Analisis

Kuartal I-2021: Minyak Jawaranya, Emas & Perak Lagi Apes!

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
01 April 2021 14:30
FILE PHOTO: A pump jack operates in the Permian Basin oil production area near Wink, Texas U.S. August 22, 2018. Picture taken August 22, 2018. REUTERS/Nick Oxford/File Photo
Foto: Ilustrasi produksi minyak (REUTERS/Nick Oxford)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2021 diramal sebagai tahunnya komoditas. Analis dan ekonom menamainya dengan sebutan commodity supercycle yang biasanya ditandai dengan adanya kenaikan harga.

Pandemi Covid-19 memang belum selesai. Namun kebijakan makro yang akomodatif dengan suku bunga rendah dan fiskal ekspansif diharapkan mampu mendongkrak perekonomian dan permintaan terhadap berbagai komoditas.

Bahkan sebelum pandemi Covid-19 merebak berbagai harga komoditas cenderung mengalami penurunan. Saat harga turun biasanya petani, penambang hingga pengebor akan cenderung menurunkan tingkat produksinya. 

Ketika ekonomi mulai bergeliat dan permintaan terkerek naik, maka harga pun juga ikut terdongkrak. Apalagi peningkatan produksi yang mengimbangi permintaan tidak bisa langsung tercapai begitu saja. Faktor inilah yang pada akhirnya menjadi katalis positif untuk harga.

Jadi wajar saja jika banyak pihak mulai dari investor hingga spekulan bertaruh bahwa harga komoditas akan naik. Banyak pihak yang memasang posisi beli (long) berbagai kontrak komoditas di bursa berjangka. 

Ekspektasi akan adanya inflasi yang tinggi di tengah banjir likuiditas global juga membuat banyak orang memilih ambil posisi untuk membeli berbagai kontrak komoditas untuk melakukan lindung nilai (hedging).

Sentimen dan adanya inflow ini yang membuat berbagai harga komoditas beterbangan. Namun tidak semua komoditas mengalami kenaikan yang pesat. 

Kuartal pertama tahun ini resmi berakhir Rabu kemarin (31/3/2021). Beberapa komoditas terpantau mengalami kenaikan signifikan. Ada yang cenderung flat tetapi ada juga yang malah melemah. 

Minyak mentah menjadi salah satu komoditas dengan kenaikan harga yang ciamik. Pada kuartal pertama harga minyak sudah naik lebih dari 20%.

Kenaikan harga minyak diakibatkan oleh sentimen vaksinasi Covid-19 secara masal, stimulus jumbo bernilai triliunan dolar di AS hingga yang terakhir adalah pemotongan produksi oleh para kartel yang tergabung dalam OPEC+. 

Kemudian untuk komoditas bahan bakar fosil lain seperti batu bara dan gas juga ikut terkerek naik. Sepanjang kuartal pertama, harga batu bara sudah naik hampir 11%. Momentumnya kebetulan bertepatan dengan ketatnya pasokan batu bara China di saat musim dingin dan perayaan Imlek. 

Selain itu banjir di berbagai kawasan Australia sebagai salah satu produsen batu bara global yang tercatat sebagai yang paling parah dalam 50 tahun terakhir juga turut berdampak pada kenaikan harga si batu legam. 

Lolosnya China dari resesi yang terus berlanjut membuat ekonominya bergeliat lagi. Hal ini jelas menjadi katalis positif untuk berbagai jenis komoditas seperti batu bara, tembaga dan logam dasar lain. 

Apalagi banyak negara yang memilih melakukan kebijakan fiskal ekspansif melalui pendekatan pembangunan infrastruktur.

Harga minyak sawit mentah juga mengalami kenaikan walau tipis. Harga minyak nabati jenis ini padahal sempat menguat hampir 15%. Namun setelah itu harga jatuh karena dianggap sudah di pucuk dan bergerak seirama dengan harga minyak mentah global. 

Di antara komoditas tambang yang mengalami penurunan setidaknya ada tiga yaitu nikel, emas dan perak. Nikel merupakan salah jenis logam yang bisa digunakan untuk pembuatan stainless steel dan baterai mobil listrik.

Harga nikel sempat menjulang. Namun setelah mengalami reli kencang, akhirnya harga nikel pun kejeblos juga.

Meskipun turun 3% di kuartal pertama, harga nikel diperkirakan bakal naik dan tembus US$ 20 ribu/ton seiring dengan makin kencangnya penjualan mobil listrik serta tren penggunaan baterai dari nikel yang terus berkembang. 

Berbeda dengan komoditas lain yang mengalami kenaikan, harga emas dan perak justru terkoreksi masing-masing 10% dan 8%. Sentimen positif perekonomian membuat risk appetite membaik. 

Hal ini berdampak pada perubahan perilaku investor yang tadinya cari aman kini menjadi agresif mencari risiko guna mendapatkan cuan yang lebih tebal. Emas merupakan aset yang dipilih saat ekonomi sedang lesu. Kalau bergeliat emas cenderung ditinggal.

Emas dan perak juga merupakan aset yang tak memberikan imbal hasil. Maka dari itu harga keduanya cenderung tertekan dengan adanya fenomena kenaikan imbal hasil obligasi AS karena berarti biaya peluangnya menjadi lebih tinggi. 

Sampai di sini bisa terlihat bahwa kenaikan harga komoditas lebih terjadi pada komoditas yang cenderung berkorelasi positif dengan prospek perekonomian. Namun kenaikan harga komoditas yang terlalu tinggi sejatinya rawan terkoreksi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Inilah Juara Komoditas Kuartal III: Batu Bara!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular