Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah dini hari tadi ditutup anjlok, bursa saham New York sepertinya bakal kembali merah malam ini. Namun koreksinya kemungkinan lebih landai.
Dini hari tadi waktu Indonesia, Wall Street ditutup dengan koreksi signifikan. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup merosot 1,99%. Sementara S&P 500 ambles 2,14% dan Nasdaq Composite ambrol 2,67%.
Petang ini, futures Wall Street masih menunjukkan koreksi meski tidak separah saat penutupan pagi tadi. Berikut perkembangan futures Wall Street pada pukul 17:59 WIB:
Sentimen positif di New York datang dari perkembangan pipa minyak Colonial. Setelah ditutup akibat serangan siber, jalur sepanjang hampir 9.000 km ini kembali beroperasi.
Mengutip CNBC International, perusahaan pengelola pipa bekerja sama dengan pemerintah AS telah memperoleh kembali data yang diambil oleh para pembajak. Oleh karena itu, perusahaan tidak perlu membayar uang tebusan. Kelompok pembajak yang menamakan dirinya DarkSide itu disebut-sebut meminta uang tebusan US$ 5 juta, dibayar dengan mata uang kripto.
Penyaluran minyak memang membutuhkan waktu beberapa hari untuk kembali normal, tetapi setidaknya sudah bisa beroperasi. Dengan demikian, pasokan bahan bakar minyak, terutama di daerah Pesisir Pantai Timur AS, sudah bisa terpenuhi.
Halaman Selanjutnya --> 'Hantu' Inflasi Masih Gentayangan
Akan tetapi, sepertinya warna merah masih mendominasi Wall Street karena kekehawatiran investor terhadap 'hantu' inflasi. Pada April 2021, laju inflasi AS secara bulanan (month-to-month/mtm) adalah 0,8%. Ini adalah yang tertinggi sejak Juni 2009.
Sementara secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi Negeri Paman Sam berada di 4,2%. Ini adalah yang tertinggi sejak September 2008.
Inflasi disebabkan oleh permintaan konsumen yang membludak seiring Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden dan masifnya vaksinasi anti-virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Namun di sisi lain, dunia usaha belum siap sehingga produksi masih terbatas. Akibatnya ya harga pasti naik, inflasi namanya.
"Ini adalah tanda bahwa kita punya masalah inflasi. Dunia usaha punya kemampuan untuk meningkatkan kapasitas, hanya butuh waktu untuk membuatnya kembali normal," kata Robert Barbera, Direktur di Johns Hopkins University Center for Financial Economics, seperti dikutip dari Reuters.
Ketika laju inflasi terus terakselerasi secara stabil, maka bank sentral tidak bisa tinggal diam, termasuk The Federal Reserve/The Fed. Oleh karena itu, pelaku pasar kembali berani bertaruh bahwa The Fed bakal menaikkan suku bunga acuan lebih cepat, tidak 2023 seperti yang diperkirakan sebelumnya.
Mengutip CME FedWatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 0,25-0,5% pada akhir tahun ini adalah 8,8%. Lebih tinggi ketimbang posisi sebulan lalu yakni 6%.
 Sumber: CME FedWatch |
"Ditambah dengan kenaikan gaji per jam, inflasi tinggi mungkin akan lebih awet dari perkiraan The Fed," ujar David Kelly, Chief Global Strategist di JPMorgan Asset Management yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.
Kenaikan suku bunga tidak bersahabat bagi bursa saham. Sebab saat suku bunga naik, emiten harus membayar biaya lebih banyak untuk melakukan ekspansi. Laba emiten bakal tergerus, sehingga sahamnya kurang menarik untuk dikoleksi.
Sebaliknya, kenaikan suku bunga akan membuat aset lain lebih 'seksi' yaitu yang berpendapatan tetap seperti obligasi. Sebab, investor tentu akan mencari kompensasi dari imbalan yang tergerus inflasi sehingga akan mendorong yield ke atas.
TIM RISET CNBC INDONESIA