Cadangan Devisa RI Kalah Sama Thailand & Singapura, Bahaya?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 April 2021 07:06
ilustrasi uang
Ilustrasi Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) mengumumkan cadangan devisa per akhir Maret 2021 adalah US$ 137,09 miliar. Turun sekitar US$ 1,7 miliar dibandingkan bulan sebelumnya.

"Penurunan posisi cadangan devisa pada Maret 2021 terutama dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah sesuai pola jatuh tempo pembayarannya. Ke depan, Bank Indonesia memandang cadangan devisa tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam mendorong pemulihan ekonomi," sebut keterangan resmi BI yang dirilis kemarin.

Penurunan pada Maret 2021 memutus rantai penambahan cadangan devisa yang sebelumnya terjadi tiga bulan berturut-turut. Kenaikan selama tiga bulan itu membuat cadangan devisa Indonesia mencapai US$ 138,79 miliar pada Februari 2020, tertinggi sepanjang sejarah.

Selain akibat pembayaran utang pemerintah, sepertinya koreksi cadangan devisa disebabkan kebutuhan stabilisasi nilai tukar rupiah. Maklum, bulan lalu rupiah tertekan lumayan hebat sampai melemah nyaris 2% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).

Untuk stabilisasi nilai tukar, BI melakukan intervensi di tiga pasar yaitu Domestic Non-Deliverable Forwards (DNDF), spot, dan obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN). Dari tiga 'lapak' ini, posisi BI lebih mudah dilihat di pasar SBN.

Per akhir Maret 2021, nilai kepemilikan SBN yang digunakan oleh BI dalam rangka operasi moneter adalah Rp 516,8 triliun. Naik Rp 39,28 triliun (8,22%) dari akhir Februari 2021.

Dalam menjaga nilai tukar rupiah, BI melakukan apa yang disebut 'sedot dan semprot'. Jika pasokan valas di dalam negeri dirasa terlalu sedikit sehingga rupiah melemah, BI 'menyemprot' pasar dengan likuiditas, salah satunya dengan memborong SBN. Inilah yang rasanya dilakukan MH Thamrin bulan lalu.

Halaman Selanjutnya --> Cadangan Devisa Hanya 'Pertahanan' Lapis Pertama

Dibandingkan negara-negara ASEAN-5, cadangan devisa Indonesia cukup kuat. Dengan nilai US$ 137,09 miliar, Indonesia berada di peringkat ketiga, hanya kalah dari Singapura dan Thailand.

Namun sejatinya Indonesia dan negara-negara ASEAN tidak perlu terlampau mencemaskan cadangan devisa. Sebab, cadangan devisa hanyalah 'pertahanan' lapis pertama untuk membendung gejolak di perekonomian.

Negara-negara ASEAN+3 sudah memiliki 'pertahanan' tambahan yaitu Chiang Mai Initiatives Multilateralization (CMIM). Ini adalah semacam cadangan devisa bersama yang bisa diakses oleh negara anggota yang membutuhkan.

CMIM dibentuk pada Mei 2000 di Thailand saat Pertemuan Tahunan Bank Pembangunan Asia (ADB). Belajar dari Krisis Keuangan Asia 1997-1998, di mana Indonesia menjadi salah satu korbannya, negara-negara ASEAN menyadari perlunya upaya regionalisasi sehingga tidak terlalu tergantung kepada 'sedekah' dari Dana Moneter Internasional (IMF).

Pada Maret 2010, saat Pertemuan Tahunan ADB di Bali, disepakati dan diluncurkan cadangan devisa bersama dalam kerangka CMIM sebesar US$ 120 miliar. Pada 2012, nilainya bertambah dua kali lipat.

Jadi kalau (amit-amit) cadangan devisa Indonesia sudah menipis dan ada kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah, maka tidak perlu khawatir. Masih ada sumber lain yaitu CMIM.

Selain itu, Indonesia juga sudah menyepakati perjanjian bilateral dengan bank sentral sejumlah negara. Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan pihaknya sejauh ini sudah menjalin kerja sama dengan bank sentral sejumlah negara yaitu China, Jepang, Malaysia, dan Thailand, untuk penggunaan mata uang lokal masing-masing dalam transaksi perdagangan, atau Local Currency Bilateral Swap Agreement (LCBSA).

"Kami memperbanyak jumlah bank yang ditunjuk untuk bisa bertransaksi dengan mata uang lokal tersebut. Kami dorong agar bank-bank yang kami tunjuk diberikan suatu fleksibilitas dan fasilitas, sehingga mereka bisa bertransaksi dengan local currency. Jadi ketergantungan terhadap dolar AS bisa dikurangi," jelas Perry, awal tahun ini.

Selain LCBSA, BI juga mendapatkan fasilitas langsung dari bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) berupa Repurchase Agreement (Repo) Line. The Fed berkomitmen untuk menyiapkan pasokan valas senilai US$ 60 miliar jika Indonesia membutuhkan.

"Kerja sama dengan The Fed ini hanya dengan sejumlah negara di emerging markets, termasuk Indonesia. Ini bagian dari confidence dari AS kepada Indonesia karena punya prospek bagus baik dari kebijakan dari fiskal dan moneter," tegas Perry.

Jadi, Indonesia juga sudah punya alternatif lain andai cadangan devisa semakin menipis. Sudah ada LCBSA dan Repo Line dari The Fed.

Rupiah nyaman, hati pun tenang...

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular