Bahkan, angka penurunan saham tersebut sampai hampir 90%.
Selain dalam 3 tahun terakhir, beberapa saham tersebut juga tercatat sudah terkoreksi dalam sebulan terakhir berdasarkan data yang dirangkum Bursa Efek Indonesia (BEI) hingga perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (26/3/2021).
Berikut gerak saham emiten ritel dalam harian dan 3 tahun terakhir.
Matahari (LPPF)
Saham emiten department store milik Grup Lippo, LPPF, tercatat memiliki kinerja paling anjlok dalam 3 tahun terakhir. Tidak main-main, kemerosotan harga sahamnya sebesar 87%.
Asing pun tercatat ramai-ramai melego saham pengelola Matahari Departement Store ini sebesar Rp 2,05 triliun dalam 3 tahun belakangan.
Apabila melihat gerak saham dalam sebulan terakhir, saham emiten yang listing di bursa pada 1989 silam ini masih tumbuh 9,41%. Asing juga masuk dengan catatan beli bersih RP 5,54 miliar.
Setelah sempat berada di posisi tertinggi Rp 11.200/saham pada 9 April 2018, saham ini cenderung bergerak turun mulai sampai saat ini.
Pandemi Covid-19 tampaknya makin memperburuk kinerja saham LPPF. Tercatat pada 6 November tahun lalu pada masa pandemi Covid-19, saham LPPF sempat ditutup di posisi Rp 810/saham.
Setelah itu, saham ini mencoba 'pulih' perlahan dengan mendaki level Rp 1000 hingga ditutup di Rp 1.395/saham pada Jumat pekan lalu (26/3). Meskipun, harga saat ini masih jauh dari pencapaian level 3 tahun lalu.
Mengenai valuasi saham , oleh karena LPPF membukukan rugi bersih sepanjang tahun lalu, price to earning ratio (PER) tidak bisa dihitung.
Adapun dengan menggunakan rasio price to book value (PBV), LPPF tergolong mahal, yakni 6,30 kali. Semakin rendah PBV biasanya perusahaan akan dinilai semakin murah. Namun, dibandingkan dengan rerata 3 tahun terakhir, yang sebesar 11,17 kali, PBV LPPF masih tergolong rendah.
Sementara, dibandingkan dengan PBV rerata sektor properti yang sebesar 2,68 kali, saham perusahaan yang didirikan sejak 1958 ini termasuk mahal.
Apabila menilik fundamental, pendapatan LPPF minus sampai separuh, dari Rp 10,28 triliun pada 2019, menjadi Rp 4,84 triliun pada tahun lalu.
Penurunan pendapatan ini membuat raihan laba bersih sepanjang 2019 sebesar Rp 1,36 triliun berubah menjadi rugi bersih Rp 873,18 miliar pada 2020. Alhasil, dalam 5 tahun terakhir, baru tahun lalu saja LPPF mengalami rugi bersih.
Dalam keterbukaan informasi per 1 Februari lalu, manajemen mencatat, pada kuartal IV 2020, perusahaan menutup 6 toko dan secara tahunan menghentikan aktivitas 25 gerai. Dengan demikian, total gerai LPPF sebanyak 147 gerai.
Pada tahun ini, perusahaan bakal menutup sekitar 6 gerai Matahari lagi tahun ini dari 23 total gerai dalam pengawasan kinerja.
Adapun, LPPF berencana akan membuka 1 gerai sebelum lebaran tahun ini, yakni di Balikpapan.
Matahari Putra (MPPA)
Selain LPPF, saham emiten Grup Lippo lainnya, MPPA, juga tercatat jeblok dalam 3 tahun belakangan, yakni mencapai 46,08%.
Memang, saham ini sedang berusaha bangkit dalam sebulan terakhir, dengan torehan angka yang sangat tinggi, 98,31%.
Apabila melihat gerak saham dalam 3 tahun ini, saham perusahaan yang berdiri pada 1986 ini sempat menyentuh harga tertinggi Rp 472/saham pada 27 Maret 2018.
Akan tetapi, setelah itu saham ini bergerak 'menuruni bukit', hingga akhirnya ambrol menuju gocap di Rp 74/saham pada 23 Maret 2020 atau awal pandemi COVID-19.
Saham MPPA mencoba mendaki lagi mulai awal tahun ini, terlihat dengan torehan secara year to date (YTD) sebesar 122,86%. Meskipun, masih 'separuh jalan' dari posisi tertinggi tiga tahun lalu. Asal tahu saja, ada Jumat (26/3), saham pengelola Hypermart ini ditutup menguat 1,74% di Rp 234/saham.
Karena merugi pada kuartal III tahun lalu, kita tidak bisa menganalisis PER saham ini. Namun, apabila menilik rasio PBV, MPPA memiliki rasio PBA yang tergolong tinggi, 8,89 kali.
Adapun bila dibandingkan dengan rerata sektor ritel supermarket, yang sebesar 4,22 kali, dan rerata 5 tahun yang sebesar 2,75 kali, rasio PBV MPPA masih tergolong tinggi.
Secara kinerja keuangan, MPPA memang terbilang kurang memuaskan. Sejak 2017 hingga September 2020, MPPA selalu membukukan rugi bersih.
Pada kuartal III 2020, MPPA mencatatkan rugi bersih Rp 332,40 miliar, lebih jeblok dari raihan rugi bersih periode yang sama tahun sebelumnya, Rp 265,78 miliar.
Pada 2019, misalnya, MPPA membukukan rugi Rp 552,68 miliar dari tahun sebelumnya yang mencetak rugi bersih Rp 898,27 miliar.
Kabar terbaru, pada Januari tahun ini, Anderson Investments Pte. Ltd (Anderson), entitas yang secara tidak langsung dimiliki sepenuhnya oleh Temasek Holdings (Private) Limited asal Singapura, resmi memegang 19% saham MPPA.
Ramayana (RALS)
Selain duo Lippo di atas, saham RALS juga ambrol sebesar 29,82% dalam 3 tahun belakangan. Adapun, dalam sebulan terakhir saham ini tercatat naik 8,11%.
Pascamencapai level tertinggi dalam 3 tahun ini di Rp 1.850/saham pada 19 Maret 2019, saham ini cenderung merosot hingga hari ini. Sama seperti kedua saham di atas, RALS sempat ambruk di Rp 434/saham pada 1 April di tahun pandemi, alias tahun lalu.
Semenjak anjlok di tahun lalu, saham ini masih sulit menyamai torehan kinerja tertinggi pada 3 tahun silam.
Menilik valuasi terbaru, saham RALS tidakbisa dianalisis menggunakan PER. Karena itu, kita menggunakan PBV. Berdasarkan PBV, yang sebesar 1,52 kali, saham ini tergolong wajar.
Dibandingkan dengan rerata sektor ritel yang sebesar 2,68 kali dan rerata PER perusahaan dalam 5 tahun belakangan, sebesar 2,05 kali, saham RALS tergolong murah.
Sementara, kinerja keuangan RALS per September tahun lalu memang tertekan akibat pagebluk Covid-19. Ini terlihat dari raihan rugi bersih perusahaan yang sebesar Rp 95,22 miliar. Padahal, pada periode yang sama tahun 2019, RALS masih mencatatkan Rp 612,42 miliar.
Tertekannya kinerja sampai kuarral III tahun lalu ditunjukkan dengna fakta bahwa sebanyak 13 gerai Ramayana ditutup sementara karena penurunan penjualan akibat pandemi Covid-19. Aksi ini dilakukan sejak akhir Maret 2020 lalu.
Sebenarnya, dalam periode 2015-2019, RALS memiliki kinerja positif alias selalu membukukan laba bersih.
Ambil contoh, pada 2019, perusahana membukukan laba bersih Rp 647,89 miliar, naik dari tahun sebelumnya, Rp587,10 miliar.
Kabar terbaru, manajemen RALS berencana melakukan pembelian kembali saham atau buyback saham pada April mendatang. RALS berencana membeli kembali sebanyak-banyaknya 5% dari modal disetor perseroan atau maksimum sebanyak 354,8 juta (354.800.000) saham.
Adapun perkiraan biaya yang akan dikeluarkan untuk buyback saham tersebut sebanyak-banyaknya sekitar Rp 350 miliar.
Memang, sejak tahun lalu kinerja ritel megap-megap. Pembatasan pergerakan masyarakat dan jam operasional karena pagebluk membuat gerai-gerai perusahaan ritel sepi pengunjung.
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah kepada CNBC Indonesia, mengatakan peritel besar memang kesusahan untuk bertahan di masa pandemi. Hal ini membuat banyak yang menutup gerai karena mahalnya biaya operasional.
Namun, Budihardjo menjelaskan, pelonggaran aturan PPKM Mikro terkait jam buka pusat perbelanjaan sampai pukul 21.00 WIB cukup meningkatkan kedatangan pengunjung di mal.
Budi mengatakan pada saat weekend traffic ke mal meningkat Maret dibandingkan bulan sebelumnya. Cash flow pelaku ritel tidak lagi seperti sebelum pandemi. Pemasukan tidak bisa didapat setiap hari, hanya hari-hari tertentu ada pembelian. Praktis, pendapatan perusahaan pun menurun 50-80% itu membuat strategi jangka pendek berantakan.
Dari sisi pembiayaan saat ini pelaku ritel sudah dapat merasakan rendahnya bunga cicilan kredit berusaha, juga penundaan bayar cicilan.
Momentum puasa dan lebaran, katanya, diharapkan dapat meningkatkan konsumsi masyarakat. Sehingga pendapatan dari ritel bisa terangkat sedikit di masa pandemi ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA