Jakarta, CNBC Indonesia - Saham-saham sektor properti di Bursa Efek Indonesia (BEI) memang menjadi salah satu pilihan investor untuk membenamkan dana investasinya di pasar modal karena dinilai punya prospek besar untuk bertumbuh di tengah tingkat backlog (kekurangan) perumahan di Indonesia.
Namun data BEI mencatat, dari sekian banyak emiten properti (sekitar 60-an emiten di subsektor properti dan real estate), ada delapan saham emiten properti yang justru mencatatkan kinerja jeblok selama 5 tahun terakhir.
Bahkan, ada saham yang anjlok sampai 60% dalam kurun waktu tersebut. Ini berbanding terbalik dengan slogan investasi di pasar modal yang memberikan keuntungan jangka panjang.
Tidak hanya itu, dalam sebulan dan secara year to date (YTD) hingga perdagangan Kamis kemarin (25/3), pun mayoritas saham-saham tersebut tercatat ambles.
Berikut daftar saham properti yang kinerjanya anjlok dalam 5 tahun belakangan, per data Kamis (25/3).
Bila melihat daftar di atas, saham emiten Grup Lippo, LPKR, menjadi yang paling 'terjun' di antara saham lainnya. Sementara, saham SSIA dan CTRA mencatatkan penurunan terendah di antara saham sektor properti lainnya.
Bagaimana analisis terhadap saham-saham ini?
Lippo Karawaci (LPKR)
Saham pengelola mal Plaza Semanggi, LPKR, mencatatkan rapor merah baik secara harian, sebulan, YTD, sampai 5 tahun.
Kemarin, Kamis (25/3), saham LPKR terkoreksi 1,50% ke Rp 197/saham. Sementara dalam sebulan, saham pemilik Lippo Mal Kemang ini juga turun 2,48%.
Adapun, selama sebulan terakhir, saham properti Grup Lippo ini juga terjun 7,94%. Tidak hanya itu, bahkan dalam 5 tahun terakhir, saham pengelola hotel Aryaduta ini sudah terjun bebas 62,84%.
Selama 5 tahun terakhir, asing sudah ramai-ramai melego saham LPKR dengan catatan jual bersih sebesar Rp2,74 triliun.
Semenjak mencatatkan kenaikan tertinggi dalam 5 tahun terakhir di posisi Rp 952 pada 13 Juni 2016, saham LPKR terus cenderung turun sampai hari ini.
Saham ini tercatat beberapa kali sempat mencapai harga terendah di Rp 119 pada 16, 17, 24 dan 30 September di tahun pandemi 2020.
LPKR membukukan rugi bersih per kuartal III tahun lalu, sehingga price to earning ratio (PER) tidak bisa dihitung. Adapun dengan menggunakan rasio price to book value (PBV), LPKR tergolong murah, yakni 0,53 kali.
Semakin rendah PBV biasanya perusahaan akan dinilai semakin murah. Secara rule of thumb, PBV akan dianggap murah apabila rasionya berada di bawah angka 1 kali.
Dibandingkan dengan rerata 5 tahun terakhir pun, yang sebesar 0,77 kali, PBV LPKR masih tergolong rendah.
Setali tiga uang, dibandingkan dengan PBV rerata sektor properti yang sebesar 1,99 kali, PBV perusahaan yang berdiri pada 1990 ini masih tergolong murah.
Namun memang, perusahaan induk PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) ini memang beberapa kali mencatatkan rugi bersih dalam 5 tahun terakhir.
Per kuartal III 2020, LPKR mencatatkan rugi bersih Rp 2,34 triliun, meningkat dibandingkan rugi bersih periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp 1,72 triliun.
Di sepanjang 2019, misalnya, LPKR membukukan rugi bersih Rp 1,98 triliun. Padahal pada tahun 2018 perusahaan ini masih mencetak laba bersih sebesar Rp 720 miliar.
Pada 2017, perusahaan pengembang Holland Village Jakarta ini juga mencatatkan rugi bersih Rp 377,34 miliar.
Melalui paparan publik akhir tahun lalu manajemen mengaku, kinerja keuangan terganggu akibat dampak pandemi Covid-19 sejak awal 2020.
Selain itu pihak LPKR mengatakan, fleksibilitas keuangan perusahaan disokong oleh penjualan mall Puri yang diperkirakan akan selesai pada kuartal I tahun ini.
Setelah disetujui para pemegang saham, LPKR resmi menjual Lippo Mall Puri kepada Lippo Malls Indonesia Retail Trust (LMIRT) senilai Rp 3,5 triliun.
NEXT: Punya Saham SSIA dan CTRA? Cek Ini
Surya Semesta (SSIA)
Saham emiten bangunan, real estate, kawasan industri, dan manajemen gedung SSIA juga tercatat jeblok, baik dalam sebulan, YTD, sampai 5 tahun.
Sebulan saham perusahaan pengelola hotel ini tercatat ambles 6,04%, sementara secara YTD sudah anjlok 13,39%.
Dalam 5 tahun saham perusahaan yang berdiri sejak 1971 ini sudah nyungsep 21,57%. Selama 5 tahun ini, asing juga keluar dari SSIA dengan melakukan jual bersih Rp 448,90 miliar.
Sebenarnya, selama 5 tahun ini, saham SSIA bergerak fluktuatif. Namun, setelah mencatatkan lonjakan harga di posisi Rp 850/saham pada 25 Juli 2019, saham ini cenderiug 'menuruni bukit'.
Sampai akhirnya, saham SSIA ambles di level terendah Rp 282/saham pada 6 Mei 2020, yakni pada bulan-bulan awal pagebluk Covid-19 melanda dunia.
Semenjak itu, saham SSIA sempat rebound menuju level Rp 600/saham pada 28 November tahun lalu, meskipun sampai saat ini belum kembali ke level Rp 700/saham seperti 5 tahun lalu.
Menilik valuasi, kita akan menggunakan rasio PBV, karena SSIA merugi pada kuartal III tahun lalu sehingga PER tidak bisa dianalisis.
Rasio PBV SSIA tercatat berada di bawah 1 kali, yakni 0,63 kali. Angka ini berada di bawah rerata PBV sektor yang sebesar 1,99 kali dan rerata PBV 5 tahun SSIA yang sebesar 0,77 kali.
Adapun sepanjang triwulan III tahun lalu, kinerja keuangan SSIA tertekan. Ini terlihat dari rugi bersih yang dibukukan perusahaan sebesar Rp 197,88 miliar. Raihan ini jauh lebih jeblok dibandingkan rugi bersih pada periode yang sama tahun sebelumnya, Rp 8,11 miliar.
Catatan tersebut terjadi seiring dampak pandemi Covid-19 yang juga mempengaruhi perusahaan, terutama di divisi perhotelan.
Sepanjang 9 bulan 2020 pendapatan segmen usaha perhotelan anjlok 70,6% dari Rp 603 miliar pada kuartal III 2019, menjadi RP 178 miliar per September tahun lalu.
Padahal, sepanjang 2015-2019 perusahaan ini selalu membukukan laba bersih. Sebut saja pada 2019, perusahaan tercatat mencetak laba bersih Rp 92,3 miliar.
Adapun saat ini, perusahaan tengah melakukan pembangunan tahap awal kawasan township development di Subang, Jawa Barat dengan luas area awal 400 hektare dengan investasi infrastruktur mencapai Rp 2 triliun atau mencapai Rp 14 triliun di fase 1.
Ciputra (CTRA)
Saham Grup Ciputra, CTRA juga menunjukkan kinerja yang kurang oke alias jeblok selama 5 tahun ini.
Selama sebulan, saham perusahaan yang didirikan oleh mendiang Ciputra ini sudah merosot 3,48%. Namun, secara YTD saham CTRA naik 12,69%.
Sayangnya, apabila ditilik dalam 5 tahun terakhir, saham perusahaan yang berdiri pada 1981 ini ambles 15,71%.
Setelah mencapai puncak di harga Rp 1.705/saham pada 19 Agustus 2016 silam, saham CTRA cenderung merosot dalam 5 tahun belakangan.
Bahkan, sama seperti kedua di atas yang anjlok di masa pagebluk tahun lalu, saham ini sempat terjun ke level terendah di Rp 412/saham pada 2 April 2020.
Semenjak itu, saham ini terus berusaha kembali naik hingga ke level Rp 1.110/saham pada penutupan pasar kemarin, Kamis (25/3).
Adapun PER CTRA terbaru sebesar 66,55 kali, jauh di atas rule of thumb 10 kali. Namun, apabila melihat PER rerata sektor yang sebesar 75,78 kali, PER CTRA tercatat masih lebih rendah.
Kalau dibandingkan dalam rerata PER CTRA dalam 5 tahun yang sebesar 19,73 kali, tentu secara PER, CTRA saat ini tergolong mahal.
Adapun berdasarkan PBV, CTRA masih tergolong wajar, 1,40 kali. Angka ini juga berada di bawah PBV sektor yang sebesar 1,99 kali dan di bawah rerata 5 tahun yang sebesar 1,70 kali.
Sama seperti kedua perusahaan di atas, sepanjang kuartal III 2020, kinerja keuangan CTRA tertekan. Laba bersih CTRA tercatat anjlok 44% dari Rp 417 miliar per September 2019, menjadi Rp232 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Pendapatan pada sektor apartemen, mall dan hotel yang tercatat paling anjlok. Pendapatan divisi apartemen anjlok 70% menjadi Rp159 miliar per September tahun lalu.
Kemudian, pendapatan mall ambles 30% menjadi Rp 407 miliar, pendapatan hotel merosot 58% menjadi Rp 144 miliar per kuartal III tahun lalu.
Meskipun begitu, dalam 2016-2019 CTRA selalu membukukan kinerja yang positif, artinya perusahaan selalu mencetak laba bersih.
Pada 2019, contohnya, CTRA meraup laba bersih Rp 1,15 triliun, turun tipis 2,36% ketimbang tahun sebelumnya yang sebesar Rp 1,18 triliun.
Tahun ini, CTRA, beserta sejumlah emiten properti lainnya, seperti LPKR, bisa mendongkrak penjualan setelah adanya kebijakan relaksasi PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk sektor perumahan pada awal Maret ini.
Menurut riset CLSA Sekuritas, pada awal Maret lalu, kebijakan tersebut akan menguntungkan pengembang properti properti yang punya stok rumah yang belum terjual.
Adapun menurut laporan keuangan kuartal III 2020, CLSA menilai, sejumlah pengembang memiliki porsi total inventori atau stok unit properti yang tergolong tinggi, baik yang siap dijual ataupun yang masih dalam proses konstruksi.
Para pengembang tersebut, yakni CTRA, LPKR, PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), dan PT Pakuwon Jati (PWON).
TIM RISET CNBC INDONESIA