Batu Bara Turun 30% Sehari, Bagaimana Nasibnya pada November?

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
02 November 2021 13:35
Tambang batubara Maules Creek Whitehaven Coal di New South Wales, Australia (Whitehaven Coal Ltd/Handout via REUTERS)
Foto: Tambang batubara Maules Creek Whitehaven Coal di New South Wales, Australia (Whitehaven Coal Ltd/Handout via REUTERS)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga komoditas dunia naik sepanjang tahun ini dan mencapai puncaknya pada Oktober. Beberapa komoditas sukses mengukir rekor harga tertinggi sepanjang masa, tapi setelah itu satu per satu mulai berguguran.

Batu bara sepanjang 2021 mencetak lonjakan harga sebesar 171,67% dan menyentuh harga tertinggi sepanjang masa pada 5 Oktober. Namun setelah itu, harga batu bara dunia jatuh hingga 46% hingga hari ini (2/11/2021).

Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) senasib dengan batu bara yang tertekan setelah mencapai rekor tertinggi. Sawit mencapai harga tertinggi pada 20 Oktober, selanjutnya turun 2,17% hingga hari ini.

Harga komoditas yang meroket tahun ini dipicu oleh kendala pasokan. Pandemi Covid-19 (Coronavirus Disease-2019) yang menyerang tahun 2020 membuat operasi tambang lumpuh. Walaupun saat ini mulai pulih, operasi tambang masih belum mampu mencapai titik maksimal.

Di sisi lain, permintaan datang dengan cepat karena roda ekonomi di sejumlah negara mulai bergerak. Kebutuhan komoditas sebagai bahan baku industri maupun bahan bakar melonjak di tengah pasokan yang masih minim. Hal ini yang menyebabkan "boom" komoditas tahun 2021.

Harga komoditas yang tinggi memiliki dua sisi. Bagi para produsen komoditas seperti Indonesia, kenaikan harga merupakan berkah. Namun, bagi negara konsumen, situasi ini merupakan "bencana".

Biaya pembelian yang tinggi membuat komoditas tidak bisa diserap oleh industri, sehingga aktivitas manufaktur menjadi lesu bahkan terjadi krisis energi seperti yang terjadi di China.

Pemerintah China mengambil langkah intervensi harga dengan menambah pasokan batu bara dalam negeri untuk mendinginkan harga batu bara yang terus membara. Hal ini dilakukan agar si emas hitam bisa diserap oleh pembangkit listrik dan menjauhkan China dari krisis listrik seperti yang terjadi saat ini.

Hasilnya, harga batu bara termal China saat ini sudah turun 52% sejak harga tertinggi pada 19 Oktober 2021. Begitu juga dengan harga batu bara dunia yang berada di level US$ 145/ton, jatuh 46% dari harga tertinggi US$ 269,5/ton.

Dengan melihat tren koreksi pada Oktober, apakah berarti reli batu bara telah berakhir dan nasib harga batu bara bulan November masih bisa tertekan lagi?

Pada November, harga batu bara masih berpeluang tertekan karena intervensi pemerintah China selaku konsumen dan produsen batu bara terbesar di dunia. Kebijakan intervensi ini akan mempengaruhi pergerakan harga batu bara.

"Kami percaya intervensi pemerintah untuk meredakan krisis energi yang parah di negara itu bekerja untuk mengendalikan situasi, dengan sejumlah provinsi mengurangi penjatahan listrik dan mengangkat batas konsumsi listrik," kata Fitch Solutions Country Risk and Industry Research (FSCRIR), seperti dikutip thebusinessline.com, Senin (1/11/2021).

Faktor yang bisa membuat harga batu bara kembali bullish adalah musim dingin. China mengalami musim dingin lebih cepat dari biasanya. Beijing mulai membeku di pertengahan Oktober, lebih cepat 20 hari dari rata-rata musim dingin yang dimulai 8 November. Begitu juga dengan daerah-daerah lainnya yang memulai musim dingin lebih cepat dari biasanya.

Fenomena tersebut memicu lonjakan permintaan batu bara untuk dibakar di pembangkit listrik karena kenaikan permintaan listrik rumah tangga dari mesin penghangat. Dengan demikian, masih ada kans untuk batu bara kembali reli jika permintaan ini tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah China.

"Permintaan listrik untuk sisa tahun ini merupakan parameter kunci untuk melihat bagaimana hal itu akan merespons harga yang tinggi. Pemerintah sedang melakukan upaya keras untuk meningkatkan pasokan batu bara tetapi sejauh ini tidak dapat memenuhi permintaan," kata Whitworth dari Wood Mackenzie.

Perkembangan ekonomi China juga bisa menjadi faktor tambahan bagi harga logam karena China merupakan konsumen terbesar logam dunia. Aktivitas manufaktur dan tingkat inflasi pabrik China akan jadi kunci pergerakan harga logam.

Biro Statistik Nasional (NBS) China kemarin merilis Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) Manufaktur China pada Oktober sebesar 49,2 atau turun dari 49,6 pada bulan September. Angka ini di bawah konsensus analis sebesar 49,7.

Kondisi ini diperburuk inflasi dari sisi produsen (Indeks Harga Produsen) yang pada Agustus naik ke level tertinggi dalam 13 tahun membuat komoditas logam tidak bisa diserap optimal oleh industri, sehingga permintaan turun.

Sementara itu, harga sawit masih memiliki potensi menguat pada November setelah produksi di Malaysia turun ke level terendah dalam lima tahun terakhir karena keterbatasan pasokan pekerja. Reuters mengabarkan kondisi tersebut bakal terus berlanjut hingga Maret nanti.

Harga CPO terus menguat di tengah masifnya program biodisel di Indonesia maupun Malaysia. "Berlanjutnya, program biodisel nasional B20 untuk segmen transportasi, seiring dengan kenaikan permintaan CPO dari India dan China, diharapkan mendukung produksi CPO lebih lanjut," demikian tertulis dalam laporan prospek ekonomi Malaysia 2022.

Faktor musim penghujan di Malaysia dan Indonesia juga jadi faktor penghambat produksi sawit, sehingga bisa semakin menekan pasokan sawit. Indonesia dan Malaysia adalah dua negara produsen dan pengekspor minyak sawit terbesar di dunia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular