Analisis

Parah! 5 Tahun Investasi, 8 Saham Properti Malah Babak Belur

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
26 March 2021 13:35
Target Tingkatan Layanan Transaksi Digital Pembayaran KPR
Foto: Ilustrasi KPR (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Surya Semesta (SSIA)

Saham emiten bangunan, real estate, kawasan industri, dan manajemen gedung SSIA juga tercatat jeblok, baik dalam sebulan, YTD, sampai 5 tahun.

Sebulan saham perusahaan pengelola hotel ini tercatat ambles 6,04%, sementara secara YTD sudah anjlok 13,39%.

Dalam 5 tahun saham perusahaan yang berdiri sejak 1971 ini sudah nyungsep 21,57%. Selama 5 tahun ini, asing juga keluar dari SSIA dengan melakukan jual bersih Rp 448,90 miliar.

Sebenarnya, selama 5 tahun ini, saham SSIA bergerak fluktuatif. Namun, setelah mencatatkan lonjakan harga di posisi Rp 850/saham pada 25 Juli 2019, saham ini cenderiug 'menuruni bukit'.

Sampai akhirnya, saham SSIA ambles di level terendah Rp 282/saham pada 6 Mei 2020, yakni pada bulan-bulan awal pagebluk Covid-19 melanda dunia.

Semenjak itu, saham SSIA sempat rebound menuju level Rp 600/saham pada 28 November tahun lalu, meskipun sampai saat ini belum kembali ke level Rp 700/saham seperti 5 tahun lalu.

Menilik valuasi, kita akan menggunakan rasio PBV, karena SSIA merugi pada kuartal III tahun lalu sehingga PER tidak bisa dianalisis.

Rasio PBV SSIA tercatat berada di bawah 1 kali, yakni 0,63 kali. Angka ini berada di bawah rerata PBV sektor yang sebesar 1,99 kali dan rerata PBV 5 tahun SSIA yang sebesar 0,77 kali.

Adapun sepanjang triwulan III tahun lalu, kinerja keuangan SSIA tertekan. Ini terlihat dari rugi bersih yang dibukukan perusahaan sebesar Rp 197,88 miliar. Raihan ini jauh lebih jeblok dibandingkan rugi bersih pada periode yang sama tahun sebelumnya, Rp 8,11 miliar.

Catatan tersebut terjadi seiring dampak pandemi Covid-19 yang juga mempengaruhi perusahaan, terutama di divisi perhotelan.

Sepanjang 9 bulan 2020 pendapatan segmen usaha perhotelan anjlok 70,6% dari Rp 603 miliar pada kuartal III 2019, menjadi RP 178 miliar per September tahun lalu.

Padahal, sepanjang 2015-2019 perusahaan ini selalu membukukan laba bersih. Sebut saja pada 2019, perusahaan tercatat mencetak laba bersih Rp 92,3 miliar.

Adapun saat ini, perusahaan tengah melakukan pembangunan tahap awal kawasan township development di Subang, Jawa Barat dengan luas area awal 400 hektare dengan investasi infrastruktur mencapai Rp 2 triliun atau mencapai Rp 14 triliun di fase 1.

Ciputra (CTRA)

Saham Grup Ciputra, CTRA juga menunjukkan kinerja yang kurang oke alias jeblok selama 5 tahun ini.

Selama sebulan, saham perusahaan yang didirikan oleh mendiang Ciputra ini sudah merosot 3,48%. Namun, secara YTD saham CTRA naik 12,69%.

Sayangnya, apabila ditilik dalam 5 tahun terakhir, saham perusahaan yang berdiri pada 1981 ini ambles 15,71%.

Setelah mencapai puncak di harga Rp 1.705/saham pada 19 Agustus 2016 silam, saham CTRA cenderung merosot dalam 5 tahun belakangan.

Bahkan, sama seperti kedua di atas yang anjlok di masa pagebluk tahun lalu, saham ini sempat terjun ke level terendah di Rp 412/saham pada 2 April 2020.

Semenjak itu, saham ini terus berusaha kembali naik hingga ke level Rp 1.110/saham pada penutupan pasar kemarin, Kamis (25/3).

Adapun PER CTRA terbaru sebesar 66,55 kali, jauh di atas rule of thumb 10 kali. Namun, apabila melihat PER rerata sektor yang sebesar 75,78 kali, PER CTRA tercatat masih lebih rendah.

Kalau dibandingkan dalam rerata PER CTRA dalam 5 tahun yang sebesar 19,73 kali, tentu secara PER, CTRA saat ini tergolong mahal.

Adapun berdasarkan PBV, CTRA masih tergolong wajar, 1,40 kali. Angka ini juga berada di bawah PBV sektor yang sebesar 1,99 kali dan di bawah rerata 5 tahun yang sebesar 1,70 kali.

Sama seperti kedua perusahaan di atas, sepanjang kuartal III 2020, kinerja keuangan CTRA tertekan. Laba bersih CTRA tercatat anjlok 44% dari Rp 417 miliar per September 2019, menjadi Rp232 miliar pada periode yang sama tahun lalu.

Pendapatan pada sektor apartemen, mall dan hotel yang tercatat paling anjlok. Pendapatan divisi apartemen anjlok 70% menjadi Rp159 miliar per September tahun lalu.

Kemudian, pendapatan mall ambles 30% menjadi Rp 407 miliar, pendapatan hotel merosot 58% menjadi Rp 144 miliar per kuartal III tahun lalu.

Meskipun begitu, dalam 2016-2019 CTRA selalu membukukan kinerja yang positif, artinya perusahaan selalu mencetak laba bersih.

Pada 2019, contohnya, CTRA meraup laba bersih Rp 1,15 triliun, turun tipis 2,36% ketimbang tahun sebelumnya yang sebesar Rp 1,18 triliun.

Tahun ini, CTRA, beserta sejumlah emiten properti lainnya, seperti LPKR, bisa mendongkrak penjualan setelah adanya kebijakan relaksasi PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk sektor perumahan pada awal Maret ini.

Menurut riset CLSA Sekuritas, pada awal Maret lalu, kebijakan tersebut akan menguntungkan pengembang properti properti yang punya stok rumah yang belum terjual.

Adapun menurut laporan keuangan kuartal III 2020, CLSA menilai, sejumlah pengembang memiliki porsi total inventori atau stok unit properti yang tergolong tinggi, baik yang siap dijual ataupun yang masih dalam proses konstruksi.

Para pengembang tersebut, yakni CTRA, LPKR, PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), dan PT Pakuwon Jati (PWON).

TIM RISET CNBC INDONESIA

(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular