Analisis

Punya Saham Batu Bara? Cek Dulu Head to Head PTBA-INDY dkk

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
08 April 2021 08:00
PT Bukit Asam Tbk (PTBA) kembali mewujudkan komitmennya dalam upaya hilirisasi dan peningkatan nilai tambah pertambangan batu bara. Salah satunya adalah dengan memproduksi karbon aktif dari bahan baku batu bara.
Foto: PT Bukit Asam Tbk (PTBA) kembali mewujudkan komitmennya dalam upaya hilirisasi dan peningkatan nilai tambah pertambangan batu bara. Salah satunya adalah dengan memproduksi karbon aktif dari bahan baku batu bara.

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat baru ada enam emiten batu bara 'raksasa' yang telah mengeluarkan laporan keuangan sepanjang tahun lalu dibandingkan dengan tahun 2019. Dari keenam emiten tersebut hanya dua yang membukukan kinerja ciamik, sementara empat sisanya mendapatkan rapor merah.

Tertekannya kinerja keuangan emiten-emiten batu bara terjadi di tengah pagebluk Covid-19 yang melanda dunia sejak awal tahun lalu. Pandemi global mempengaruhi permintaan batu bara dan membuat harga batu bara menyusut.

Sejurus dengan itu, kinerja mayoritas saham emiten-emiten ini juga kurang menggembirakan sejak awal tahun.

Pasalnya, dari enam saham batu bara hanya satu saham yang berhasil melaju kencang secara tahun berjalan alias year to date (YTD). Sisanya, malah ambles dalam, bahkan ada yang anjlok sampai 19%.

Lantas, bagaimana sih kinerja keuangan dan saham keenam emiten batu bara tersebut?

Emiten mana yang mencatatkan kinerja ciamik dan kinerja terburuk?

Tim Riset CNBC Indonesia menyajikan dua tabel secara berturut-turut, yang terdiri atas tabel mengenai kinerja keuangan emiten batu bara pada 2020 dan kinerja saham secara YTD hingga perdagangan Selasa (6/4/2021).

Berdasarkan kedua tabel di atas, emiten batu bara milik pengusaha Kiki Barki, Harum Energy (HRUM), menjadi emiten dengan kinerja keuangan dan saham paling moncer di antara yang lainnya.

Emiten yang melakukan kegiatan penambangan di Kalimantan Timur mencetak laba bersih sebesar US$ 59 juta atau setara dengan Rp 826 miliar (kurs 14.000/US$) sepanjang tahun lalu.

Angka tersebut melesat hingga 218,92% jika dibandingkan dengan laba bersih 2019 yang sebesar US$ 18,5 juta atau setara Rp 259 miliar

Kenaikan laba bersih terjadi di tengah turunnya pendapatan perusahaan 2020, yang terkoreksi dari US$ 262,59 juta atau setara Rp 3,67 triliun pada 2019 menjadi US$ 157,82 juta atau setara Rp 2,2 triliun pada 2020 lalu. Perolehan tersebut menyusut 39,9% secara tahunan (Year-on-year/YoY).

Lebih rinci, penurunan pendapatan terbesar terjadi pada segmen penjualan batu bara ekspor, yang menyusut 41% menjadi US$ 146,58 juta sepanjang tahun lalu, dari tahun sebelumnya sebesar US$ 248,61 juta. Asal tahu saja, pada 2020, porsi penjualan batu bara ekspor mencakup 92,88% dari total penjualan HRUM.

Sepanjang tahun 2020, beban pokok penjualan perusahaan juga mengalami penurunan. Beban pokok penjualan turun menjadi US$ 114,58 juta atau setara Rp 1,6 triliun dari sebelumnya US$ 195,06 juta atau setara Rp 2,73 triliun.

Kinerja keuangan yang 'oke punya' dibarengi dengan kinerja saham yang 'jos' pula. Harga saham emiten uang masuk bisnis nikel ini terus menghijau, baik secara harian, sepekan sampai YTD. Di antara lima saham lainnya, HRUM menjadi satu-satunya saham yang melaju di zona hijau sejak awal tahun.

Selasa (6/4), saham HRUM ditutup melesat 8,08% ke posisi Rp 5.350/saham. Adapun dalam sepekan saham ini tumbuh 1,90%, sementara sebulan naik 1,42%. Bahkan, secara YTD saham yang melantai di bursa pada 2010 silam ini sudah melonjak 79,53%.

NEXT: Dua Emiten Paling Jeblok

Berbeda dengan HRUM dan Bayan Resources (BYAN) yang membukukan kenaikan laba bersih yang signifikan, Indika Energy (INDY) dan Indo Tambangraya Megah (ITMG) malah mencatatkan kinerja paling jeblok di antara emiten batu bara lainnya sepanjang tahun lalu.

INDY kembali membukukan kerugian sepanjang tahun lalu. Bahkan, kerugian perusahaan membengkak menjadi US$ 117,54 juta atau setara dengan Rp 1,64 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$), dari posisi US$ 18,16 juta di sepanjang 2019.

Pendapatan perusahaan di akhir Desember 2020 tercatat sebesar US$ 2,07 miliar (Rp 29,08 triliun). Perolehan ini turun 25,35% secara tahunan dari tahun sebelumnya yang senilai US$ 2,78 miliar.

Seturut dengan itu, saham emiten yang sudah listing di bursa sejak 2008 ini juga tercatat ambles 16,18% secara YTD. Adapun kemarin, INDY ditutup melemah 1,02% ke Rp 1.450/saham.

Sementara, laba bersih ITMG melorot hingga 70% sepanjang tahun lalu di tengah pandemi Covid-19.

Laba bersih ITMGtercatat US$ 39,47 juta atau setara dengan Rp 554 miliar (kurs Rp 14.000/US$). Raihan ini ambles dari tahun sebelumnya, yakni sebesar US$ 129,47 juta atau setara dengan Rp 1,82 triliun.

Pendapatan ITMGjuga ambruk 100% menjadi US$1,185 miliar atau setara dengan Rp 16,59 triliun, dari sebelumnya US$ 1,715 miliar atau sekitar Rp 24 triliun. Pendapatan terbesar ITMG berasal dari penjualan batu bara pihak ketiga yang mencapai US$ 1,08 miliar turun tahun sebelumnya US$ 1,52 miliar.

Kemudian, pendapatan dari bahan bakar juga turun menjadi US$ 49,14 juta dari US$ 79,05 juta,sertapendapatan jasamelorot jadi US$ 2,72 juta dari US$ 3,75 juta.

Manajemen ITMG mengakui, wabah Covid-19 sangat memengaruhi permintaan global atas barang dan jasa serta komoditas mineral dan supply chain alias rantai pasokan.

Sepanjang tahun 2020 Harga Batu Bara Acuan (HBA) mengalami pelemahan sampai level terendah akibat pandemi Covid-19. Rata-rata HBA pada 2020 hanya sebesar US$ 58,17 per ton dan menjadi terendah sejak 2015.

Adapun HBA April 2021 naik 2,61%, dari Maret 2021, menjadi US$ 86,68 per ton. Harga ini naik US$ 2,21 per ton dari posisi Maret 2021 sebesar US$ 84,47 per ton.

Dilansir CNBC Indonesia pada Selasa (6/3), Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia memperkirakan produksi batu bara di Kuartal I 2021 akan lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu.

Curah hujan yang cukup tinggi dia sebut menjadi penyebab turunnya produksi di Kuartal I tahun ini.

Kendati pada Kuartal I diproyeksikan lebih rendah, tetapi sampai akhir tahun 2021 diproyeksikan produksi batu bara bisa mencapai lebih dari yang ditargetkan pemerintah. Seperti diketahui, pada tahun ini pemerintah menargetkan produksi batu bara 550 juta ton.

Hendra bilang, produksi yang diproyeksikan bakal melebihi target disebabkan karena beberapa hal. Pertama, membaiknya perekonomian global di 2021. Kedua, proyeksi rerata harga komoditas di 2021 akan lebih baik dari 2020.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Batu Bara Cetak Rekor Lagi, Saham Produsennya On Fire!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular