Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih saja melemah. Bahkan mata uang Tanah Air sudah begitu dekat dengan level Rp 14.500/US$.
Pada Selasa (30/1/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.470 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,21% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Tren depresiasi rupiah belum terputus. Dalam sebulan terakhir, rupiah melemah 1,54% point-to-point di hadapan dolar AS. Sementara sejak akhir 2020 (year-to-date), pelemahan rupiah mencapai 3,06%.
Ke depan, depresiasi rupiah sepertinya masih akan menjadi tema dinamika perekonomian nasional. Soalnya, kondisi eksternal sangat mungkin membuat dolar AS begitu perkasa hingga rupiah terus tertekan.
Keperkasaan dolar AS tidak lepas dari pemulihan ekonomi Negeri Paman Sam yang semakin hari semakin terkonfirmasi.
Sejumlah data ekonomi terbaru jadi 'bensin' untuk optimisme itu. Bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) wilayah Dallas merilis data indeks aktivitas manufaktur yang pada Maret 2021 adalah 28,9. Melonjak 11,7 poin dari bulan sebelumnya sekaligus menyentuh titik tertinggi sejak Agustus 2018.
Kemudian Universitas Michigan melaporkan indeks sentimen konsumen pada Maret 2021 berada di 84,9. Ini adalah yang tertinggi sejak Mei 2013.
Dunia usaha dan konsumen AS sudah seiya sekata, sejalan seiring, kompak manis. Keduanya sama-sama percaya diri mengarungi 'samudera' ekonomi dan siap untuk berekspnsi. Cepatnya laju vaksinasi anti-virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) dan stimulus fiskal yang bakal digelontorkan membuat pengusaha dan rumah tangga di Negeri Adidaya yakin bahwa prospek ekonomi akan cerah.
Halaman Selanjutnya --> Vaksinasi Covid-19 di AS Luar Biasa
Soal vaksinasi anti-virus corona, AS adalah negara paling agresif di dunia. Per 28 Maret 2021, vaksin yang sudah disuntikkan ke lengan rakyat Negeri Adikuasa mencapai 143,46 juta dosis.
 Sumber: Our World in Data |
Laju vaksinasi di AS juga luar biasa. Per 28 Maret 2021, rata-rata tujuh harian vaksinasi di sana mencapai 2,71 juta dosis per hari.
Kini sudah 15,4% populasi AS yang sudah divaksin. AS menempati peringkat ketiga, hanya kalah dari Israel dan Chile. Padahal populasi AS mencapai 328 juta jiwa sehingga ini adalah pencapaian yang impresif.
 Sumber: Our World in Data |
Presiden AS Joseph 'Joe' Biden memang punya target tinggi dalam hal vaksinasi. Saat jumpa pers Gedung Putih pekan lalu, pengganti Donald Trump itu yakin bisa menyuntikkan 200 juta dosis vaksin anti-virus corona dalam 100 hari pertama pemerintahannya.
"Saya percaya kami bisa melakukannya," tegas Biden, sebagaimana diwartakan Reuters.
Pemulihan ekonomi AS yang semakin nyata menandakan bahwa permintaan mulai bergeliat. Peningkatan permintaan akan memunculkan tekanan inflasi, sehingga membuka ruang bagi Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) untuk mulai mengetatkan kebijakan moneter, salah satunya dengan menaikkan suku bunga acuan.
Berdasarkan dotplot terbaru, semakin banyak anggota Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) yang memperkirakan Federal Funds Rate akan naik tahun depan. Kini ada empat orang yang memperkirakan seperti itu, sebelumnya hanya satu.
Saat suku bunga acuan benar-benar naik, maka berinvestasi di aset berbasis dolar AS (terutama di instrumen berpendapatan tetap) akan ikut terangkat. Ini yang membikin permintaan dolar AS melesat.
 Sumber: FOMC |
Halaman Selanjutnya --> Eropa Lockdown, AS Seng Ada Lawan!
Kebangkitan ekonomi AS menjadi lebih terasa karena para 'pesaingnya' sedang dirundung duka. Eropa, misalnya, tengah disibukkan oleh serangan gelombang ketiga (third wave outbreak) virus corona.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, jumlah pasien positif corona di Benua Biru per 29 Maret 2021 adalah 44.368.048 orang. Bertambah 176.469 orang dibandingkan sehari sebelumnya.
Dalam sepekan terakhir, rata-rata pasien baru bertambah 235.146 orang per hari. Lebih tinggi ketimbang rerata seminggu sebelumnya yaitu 213.469 orang setiap harinya.
Akibatnya, sejumlah negara besar di Eropa seperti Jerman, Prancis, dan Belanda kembali memberlakukan karantina wilayah alias lockdown. Kebijakan ini diharapkan mampu menyelamatkan jutaan nyawa, tetapi harus dibayar dengan harga yang tidak murah yaitu ekonomi yang 'mati suri'.
Phillip Lane, Kepala Ekonom Bank Sentral Uni Eropa (ECB), mengungkapkan bahwa ekonomi Eropa tahun ini diperkirakan tumbuh 4%. Ini sudah memasukkan faktor lockdown.
Namun Lane memperingatkan bahwa kuartal II-2021 sepertinya bakal lumayan berat. "Sekarang kita akan segera masuk ke kuartal II, yang sepertinya bakal terasa lama," ujarnya kepada CNBC International.
Dengan Eropa yang masih prihatin, AS menjadi seakan seng ada lawan. AS (bersama China) akan menjadi motor utama perekonomian dunia, sang kepala naga.
Hasilnya, investor pun condong memilih dolar AS sebagai sarana investasi. Padahal pada awal 2021, dolar AS diperkirakan terpuruk karena The Fed tidak akan menaikkan suku bunga acuan sampai 2023.
"Pada awal tahun, konsensus di pasar adalah posisi short (jual) untuk dolar AS. Sekarang konsensus itu tidak berlaku lagi. Bahkan pelaku pasar menyadari bahwa ada kemungkinan dolar AS masih akan menguat pada kuartal berikutnya," kata Karl Schamotta, Chief Market Strategist di Cambridge Global Payments yang berkedudukan di Toronto (Kanada), seperti dikutip dari Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA