan di antaranya berasal dari penjualan kuartal IV-2021.
Pada kuartal IV-2020 saja, Itama membukukan pendapatan Rp 422,8 miliar atau melesat 586% secara kuartalan. Pada saat itu, pemerintah memang telah menggencarkan tes antigen dan mulai menyiapkan vaksinasi (yang kemudian resmi diluncurkan pada 13 Januari 2021). Itama membukukan kontrak penjualan syringe sebanyak 111 juta, untuk vaksinasi tahun 2020.
Dus, periode 3 bulan terakhir 2020 itu menyumbang 75% pendapatan perseroan tahun lalu, sejalan dengan mulai cairnya anggaran pemerintah, yang biasanya digenjot pada kuartal IV. Kontrak dari pemerintah sejauh ini menyumbang lebih dari 40% penjualan Itama.
Berbekal kinerja positif tersebut, IRRA menjadi satu dari sedikit emiten yang konsisten membagikan dividen sejak pencatatan perdana sahamnya. Pada 2019, perseroan membagikan dividen sebesar Rp 6/saham, dan pada tahun ini kembali berlanjut dengan nilai Rp 12/unit.
"Pembayarannya akan dilakukan pada 25 Mei 2021 dengan jadwal Cum dan Ex Dividen masing-masing 30 April dan 3 Mei 2021," tutur Direktur Keuangan IRRA Pratoto Raharjo dalam siaran pers Kamis (22/4/2021).
Nilai total dividen tahun ini sebesar Rp 18 miliar atau 30% dari laba bersih tahun 2020. Sisanya disimpan sebagai laba ditahan (retained earning) untuk memperkuat permodalan perseroan.
NEXT: Ada Kejutan dari IRRA
Kinerja tahun lalu terangkat berkat pandemi, apakah tahun ini kinerja juga masih akan moncer?
Sejauh ini, jawabannya jelas: iya. Per kuartal I-2021, perseroan mencetak kenaikan pendapatan hingga 754% menjadi Rp 228,17 miliar, dan laba bersih melejit 853% menjadi Rp 20,85 miliar.
Untuk kinerja setahun penuh, emiten yang bergerak di bidang perlengkapan dan alat medis berteknologi tinggi (hi-tech healthcare solution) ini menargetkan pertumbuhan pendapatan dan laba bersih sebesar 80-100%.
Resep kinerja mereka masih akan terkait pandemi, dengan mengandalkan produk syringe (alat suntik vaksinasi), mesin plasma darah (Apheresis), alat tes antigen, dan beberapa produk baru yang diantaranya yaitu penguat kekebalan tubuh (immunomodulator) bermerek Avimac yang dipasarkan mulai April.
Penjualan perangkat tes swab antigen ditargetkan mencapai 10 juta unit, jauh lebih tinggi dari penjualan perangkat tersebut pada 2020 yang hanya 2,4 juta. Untuk syringe, perseroan melalui afiliasinya yakni PT Oneject Indonesia (Oneject) bakal memproduksi 1,2 miliar auto-disable syringe (ADS) untuk vaksinasi pada 2021, melesat dari 300 juta (2020).
Kabar kejutan juga kemungkinan bakal terjadi tahun ini, karena perseroan berpeluang melakukan aksi korporasi tahun ini, guna menjadi pemimpin produksi dan inovasi peralatan medis nasional. Salah satu target akuisisi adalah Oneject, yang telah disinggung beberapa kali sejak tahun lalu.
Akuisisi ini secara finansial sangat mungkin dilaksanakan, karena perseroan memiliki neraca keuangan sehat, kas berlebih, dan saham dalam portepel sebanyak 100 juta unit (per Maret 2021) yang bisa dijual sewaktu-waktu ketika dibutuhkan.
Belum lagi jika memasukkan opsi penerbitan saham baru (rights issue) dan merilis instrumen hybrid seperti convertible bond (CB) atau surat utang yang bisa ditukar menjadi kepemilikan saham.
Laba ditahan tahun lalu mencapai Rp 42,5 miliar. Posisi kas juga masih melimpah dengan kas operasi Rp 147 miliar (2020), melesat dari posisi 2019 yang minus Rp 7,8 miliar. Jika ditotal, kas dan setara kas IRRA mencapai Rp 233 miliar atau naik 443,7% dari posisi 2019 (Rp 42,9 miliar).
Sekiranya itu belum cukup untuk membiayai akuisisi saham Oneject atau perusahaan lain tahun ini, perseroan bisa melego saham dalam portepelnya. Jika mengacu pada harga sekarang (Rp 1.650/saham), maka dana yang diraup setara Rp 165 miliar jika penjualan dieksekusi hari ini.
Dengan akuisisi tersebut, perseroan mendapat sumber pertumbuhan baru dari bisnis manufacturer medical device dengan optimalisasi produksi 1,2 miliar syringe per tahun dan melebarkan sayap untuk menggarap pasar global.
Jangan kaget, produk syringe perseroan telah memenuhi standar internasional dan disetujui Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). Tidak hanya memproduksi syringe, perseroan juga mampu memproduksi kantung darah serta lokalisasi produksi antigen test yang selama ini diimpor.
NEXT: Bagaimana Valuasi Sahamnya?
Namun, potensi akuisisi dan lonjakan kinerja yang dipaparkan di atas belum tercermin dalam pergerakan harga saham perseroan di pasar. Saham IRRA tahun lalu melesat 146,15% tetapi sepanjang tahun berjalan penguatan baru terbentuk sebesar 3,13%.
Rasio harga terhadap laba per saham (price to earning/PE ratio) IRRA, yang saat ini sebesar 40 kali (Menggunakan EPS 2020), memang bisa disebutkan sudah cukup tinggi, karena rasio serupa untuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) saat ini berada di angka 28 kali.
Namun jika menggunakan forward PE (mengacu pada EPS 2021 yang ditargetkan tumbuh 80%-100%) maka nilai PE saham IRRA berada di level 20-23x, atau masih berada di bawah rata-rata perusahaan sejenis di luar (peers-nya).
 Sumber: Ciptadana |
Tingginya valuasi harga sekarang berpotensi menurun-sehingga saham menjadi murah-jika perseroan bisa mencapai atau melampaui target laba bersih akhir tahun, seperti yang dipertontonkan tahun lalu. Pandemi masih menjadi faktor kunci pemacu kinerja perseroan.
Berdasarkan analisisi teknikal, downtren berpeluang berbalik jika ada kejutan yang memacu pemodal untuk kembali mengakumulasi saham perseroan. Secara teknikal, saham IRRA memang di fase konsolidasi dalam pola descending triangle (segitiga menurun). Pola ini menunjukkan tren bearish atau menurun karena masih kuatnya tekanan dalam 3 bulan terakhir.
Namun, jangan salah. Jika titik support yang berada di batas bawah pola menjadi kian kuat, maka harga justru akan melenting ketika garis atas descending triangle terlewati. Batas bawah pola ini berada di kisaran 1.570/saham yang beberapa kali sukses menahan penurunan IRRA.
Kami menilai posisi tersebut beralasan untuk menjadi titik penahan (support) yang kuat, karena indikator Stochastic pada grafik harian terlihat sudah mendekati wilayah jenuh jual (oversold). Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga.
 Sumber: Tim Riset CNBC Indonesia |
Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah. Artinya, ketika saham IRRA turun ke 1.570/saham, maka Stochastic sudah mencapai oversold sehingga peluang rebound cukup besar.
Bicara potensi penguatan secara teknikal, harga saham IRRA berpeluang melesat jika menembus batas atas dalam pola descending triangle ini. Dalam hal ini, perlu konfirmasi penembusan di atas 1.900/saham.
Level tersebut berada di kisaran Fibonacci Retracement 61,8%. Fibonacci Retracement tersebut ditarik dari level terendah IRRA pada level 350/saham yang disentuh pada 18 November 2019 ke rekor tertinggi 4.390/saham yang dicapai pada 13 Januari 2021.
Pola descending triangle di grafik harian IRRA memiliki lebar 1.470. Sehingga jika mampu menembus konsisten Retracement 61,8% pada 1.900/saham, maka potensi kenaikan juga bakal terbuka selebar pola tersebut.
Artinya, kami memperkirakan target kenaikan saham IRRA berpeluang terbuka ke level harga Rp 3.370/saham, atau memiliki potential upside sebesar 100% dalam 12 bulan ke depan dengan asumsi perseroan konsisten mencapai target pertumbuhan kinerja keuangannya.
Risiko yang masih membayangi kinerja fundamental perseroan dan target harga sahamnya adalah: wanprestasi atau kegagalan mencapai target penjualan dan laba bersih yang dipatok, volatilitas kurs rupiah yang bisa mempengaruhi biaya pengadaan bahan baku atau barang modeal, dan agresivitas kompetitornya terutama dari pemain BUMN.
TIM RISET CNBC INDONESIA