IHSG Merah, Rupiah Lemah, Halo Indonesia Salah Apa Sih?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 April 2021 16:13
rupiah, bi
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Willy Kurniawan)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia masih terjebak dalam tren koreksi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah lagi-lagi finis di jalur merah.

Pada Selasa (13/4/2021), IHSG ditutup di posisi 5.927,44. Melemah 0,36% dibandingkan posisi penutupan sehari sebelumnya.

Setelah 2020 yang berantakan gara-gara pandemi virus corona, ternyata 2021 belum membawa kabar baik bagi pasar saham Indonesia. Sejak awal tahun ini, IHSG terkoreksi 2,91% secara point-to-point.

Rupiah pun bernasib serupa. Hari ini, rupiah mengakhiri pasar spot di posisi Rp 14.600/US$, melemah 0,07% dan berada di posisi terlemah sejak November tahun lalu.

Sepanjang 2021, mata uang Ibu Pertiwi sudah melemah lebih dari hampir 4%. Rupiah jadi salah satu mata uang terlemah di Asia.

kursSumber: Refinitiv

Apa kabar pasar obligasi pemerintah alias Surat Berharga Negara (SBN)? Sami mawon...

Sepanjang 2021, imbal hasil (yield) SBN seri acuan tenor 10 tahun naik basis poin 57,4 (bps). Kenaikan yield menandakan harga obligasi sedang turun.

Investor asing pun cenderung melepas SBN. Per 9 April 2021, nilai total kepemilikan asing di SBN adalah Rp 957,35 triliun. Berkurang Rp 4,07 triliun dari posisi awal tahun.

Halaman Selanjutnya --> Indonesia Tidak Baik-baik Saja

Ada apa dengan Indonesia? Mengapa investor di pasar keuangan cenderung menjauh?

Well, sepertinya pelaku pasar hanya menterjemahkan apa yang dilihat sejumlah lembaga. Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 2021 dari 4,8% menjadi 4,3%.

Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari 50% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), masih lemah. Ini tercermin dari laju inflasi yang selow.

Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) pekan II, Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi April 2021 sebesar 0,08% secara bulanan (month-to-month/mtm) dan 1,37% secara tahunan (year-on-year/yoy). Jika ini terwujud, maka artinya tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya.

"Inflasi ini kita perhatikan karena menyangkut aspek daya beli masyarakat," kata Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, belum lama ini.

Satu data lagi yang memberi konfirmasi bahwa daya beli masih belum pulih dari hantaman pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) adalah penjualan ritel. BI melaporkan penjualan ritel yang dicerminkan oleh Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Februari 2020 sebesar 117,1. Turun 2,7% mtm dan anjlok 18,1% yoy.

Secara bulanan, pencapaian Februari 2021 lebih baik ketimbang bulan sebelumnya yang terkontraksi 4,3% mtm. Namun secara tahunan, kontraksinya lebih dalam karena Januari 2021 pertumbuhannya adalah -16,4% yoy.

Pada Maret 2021, BI memperkirakan penjualan ritel sudah tumbuh positif 2,9% mtm. Jika terwujud, maka akan menjadi pertumbuhan positif pertama sejak Desember 2020.

Namun secara yoy, penjualan ritel masih terkontraksi. Pada Maret 2021, penjualan ritel diperkirakan tumbuh -17,1% yoy.

Halaman Selanjutnya --> Ekonomi Lesu, Pajak Loyo, Bisakah Pemerintah Bayar Utang?

Ingat konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari separuh 'kue' perekonomian nasional. Kalau kontributor terbesarnya masih bermasalah, maka perekonomian Indonesia secara keseluruhan akan ikut merasakan.

Nah, pertumbuhan ekonomi yang masih relatif lemah ini akan membuat kemampuan Indonesia untuk membayar utang menjadi tergerus, terutama di sisi pemerintah. Sebab, ekonomi yang masih lesu tentu akan membuat penerimaan pajak ikut-ikutan lesu. Ada kekhawatiran pemerintah akan kerepotan membayar utang yang membengkak karena kebutuhan stimulus fiskal untuk mengatasi dampak pandemi.

"Fiskal yang berkelanjutan (sustainable) akan ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi, tingkat suku bunga yang moderat, serta bagaimana mengelola eksposur mata uang," sebut riset Citi

Mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, Citi menilai permintaan terhadap aset-aset di pasar keuangan Indonesia sepertinya masih akan lemah. Di pasar Surat Berharga negara (SBN), khususnya, penawaran yang masuk kemungkinan tetap rendah untuk beberapa waktu ke depan.

"Kami memperkirakan minat yang rendah dalam lelang masih akan bertahan sehingga kami menempatkan obligasi pemerintah di posisi underweight. Kami memperkirakan yield SBN tenor 10 tahun bisa naik melebihi 7% dalam beberapa pekan ke depan," lanjut riset Citi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular