Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) terus menjadi sorotan dalam beberapa pekan belakangan ini, seiring sejumlah masalah yang menimpa korporasi besar industri tersebut, mulai dari tekanan utang, dipangkasnya plafon kredit perusahaan, pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utanf (PKPU) hingga potensi gagal bayar.
Sebanyak dua perusahaan yang disorot yakni PT PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) alias SRIL yang beberapa kali digugat PKPU dan akhirnya masuk PKPU Sementara.
Bahkan, yang terbaru, akibat melewati masa tenggat pembayaran bunga utang, lembaga pemeringkat global Fitch menurunkan rating Sritex dari C menjadi RD (Restricted Default). Rating Restricted Default ini adalah peringkat utang yang satu tingkat di atas D atau default (gagal bayar).
Berikutnya, sorotan menimpa PT Pan Brothers Tbk (PBRX) yang pada Rabu (5/5) lalu diguncang prahara demo karyawan di pabrik Boyolali, Jawa Tengah. Demo yang dinilai karena adanya miskomunikasi itu terjadi untuk memprotes kebijakan perusahaan yang membayar Tunjangan Hari Raya (THR) dengan cara dicicil.
Usut punya usut, manajemen Pan Brother melalui Vice Chief Executive Officer Pan Brothers Anne Patricia Sutanto mengatakan, kondisi arus kas (cash flow) perusahaan yang terbatas membuat perusahaan menawarkan mekanisme pembayaran THR secara bertahap.
Perkembangan terbaru, pihak Pan Brothers mendapatkan poin-poin kesepakatan terkait pembayaran THR. Poin utamanya, THR akan dicicil maksimal lima kali dan akan selesai dalam September 2021.
Sebelumnya, masih segar dalam ingatan mengenai kabar potensi pailit dan gagal bayar perusahaan raksasa tekstil lainnya, Duniatex Group, pada September 2019 lalu.
Namun, pada pertengahan tahun lalu, restrukturisasi utang Duniatex yang sebesar Rp 19 triliun akhirnya disepakati oleh para kreditor.
Melihat kondisi sektor tekstil yang tampaknya memasuki 'lampu kuning' ini, bagaimana sebenarnya kondisi kinerja keuangan emiten tekstil lainnya?
Tim Riset CNBC Indonesia akan membahas secara ringkas kinerja keuangan sejumlah emiten tekstil yang melantai di bursa Tanah Air.
Catatan saja, selain tujuh emiten yang dibahas di bawah ini, masih ada setidaknya 12 emiten tekstil lainnya yang tidak dimasukkan.
Termasuk Sritex dan PBRX, lima emiten tekstil lainnya yang dimaksud, yakni PT Trisula Internasional Tbk (TRIS), PT Indorama Syntetics Tbk (INDR), PT Eratex Djaja (ERTX), PT Ever Shine Textile Industry Tbk (ESTI) dan PT Asia Pacific Investama Tbk (MYTX).
Mengenai kinerja keuangan, dari ketujuh emiten di atas, baru tiga emiten yang melaporkan kinerja keuangan per akhir Desember 2020, yakni SRIL, INDR dan TRIS. Sementara, empat sisanya masih berdasarkan laporan keuangan per kuartal III tahun lalu.
Apabila menilik kinerja keuangan, kinerja lima emiten tekstil masih tertekan, dengan tiga membukukan penurunan laba bersih dan dua emiten kembali membukukan rugi bersih. Tiga emiten yang mencatatkan pengikisan laba bersih, yakni SRIL, INDR dan ERTX.
Sementara, ESTI masih membukukan rugi bersih per kuartal III 2020, kendati rugi bersih ini berkurang dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Kemudian, TRIS yang malah menanggung rugi bersih sebesar Rp 10,61 miliar pada 2020, padahal pada tahun sebelumnya masih membukukan laba bersih Rp 795,75 juta.
Adapun dua emiten lainnya, mampu meningkatkan laba bersih di tengah pandemi Covid-19 sepanjang tahun lalu. Keduanya ialah PBRX dan MYTX. Khusus MYTX, perusahaan ini berhasil membalik rugi bersih pada periode yang sama 2019 menjadi untung pada triwulan III 2020.
Apabila menilik arus kas operasi perusahaan, tercatat ada tiga emiten yang memiliki arus kas negatif. Ketiga emiten yang dimaksud, yakni SRIL, PBRX dan MYTX.
NEXT: Kondisi SRIL hingga MYMX
Mari kita bahas sedikit di bawah ini, mulai dari Sritex. Emiten yang dibangun oleh mendiang HM Lukminto ini sedang mengalami tekanan keuangan yang besar. Pasalnya tahun ini hingga tahun depan perusahaan memiliki utang yang akan jatuh tempo dalam jumlah yang cukup besar.
Pendapatan Sritex sepanjang 2020 sebenarnya naik 8,25% menjadi US$ 1,28 miliar atau setara dengan Rp 17,95 triliun (asumsi kurs US$ 1 = Rp 14.000) secara tahunan (year on year/YoY).
Namun, laba bersih SRIL turun sebesar 2,65% menjadi sebesar Rp US$ 85,32 juta (Rp 1,19 triliun) dari sebelumnya US$ 87,65 juta di akhir 2019.
Di pos liabilitas naik menjadi US$ 1,17 miliar dari tahun sebelumnya US$ 966,58 juta. Liabilitas jangka pendek US$ 398,34 juta dan liabilitas jangka panjang US$ 781,22 juta.
Sepanjang tahun lalu, arus kas operasi minus US$ 59,24 juta atau Rp 829,37 miliar, dari arus kas positif US$ 1,3 juta pada tahun sebelumnya.
Di tengah arus kas negatif ini, Sritex dihantam masalah bertubi-tubi. Selain gugatan PKPU dari mitra kerja, Sritex juga mengalami gagal pembayaran bunga pinjaman. Bahkan, perusahaan pembuat seragam militer ini juga melewati masa perpanjangan tenggaran pembayaran bunga, yang jatuh pada 30 April lalu.
Saat ini, Sritex juga terus bernegosiasi dengan pemberi pinjaman sindikasi, dan telah mengajukan moratorium utang di pengadilan Singapura.
Sritex sebenarnya sudah diperingatkan oleh lembaga pemeringkat seperti Moody's dan Fitch mengenai masalah ini.
Fitch, misalnya mengganjar Sritex dengan penurunan rating dari C menjadi RD, setingkat di atas gagal bayar alias default.
Ini terjadi seiring Sritex tidak memenuhi pembayaran bunga jatuh tempo sekitar US$ 850.000 atau setara dengan Rp 11,9 miliar (kurs US$ 1 = Rp 14.000) atas pinjaman sindikasi senilai US$ 350 juta atau Rp 4,9 triliun, yang jatuh tempo 23 April 2021.
Sementara itu, bank tidak melakukan rollover (memperpanjang jatuh tempo) pinjaman revolver yang jatuh tempo pada hari yang sama.
Fitch mencatat, ketidakmampuan untuk membayar pinjaman revolver akan memperburuk tekanan likuiditas Sritex, karena perusahaan mendanai operasi hariannya dengan uang kas.
Fitch memperkirakan arus kas operasi Sritex akan tetap negatif pada 2021 seiring adanya tantangan manajemen modal kerja, yang juga mengakibatkan terkurasnya saldo kas perusahaan.
Pan Brothers (PBRX)
Sepanjang kuartal III tahun lalu PBRX berhasil mencatatkan kenaikan pendapatan 6,49% secara tahunan (year-on-year/YoY) dari periode yang sama tahun 2019.
Di kuartal III 2020, pendapatan PBRX senilai US$ 523,78 juta atau setara dengan Rp 7,59 triliun (kurs rata-rata 14.500) naik dari periode yang sama tahun 2019 di angka US$ 491,86 juta atau setara Rp 7,13 triliun.
Pada kuartal tersebut, laba bersih PBRX juga naik 32,52% menjadi US$ 20,58 juta atau setara Rp 298,41 miliar naik dari periode sama tahun 2019 sebesar US$ 15,53 juta atau setara Rp 225,18 miliar.
Hingga akhir September 2020 aset perusahaan US$ 646,27 juta atau setara Rp 9,37 triliun dengan aset lancar US$ 526,36 (Rp 7,63 triliun) dengan kas atau setara kas US$ 51,56 juta atau setara dengan Rp 74,76 miliar.
Namun, di tengah naiknya laba bersih perusahaan, arus kas operasi PBRX dalam 2 tahun terakhir terus negatif. Per akhir 2019, arus kas PBRX minus US$ 7,66 juta atau Rp 107,24 miliar, sementara pada tahun lalu arus kas perusahaan minus US$ 25,90 juta atau Rp 362,61 miliar.
MYTX
MYTX memang berhasil membalik rugi bersih menjadi untung per kuartal III tahun lalu. Berdasarkan laporan keuangan per kuartal III 2020, MYTX membukukan laba bersih Rp 7,33 miliar, berbanding terbalik dari rugi bersih Rp 196,51 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Kenaikan laba bersih ini diiringi dengan menurunnya pendapatan usaha sebesar 27, 49% dari Rp 1,35 triliun pada triwulan III 2019 menjadi Rp 982,41 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Namun, arus kas operasi perusahaan tercatat negatif Rp 29,69 miliar per akhir September 2020. Angka tersebut mengecil dari periode yang sama tahun sebelumnya yang negatif Rp 177,41 miliar.
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menjadi salah satu sektor yang dihantam pandemi. Mereka mengalami kesulitan terkait arus kas dan ketersediaan bahan baku. Sebagai imbasnya, menurut data Kementerian Perindustrian, sebanyak 1,5 juta karyawan di sektor ini harus dirumahkan.
Memang, kinerja keuangan emiten-emiten di atas mengindikasikan tekanan terhadap industri tekstil masih terus terjadi, apalagi di tengah pagebluk Covid-19.
Kendati begitu, sejumlah emiten, seperti Sritex dan Pan Brothers, masih bisa membukukan laba bersih di tengah tekanan ekonomi yang ada sepanjang tahun lalu.
TIM RISET CNBC INDONESIA